Kamis, 11 Desember 2008

“Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”

“Hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya”

(Yes 48:17-19; Mat 11:16-19)



“Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan
ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada
teman-temannya: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami
menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung. Karena Yohanes datang, ia
tidak makan, dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan. Kemudian
Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia
seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi
hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya.” (Mat 11:16-19), demikian
kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· “Kalau tinggal di rumah terus dikomentari tidak
bekerja, sebaliknya ketika banyak meninggalkan rumah alias sering bepergian
dikomentari tidak kerasan tinggal di rumah, dst..”, begitulah sering kita
dengar kritik atau komentar, mungkin merupakan perhatian atau asal komentar
alias yang bersangkutan memang memiliki kebiasaan menilai, mengritik atau
mengomentari orang lain. Mereka tidak mau bertanya atau memahami apa yang
dilakukan orang lain, namun hanya melihat sekilas apa yang terjadi atau dilakukan.
“Hikmat Allah dibenarkan oleh
perbuatannya”, demikian sabda Yesus. Maka marilah kita menilai atau
menyikapi sesama atau saudara-saudari kita setelah dengan cermat melihat apa
yang dibuatnya alias setelah mereka mengakhiri kegiatannya bukan sebelumnya. Sebaliknya
kita sendiri masing-masing hendaknya lebih mengutamakan perbuatan atau perilaku
daripada omongan atau wacana. Renungkan dan hayati pemahaman ini :” Sesungguhnya pengertian budi pekerti yang
paling hakiki adalah perilaku. Sebagai
perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku” (Prof
Dr. Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai
Pustaka-Jakarta 1997, hal 4). Bukanlah perilaku seseorang tidak mungkin dinilai
dari/ melalui pengamatan sesaat atau
sebentar saja? Maka hendaknya dalam
menilai, memberi saran, menasihati atau mengritik orang lain, dengarkan dengan
rendah hati dahulu pengalaman-pengalaman kerja atau usahanya: pujilah apa yang
baik dan luruskan dengan rendah hati apa yang dinilai tidak baik. Evaluasi,
refleksi atau mawas diri merupakan keutamaan yang harus menjadi kebiasaan
penghayatan hidup dan cara bertindak kita, sebagaimana menjadi kebiasaan
mengadakan ‘pemeriksaan batin’ setiap hari di akhir hari/kegiatan atau
menjelang istirahat/tidur malam.

· "Akulah
TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang
menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh. Sekiranya engkau memperhatikan
perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak
pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti
gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti, maka keturunanmu akan
seperti pasir dan anak cucumu seperti kersik banyaknya; nama mereka tidak akan
dilenyapkan atau ditiadakan dari hadapan-Ku.”(Yes 48:17-19). Marilah kita lihat, kenangkan, renungkan dan hayati
perintah-perintah Tuhan kepada kita, sesuai dengan panggilan dan tugas
pengutusan kita masing-masing. Semua perintah kiranya dapat dipadatkan menjadi
perintah untuk ‘saling mengasihi’, maka baiklah kita mawas diri perihal
perintah ‘saling mengasihi’. ”Kasih itu
sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan
tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan
diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia
tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi
segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar
menanggung segala sesuatu” (1Kor 13:4-7), demikian ajaran kasih dari
Paulus. Dari ajaran kasih di atas ini kiranya yang mendesak dan up to date
untuk kita hayati dan sebarluaskan adalah ‘tidak
pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain’, mengingat dan
memperhatikan begitu banyak orang menyimpan kesalahan sesamanya, yang
berkembang menjadi marah atau bermusuhan. Marah berarti melecehkan atau
merendahkan yang lain, melanggar hak azasi manusia/harkat martabat manusia.
Pemarah hemat saya identik dengan orang sombong. Hendaknya jangan menyimpan
kesalahan orang lain, tetapi simpan dan angkat kembali kebaikan-kebaikan yang
lain. Marilah berpikir positif terhadap sesama dan saudara-saudari kita, yang
berarti senantiasa melihat, mengakui dan mengimani kebaikan-kebaikan orang lain
dan dengan demikian kita akan menikimati damai sejahtera lahir dan batin,
jasmani dan rohani.



“Berbahagialah orang yang tidak berjalan
menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan
yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat
TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.Ia seperti pohon, yang
ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang
tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.” (Mzm 1:1-3)

Jakarta, 12 Desember 2008

Tidak ada komentar: