Rabu, 25 Juni 2008

Paus Benediktus XVI


Sri Paus Benediktus XVI, secara resmi bernama Benedictus PP. XVI dalam bahasa Latin, (terlahir sebagai Joseph Alois Ratzinger pada 16 April 1927 di Marktl am Inn, Bayern, Jerman), terpilih sebagai Paus Gereja Katolik Roma pada 19 April 2005. Dia adalah Uskup Roma, pemimpin Negara Kota Vatikan dan Gereja Katolik Roma termasuk Gereja Katolik Timur dalam komuni dengan Takhta Suci. Dia dilantik sebagai Paus secara resmi saat Misa Pelantikan Paus pada 24 April 2005.

Pada usia 78 tahun, dia adalah Paus tertua yang dilantik dalam 275, tahun terakhir sejak Paus Clement XII (yang terpilih pada tahun 1730 pada umur 3 bulan lebih tua dari Ratzinger).

Benediktus XVI merupakan Paus berdarah Jerman pertama sejak Paus Adrianus VI (1522-1523) yang dilahirkan di wilayah bagian Jerman Kuno yang sekarang menjadi bagian dari negara Belanda. Paus terakhir yang berasal dari Jerman Modern adalah Paus Viktor II yang meninggal pada tahun 1057. Benediktus XVI merupakan Paus Jerman kedelapan dalam sejarah sejak Paus berdarah Jerman pertama Paus Gregorius V.

Paus terakhir yang bergelar nama kepausan Benediktus, Paus Benediktus XV, bertugas sebagai dari 1914 hingga 1922 pada masa Perang Dunia I.

Rabu, 18 Juni 2008

Santo Krisantus (Martir)

Santo Krisantus adalah seorang Santo dihormati sebagai martir-martir Roma. Dia dibunuh pada masa pemerintahan bersama dua orang kaisar Roma, Karinus dan Numerianus (283-285).

Hari kelahiran dan kematian mereka tidak diketahui dengan pasti. Cerita tentang kemartiran mereka diketahui dari sebuah cerita kuno abad kelima. Menurut cerita itu Krisantus adalah putera Polemius, seorang bangsawan kafir. Ia menjadi Kristen, dan giat dalam usaha penyebaran iman Kristen kepada orang-orang Roma. Ayahnya yang masih kafir itu tidak merestui dan berusaha keras dengan berbagai cara untuk memurtadkan kembali dia. Tetapi Krisantus tetap tidak mau mengingkari imannya. Cara terakhir yang dipakai oleh ayahnya ialah memaksa Krisantus menikah dengan Daria, seorang iman kafir.

Untuk itu ia mempertemukan Krisantus dengan Daria. Apa yang terjadi? Berlawanan dengan harapannya, Daria justru jatuh cinta pada Krisantus dan bertobat menjadi Kristen. Mereka kemudian hidup sebagai suami-istri, dan menghayati suatu kehidupan Kristen secara penuh dan berbakti kepada Tuhan.

Mereka giat dalam penyebaran iman Kristen dan berhasil mempertobatkan banyak orang Roma, termasuk hakim yang diperintahkan untuk memaksa mereka menyangkali imannya. Akibatnya dari semua itu adalah mereka ditangkap, dan disiksa oleh penguasa Roma.

Setelah mengalami berbagai macam siksaan, mereka dirajam dan dikuburkan hidup-hidup di jalan Salaria, di luar kota Roma pada tahun 283. Peristiwa pembunuhan tersebut tidak menakutkan orang-orang Kristen dalam usahanya menyebarkan iman Kristen, malah semakin menarik banyak orang Roma berpaling kepada kebenaran yang ada di dalam Kristus sebagaimana diwartakan oleh iman Kristen.

Santo Gregorius dari Tours mengatakan bahwa di tempat kedua martir itu dimakamkan didirikan sebuah tempat ibadah untuk menghormati mereka. Kemudian pada abad ke-9 jenazah mereka dipindahkan ke Munstereifel, Jerman.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Krisantus"
Kategori: Artikel yang perlu dirapikan | Santo

Kamis, 12 Juni 2008

Transformasi “Bonum Coniugum” dari dicintai menjadi mencintai

Transformasi “Bonum Coniugum” dari dicintai menjadi mencintai
02 Juni 2008 14:09

Relevansi kanon 1055, §1.

Rm D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr

Unsur hakiki dan tujuan perkawinan

Dalam setiap persiapan perkawinan sudah banyak materi yang diberikan oleh petugas KPP (Kursus Persiapan Perkawinan) seperti misalnya tentang ekonomi keluarga, sakramen perkawinan, spiritualitas perkawinan, namun belum banyak bahan yang diberikan menyangkut hal pokok seperti unsur-unsur hakiki dan tujuan perkawinan. Apa saja unsur-unsur hakiki dan tujuan perkawinan? Kanon 1055,§1 menyatakan perkawinan terarah pada dua tujuan: "dari kodratnya perkawinan terarah pada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum), kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis)". Hal yang sama tentag "bonum prolis" dinyatakan dalam GS, no. 50 bahwa tujuan perkawinan untuk kelahiran dan pendidikan anak. Bonum coniugum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kesejahteraan suami-isteri. Kesejahteraan suami isteri merupakan tujuan personal dari perkawinan, sekaligus merupakan unsur hakiki dari perkawinan. Maka jika hal itu tidak ada dalam perkawinan otomatis perkawinan itu dapat dianulir. Mengapa demikian? Karena suami atau isteri atau keduanya tidak menyadari atau tidak memiliki unsur yang fundamental (hakiki) dalam membentuk perkawinan, sehingga perkawinan itu tidak ada. Dan dalam kenyataan perkawinan (matrimonium in facto esse) yang demikian itu, banyak yang bubar karena tidak tercapai kesejahteraan secara personal dalam perkawinan. Banyak perkawinan saat ini yang mengabaikan unsur kesejahteraan suami-isteri, mereka tidak siap membangun keluarga karena faktor ekonomi akibatnya setelah beberapa tahun mereka gagal dan bubar perkawinannya. Kesejahteraan yang dimaksudkan dalam kodeks ini aspek ekonomi/materi dan juga rohani/mental.

Kanon 1055, §1: ciri kodratnya perkawinan terarah pada kesejahteraan suami-isteri

Kanon 1055, §1: menyatakan bahwa "Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratnya terarah pada kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak (bonum prolis), antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen (bonum sacramentum). Bila kita telisik lebih dalam sebagai sebuah materi dalam KPP dan sekaligus menjadi bantuan bagi para penggerak KPP, makna "bonum coniugum" sungguh penting. Praksis hidup perkawinan terarah pada tujuan personal perkawinan yakni suami dan isteri dalam perjalanan hidup perkawinan memiliki kesejahteraan hidup (ekonomi/materi dan mental/rohani).

Transformasi "bonum coniugum" dari dicintai menjadi mencintai (aspek mental/rohani)

Dalam hidup suami isteri, "bonum coniugum" menghendaki agar gagasan cinta berubah dari dicintai ke kedewasaan untuk mencintai. Hal ini membutuhkan waku yang lama, bertahun-tahun dalam hidup perkawinan nyata dengan "melupakan diri sendiri" (egoisme) dan mengutamakan pasangan. Dengan mencintai pasangan suami atau isteri masing-masing meninggalkan sel penjara kesepian dan keterasingan yang disebabkan oleh sikap yang terpusat pada diri sendiri (self centeredness). Dengan mencintai, masing-masing akan merasakan arti persatuan baru, arti "menjadi satu daging", arti persekutuan hidup (consortium totius vitae).

Lebih dari itu, masing-masing merasakan potensi membangkitkan cinta dengan mencintai, bukan karena ketergantungan untuk menerima dengan dicintai dan karena itu harus menjadi kecil tak berdaya, melainkan sebalikya aku dicintai karena aku mencintai pasangan. Cinta yang tidak dewasa (kanak-kanak) berkata aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu, sebaliknya cinta yang dewasa akan mengatakan: aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.

Kesejahteraan suami isteri sebagai unsur hakiki dan tujuan personal perkawinan, membutuhkan cinta tanpa syarat. Dalam perkawinan, "bonum coniugum" sebagai unsur hakiki dan tujua menghendaki agar suami isteri tidak saling memanfaatkan. Masing-masing harus belajar berdialog dengan saling mencintai satu sama lain tanpa syarat. John Powel merangkum pandangannya tentang apa yang biasanya terjadi atas suami isteri yang berubah dari dicintai menjadi mencintai dan menemukan kesempurnaan dalam hidup. Ada lima hal pokok transformasi "bonum coniugum" dari dicintai menjadi mencintai:

•1) Menerima diri sendiri: orang yang yang sepenuhnya giat menerima dan mencintai diri mereka sendiri apa adanya,

•2) Menjadi diri sendiri: orang yang sepenuhnya bebas meneriman jati diri mereka yang sesungguhnya,

•3) Melupakan diri sendiri: belajar menerima dan menjadi diri mereka sendiri, suami isteri secara utuh dan total giat mengembangkan diri untuk mencintai pasangan,

•4) Percaya: belajar melampaui perhatian yang hanya terarah pada diri sendiri dan percaya pada pasangan serta menemukan makna dalam hidup berpasangan,

•5) Memiliki: hidup yang utuh, menjadikan hidup sebagai rumah yang memilki rasa kebersamaan.

Dalam proses mencintai itu ada 3 tahapan penting. Pertama, kemurahan (kindness): kepastian kehangatan bahwa aku di sisimu. Aku peduli padamu. Dalam tahap ini dasar cinta adalah pernyataan untuk memerhatikan kebahagiaan orang yang dicintai dan penegasan-kepastian atas harga diri pribadi. Kedua, dorongan (encouragment): menganggap pasangan sebagai sumber kekuatan dan memberikan ruang yang bebas bagi pasangan untuk berkembang. Powel menyebutnya sebagai cinta pasangan yang membebaskan. Bagi dia, cinta berarti memberikan seseorang akar rasa memiliki, dan sayap rasa mandiri dan kebebasan. Mendorong berarti memberikan keteguhan hati kepada pasangannya. Ketiga, tantangan (challenges): menyatakan kepastian mencintai adalah keputusan dan tegas untuk bertindak. Setelah menyatakan kemurahan"aku ada untukmu" dan memberikan keteguhan hati "kamu dapat melakukannya", cinta sejati harus mengajak pasangan untuk berkembang; bertumbuh melampaui batas-batas egoisme diri, mengatasi apa yang selalu dipandang terlalu sulit, memberantas kebiasaan pasangan yang merusak diri sendiri atau pasangan, mengatasi rasa takut untuk jujur dan percaya pada pasangan, mengungkapkan perasaan yang tertekan pada pasangan, menghentikan dendam, memberi maaf dan pengampunan yang menyembuhkan pasangan.

Rabu, 11 Juni 2008

Episcopal Bishop Gene Robinson Joined in Homosexual ‘civil union’

WASHINGTON, DC (Catholic Online) – From July 16, 2008 through August 3, 2008, the Bishops of the Anglican Communion and its related Churches, including the Episcopal Church in the United States, will gather with Archbishop Rowan Williams.

The conference occurs every ten years.

This year the theme is “Equipping Bishops to Fulfill Their Leadership Role in God’s Mission.

In the promotional literature the conference promises to help all of the delegates, “be restored and refreshed spiritually, gain deeper knowledge of each other, become more aware of the spiritual and physical resources God has given them to meet missionary challenges in different parts of the world, develop greater understanding and appreciation of life together in the Anglican Communion, address conflict, discover a new level of trust in common service to God and gain greater understanding of the contribution Anglicanism can make to the worldwide church and the world.”

This is a tall order, particularly given the continuing struggles facing this Church and the continuing splintering within its ranks.

The agenda for the meetings promise topics of interest such as “Hermeneutics, Ecumenical Management, Anglican identity, the role of bishops, Issues of Covenant , Listening Process (within the Communion), Engagement with other faiths, Evangelism and Mission, Gender and Sexuality, Relationships, Social and family relationships, HIV/Aids and Millennium Development Goals.”

However, front and center now, and threatening to become the focal point of Press attention at the Conference, are the continuing activities of Bishop Gene Robinson. Bishop Robinson is an openly homosexual Bishop who, though asked not to attend the meeting as a delegate, has promised to be there as “an observer”.

The Bishop threw the Church into its current state of upheaval when he was consecrated to the episcopacy in 2003 as a practicing homosexual. He did not pledge celibacy but continued to live with his homosexual paramour.

He went on National television and announced his plans to enter a Civil Union with his male partner to Matt Lauer of NBC months ago. He had signaled the action in 2007 at Nova Southeastern University’s Shephard Law Center, where he announced with pride, "I always wanted to be a June bride."

This Bishop seems to relish his position at the cutting edge of the ongoing schism within the global Anglican Communion. He clearly wants to be a controversialist. He is a leader in a cultural revolution being led by activist, practicing homosexuals who not only want to live their lifestyle but force the State and the Church to give them equal status to marriage.

He painted himself as some new kind of “martyr” with Matt Lauer. With condescension he presented orthodox Christians who oppose his active homosexual relationship and his calls for the State and the Church to give legal and moral equivalency between homosexual partners and married couples as unenlightened and discriminatory.

The Bishop preaches what St. Paul warned of in his letter to the Galatians as “another Gospel” (Galatians 1:6). He is quite open and brazen about it all.

He maintains he is following the Holy Spirit in calling for this radical revision of Christian orthodoxy. Yet, he argues against the clear teaching of the Scriptures and unbroken teaching of the Christian tradition that reserve sexual activity to the loving, lifelong marriage bond between a married man and woman.

Clearly, Bishop Gene Robinson views himself as a liberator, and he is doing more to foster the splintering of the Anglican Communion worldwide singlehandedly than anyone else. He seems to take delight in both his celebrity and his self appointed task.

Robinson had been asked by the Archbishop of Canterbury to not attend the Lambeth conference. The reason was obvious, the controversy surrounding his lifestyle and his vocal dissent from Christian teaching and tradition.

So, he announced he would attend anyway, saying with defiance: “I think the Archbishop of Canterbury has gotten this wrong by not inviting everyone. I’m going to go and offer myself and talk with anyone who wants to talk to someone who is unashamedly gay and unashamedly Christian.”

Now, the controversialist crusader for homosexual equivalency with marriage has entered into a “Civil Union” union with his male paramour, Mark Andrew, in a private ceremony conducted by a Justice of the Peace on Saturday June 7, 2008.

Such Civil Unions for homosexual partners were authorized in New Hampshire as of January 1.New Hampshire is the 4th State to legalize such unions.

Robinson had been a vocal proponent and has called on legislatures to go further and call them a “marriage”. He is a leader of the equivalency movement among homosexual activists. Robinson was previously ...
divorced from his wife and has two children.

The Civil Ceremony was followed by a “Church Blessing” of the partnership at St. Paul's Church in Concord, New Hampshire. It occurred exactly five years to the day after Bishop Robinson was consecrated as a Bishop.

A spokesman for the crusading Bishop, Mike Barwell told the Press in a phone interview that the event was "absolutely joyful" and that it was attended by "A lot of his supporters and friends, including many members of the gay and lesbian community."

Barwell also said that the Bishop wanted it “kept private” out of respect for the upcoming Lambeth conference.

That last claim belies belief.

The choice of the date and the very fact that there was a spokesman giving such statements, clearly comports with the Bishop’s intentional use of the media in his self appointed crusade to not only personally veer from Christian Orthodoxy but force the Church to do the same.

He has been on a promotional tour for his book, "In the Eye of the Storm". In it he defends the proposition that homosexuality, a practice which involves chosen sexual conduct between members of the same sex, should be given protected legal status under anti-discrimination and civil rights laws in the same manner as race or gender.

The Bishop is also a proponent of the so called “abortion right” and has spoken at Planned Parenthood events where he has argued for a religious defense of this intentional killing of children in the womb.

What is called the “Anglican Communion” claims to have 77 million members worldwide. However, it is a loose confederation of national churches.

It has been experiencing continual declines in its membership and divisions in its member churches. Most observers look to the Lambeth conference as time of great significance for the future direction of the community.

St. Chrysanthus

Beyond the fact of his existence and martyrdom, all that is known of him is based on untrustworthy legend. An Egyptian, son of a Patrician, Polemius, he was brought to Rome from Alexandria during the reign of Numerian, and despite the objections of his father, who had brought him to Rome, was baptized by a priest named Carpophorus. Chrysanthus refused his father's attempts to get him married, finally married Daria, a Greek and a priestess of Minerva, converted her, and convinced with him in chastity. When they converted a number of Romans, Chrysanthus was denounced as a Christian to Claudius, the tribune. Chrysanthus' attitude under torture so impressed Claudius that he and his wife, Hilaria, two sons, and seventy of his soldiers became Christians, whereupon the Emperor had them all slain. Daria was sent to a brothel, where she was defended by a lion, brought before Numerian, who ordered her execution, was stoned and then buried alive. When several followers of Chrysanthus and Daria were found praying at their crypt, among them Diodorus, a priest, and Marianus, a deacon, they were all entombed alive. St. Chrysanthus' feast day is October 25.