Minggu, 30 November 2008

Pesan Natal Bersama KWI - PGI 2008

HIDUPLAH DALAM PERDAMAIAN DENGAN SEMUA ORANG"

(bdk. Rm. 12:18)



Kepada segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada.

Salam sejahtera dalam kasih Tuhan kita Yesus Kristus.

1. Di tengah sukacita Natal, perayaan kelahiran Yesus Kristus, marilah kita melantunkan mazmur syukur ke hadirat Allah. Ia datang ke dalam dunia untuk membawa damai bagi seluruh umat manusia. Kedatangan-Nya mendamaikan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Ia telah merubuhkan tembok pemisah dan membangun persekutuan baru, yang kukuh dan tangguh, yang bersumber dan berakar di dalam diri-Nya (bdk. Ef. 2:14, dst.). Peristiwa Natal, sebab itu dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang rindu untuk hidup dalam damai, khususnya dalam keadaan dewasa ini yang diwarnai ketegangan dan kecenderungan untuk mementingkan diri atau kelompok sendiri.

Umat Kristiani memahami dirinya sebagai bagian utuh dari masyarakat dan bangsa Indonesia. Selama ini kita telah tinggal dalam rumah bersama, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam kerukunan dan kedamaian. Namun, akhir-akhir ini rumah kita dipenuhi dengan berbagai ketegangan, bahkan krisis. Keberadaan negara sebagai rumah bersama tidak lagi dipahami dengan baik oleh para warga bangsa. Berbagai benturan antarkelompok dalam masyarakat membuat warga tidak lagi dapat hidup damai. Berbagai kelompok berusaha menunjukkan kekuatan mereka di hadapan kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman. Dalam usaha untuk memberi rasa aman kepada seluruh warga negara, pemerintah belum sepenuhnya berhasil mengambil langkah-langkah nyata menuju kebersamaan yang rukun dan damai.

Kita merindukan keadaan damai yang memberi rasa aman bagi warga negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan afiliasi politik. Rasa aman itu membuat warga negara dapat bekerja sama untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan rasa aman itu seluruh warga negara dapat menjalin relasi tanpa merasa terancam, tertekan, atau dikucilkan. Memang banyak usaha positif untuk menciptakan perdamaian telah dilakukan oleh seluruh komponen bangsa. Namun, usaha ini belum mencapai hasil yang diharapkan secara maksimal dan masih harus terus dilakukan secara terarah, berencana dan berkualitas.

2. Dalam suasana hari raya Natal, kelahiran Yesus, Sang Raja Damai, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk mendengarkan nasihat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma. Ia menasihati Jemaat untuk hidup dalam damai dengan semua orang. Untuk itu Rasul Paulus mengajak mereka untuk memberkati sesama, termasuk orang yang menganiaya mereka (Rm. 12:14). Memberkati berarti memohon agar Allah melimpahkan kasih karunia, damai sejahtera dan perlindungan (bdk. Kej. 27:27-29; Ul. 33; 1Sam. 2:20). Nasihat Rasul Paulus ini menggemakan kembali ajaran Yesus: "Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu" (Luk. 6:27-28; Mat. 5:44). Agar Jemaat dapat hidup dalam damai dengan sesama, Rasul Paulus mengajak Jemaat untuk bersukacita dengan orang yang besukacita dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:14; bdk. Mat. 5:3; Luk. 6:20; Mat. 25:31-46).

Ia juga menasihati Jemaat untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi melakukan apa yang baik bagi semua orang (bdk. Rm. 12:17). "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan" (Rm. 12:21). Ketika orang membalas kejahatan dengan kejahatan, sebenarnya orang itu telah dikalahkan oleh kejahatan. Siapa yang melakukan kejahatan, ia telah dikendalikan oleh kejahatan itu sendiri dan telah melakukan kejahatan yang ia lawan. Ketika orang mengalami perlakuan jahat dari orang lain, tidak perlu membenci pelakunya dan menolak berhubungan dengannya, tetapi tetap ramah terhadapnya, bahkan terbuka untuk menolong orang itu bila ia mengalami kesulitan. Selayaknya umat Kristiani memperlakukan orang lain dengan kemurahan hati (bdk.Rm. 12:20a).

3. Semangat yang diajarkan oleh Rasul Paulus kepada Jemaat Roma itu kiranya juga menjadi semangat umat Kristiani di Indonesia, yang hidup dalam masyarakat majemuk yang terus berubah. Dinafasi oleh semangat Natal, kami mengajak seluruh umat Kristiani untuk:

•a. melibatkan diri secara proaktif dalam berbagai upaya untuk membangun masyarakat yang damai, memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum dalam mewujudkan Indonesia sebagai rumah bersama. Berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat perlu dihadapi secara bersama-sama dan diselesaikan dengan cara-cara dialog.

•b. ikut mengambil bagian secara sungguh-sungguh dalam usaha-usaha menciptakan persaudaraan sejati di antara anak-anak bangsa dengan membangun kehidupan bersama di komunitas masing-masing, serta peka dan tetap berusaha ramah terhadap lingkungan sekitar.

•c. mengalahkan kejahatan dengan kebaikan dan jangan sampai dikalahkan oleh kejahatan. Kita perlu menyadari bahwa musuh kita bukanlah sesama warga, melainkan kejahatan yang bisa menggerakkan orang untuk berlaku jahat dan menyakiti sesama. Maka, marilah kita melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya supaya jangan ada ruang dimana kejahatan dapat merajalela.

Demikianlah pesan kami, Selamat Natal 2008 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 2009. Tuhan memberkati.



Atas nama



PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA,


KONFERENSI WALIGEREJA

INDONESIA,

“Sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai”

“Sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai”

(Yes 2:1-5; Mat
8:5-11)



“Ketika Yesus masuk ke Kapernaum,
datanglah seorang perwira mendapatkan Dia dan memohon kepada-Nya:"Tuan,
hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh dan ia sangat menderita."
Yesus berkata kepadanya: "Aku akan datang menyembuhkannya." Tetapi
jawab perwira itu kepada-Nya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di
dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh. Sebab
aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata
kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang
lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka
ia mengerjakannya." Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia dan
berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya: "Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorang pun di
antara orang Israel. Aku berkata
kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama
dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 8:5-11), demikian kutipan Warta Gembira hari
ini.



Berrefleksi
atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta Beato Dionisius dan Redemptus,
biarawan dan martir Indonesia, hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana
sebagai berikut:

· Seorang perwira militer pada umumnya ahli strategi dan
tukang perintah, memerintah kepada anak buahnya, dan dengan demikian juga
dihormati, namun sering kurang memperhatikan para pembantu rumah tangganya.
Dalam Warta Gembira ini kepada kita disajikan seorang perwira yang dengan
rendah hati mohon kepada Yesus untuk menyembuhkan hambanya yang sakit lumpuh
dan sangat menderita dan dengan rendah hati juga ia mengakui bahwa dirinya
sebagai orang berdosa, tidak layak didatangi oleh Tuhan Yesus. Maka Yesus
bersabda: “Sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada
seorang pun di antara orang Israel”. Beriman berarti mengakui atau menghayati diri
sebagai di satu sisi yang berdosa dan di
sisi lain yang dirahmati atau dianugerahi oleh Tuhan. Kesadaran dan penghayatan
diri sebagai yang berdosa identik dengan kesadaran dan penghayatan diri sebagai
yang beriman. Maka marilah di masa Adven ini kita memperdalam kebenaran
tersebut. Rasanya berani mengakui dan menghayati sebagai yang berdosa, lemah
dan rapuh pada masa kini merupakan salah satu bentuk penghayatan kemartiran,
mengingat dan mempertimbangkan begitu banyak orang sombong karena kekayaan,
pangkat/kedudukan/jabatan atau kehormatan duniawi yang dimilikinya. Mengakui
dan mengghayati diri sebagai yang berdosa, lemah dan rapuh berarti senantiasa
membuka diri atas berbagai kemungkinan dan kesempatan untuk tumbuh berkembang
sebagai pribadi cerdas beriman alias bersikap mental belajar terus menerus
sampai mati (ongoing education, ongoing
formation). Warta Gembira hari ini juga mengajak kita semua untuk
memperhatikan para hamba atau para pembantu rumah tangga/keluarga atau
komunitas kita masing-masing, sebagaimana dihayati oleh perwira yang dengan
rendah hati menghadap Yesus demi kesembuhan dan keselamatan hambanya yang sakit
lumpuh dan sangat menderita.

· "Mari, kita
naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang
jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan
keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem.”(Yes 2:3). Berada di
puncak gunung atau bukit orang akan menyadari dan menghayati diri sebagai yang
kecil, lemah dan rapuh serentak mengagumi dan terhibur oleh kebesaran dan keagungan Allah dalam ciptaan-ciptaanNya,
dalam alam raya yang indah. Maka gunung dan bukit sering menjadi tempat suci,
dimana orang dapat menerima hiburan, pengajaran atau petuah-petuah yang
menyelamatkan dan membahagiakan. Maaf kalau agak porno: ‘gunung atau bukit di
dada perempuan alias buah dada’ rasanya juga menjadi symbol ‘keindahan dan kesucian’. Dari dan melalui buah dada
seorang anak/bayi menerima dan menikmati kasih, hidup dan kebahagiaan luar
biasa. Seorang ibu menyalurkan kasih kepada dan mendidik anak/bayinya dengan dan
dalam menyusui. Marilah kita lihat, sikapi dan nikmati berbagai keindahan
ciptaan Allah di dunia ini sebagai wahana atau jalan untuk semakin mengenal dan
menghayati aneka ajaran atau sabda-sabda Tuhan sebagaimana tertulis di dalam
Kitab Suci. Di tempat-tempat atau bagian-bagian tubuh yang indah rasanya kita
dapat melihat dan menikmati karya penyelenggaran Ilahi atau Tuhan, karya atau
jalan yang menumbuh-kembangkan dan menyelamatkan. Di masa Adven ini kita
dipanggil untuk menemukan dan menghayati aneka jalan atau cara untuk
menumbuh-kembangkan iman kita sehingga kita tumbuh berkembang sebagai pribadi
cerdas beriman, semakin mengasihi dan dikasihi oleh Allah maupun sesama.



“Aku bersukacita, ketika dikatakan orang
kepadaku: "Mari kita pergi ke rumah TUHAN." Sekarang kaki kami
berdiri di pintu gerbangmu, hai Yerusalem. Hai Yerusalem, yang telah didirikan
sebagai kota yang bersambung rapat, ke mana suku-suku berziarah, yakni
suku-suku TUHAN, “(Mzm 122:1-4a)



Jakarta, 1 Desember 2008

Senin, 10 November 2008

“Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”

“Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”

(Tit 2:1-8.11-14; Luk 17:7-10)



"Siapa di antara kamu yang
mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan
berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan!
Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku.
Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan
sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada
hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya?
Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang
ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak
berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”(Luk 17:7-10), demikian kutipan Warta Gembira hari
ini.



Berrefleksi
atas bacaan-bacaan serta mengenangkan pesta St.Martinus dari Tours, Uskup, hari ini saya sampaikan catatan-catatan
sederhana sebagai berikut:

· Martinus adalah seorang perwira militer yang suka
berperang, namun perjumpaan dengan pengemis yang miskin telah merubah atau
mempertobatkannya untuk melepaskan senjata yang mematikan dan menggantikannya
dengan dirinya dalam memerangi aneka ketidak-adilan dan paksaan. Sebagaimana ia
tidak takut berperang yang mengandung ancaman kematian, demikian juga ia tidak
takut, dengan setia dan taat pada kehendak Tuhan, memperjuangkan keadilan serta
memberantas aneka bentuk pemaksaaan. “Kami adalah hamba yang tidak berguna; kami
hanya melakukan apa yang harus kami lakukan”, demikian pesan Yesus yang
kiranya dihayati oleh Martius ketika ia menjadi uskup. Hari Minggu, 19 Oktober
2008 yang lalu saya diundang untuk mempersembahkan Perayaan Ekaristi bersama
Bapak Oey, yang menjadi tahanan KPK di Polda-Jakarta. Ia memperoleh tuduhan
dalam kasus BI, ia adalah salah satu pakar hokum BI. Dalam omongan kami bersama
Bapak Oey bercerita bahwa ia ‘hanya
melakukan apa yang harus dilakukan’, yaitu memberikan sejumlah uang kepada
anggota DPR atas perintah atasan, Aulia Pohan, selaku Deputy Gubernur BI. Semua
Bapak Oey ditahan sebagai saksi yang diharapkan menjernihkan
kesaksian-kesaksian perihal kasus BI, namun belakangan katanya ia menjadi
‘tersangka’ karena melaksanakan perintah atasan, yang nota bene jahat. Dari sisi
hukum pelaksana rasanya tidak salah, namun semuanya telah menjadi permainan
poltik, maka pelaksana pun dapat dijadikan tersangka. Maka becermin dari Warta
Gembira hari ini saya mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah menjadi
hamba-hamba yang hanya melakukan apa yang harus dilakukan, tentu saja kiranya
pertama-tama dan terutama sebagai hamba Tuhan, yang berarti menjadi pelaksana
kehendak Tuhan. Namun sekiranya terpaksa
menjadi pelaksana dari perintah atasan, yang salah dan jahat, yang telah
menjadi hal umum saat ini, baiklah tetap setia menjadi hamba, antara lain tidak
korupsi atau berkreasi melakukan kejahatan sendiri. Taat dan setia pada atasan
merupakan salah satu bentuk keutamaan tersendiri.

· “Ia mendidik
kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan
supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12),
demikian peringatan Paulus kepada Titus, kepada kita semua. Dan “beritakanlah apa yang sesuai dengan ajaran
yang sehat”(Tit 2:1). Hidup bijaksana adil dan beribadah di dalam dunia
sekarang ini dengan ajaran yang sehat memang merupakan tuntutan yang harus kita
hayati dan sebarluaskan. Peringatan atau ajakan ini kiranya dapat kita hayati
dengan menghayati dan menyebarkan luaskan keluhuran harkat martabat manusia,
sebagai ciptaan terluhur di dunia, yang diciptakan sesuai dengan gambar atau
citra Allah, sebagaimana telah dihayati dan disebarluaskan oleh St. Martinus
dari Tours. Hidup dan bekerja atau bertugaa apapun hemat saya merupakan ibadah
kepada Allah, maka saudara-saudari dalam hidup dan tugas bersama, tempat hidup
dan kerja/tugas, sarana-prasarana untuk hidup dan bekerja/tugas juga menjadi
rekan tempat dan sarana-prasarana
beribadah. Rasanya ketika orang sedang beribadah bersikap hormat, pasrah dan
hening; sikap yang sama dibutuhkan dalam pergaulan dengan sesama maupun bekerja
atau bertugas bersama. Demikian pula orang merawat dan mengurus dengan baik
aneka sarana-prasarana ibadah, maka juga diharapkan merawat dan mengurus aneka
macam sarana-prasarana kerja atau tugas. Itulah kiranya salah satu bentuk
menghayati dan menyembarluaskan harkat martabat manusia di dalam dunia sekarang ini. Merawat dan mengurus segala sesuatu
dengan baik, sesuai dengan kehendak Tuhan, merupakan tuntutan yang mendesak dan
up to date masa kini, mengingat dan memperhatikan kelemahan banyak orang dalam
perawatan dan pengurusan atau pengelolaan.



“Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah
yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN;
maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu”

(Mzm 37:3-4)

Jakarta, 11 November 2008

Rabu, 05 November 2008

“Anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak terang.”

“Anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak terang.”

(Flp 3:17-4:1; Luk 16:1-18)



“Yesus berkata kepada murid-murid-Nya:
"Ada seorang kaya
yang mempunyai seorang bendahara. Kepadanya disampaikan tuduhan, bahwa
bendahara itu menghamburkan miliknya. Lalu ia memanggil bendahara itu dan
berkata kepadanya: Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan
jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara.
Kata bendahara itu di dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku
memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat,
mengemis aku malu. Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku
dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di
rumah mereka. Lalu ia memanggil seorang demi seorang yang berhutang kepada
tuannya. Katanya kepada yang pertama: Berapakah hutangmu kepada tuanku? Jawab
orang itu: Seratus tempayan minyak. Lalu katanya kepada orang itu: Inilah surat
hutangmu, duduklah dan buat surat hutang lain
sekarang juga: Lima puluh
tempayan. Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah hutangmu? Jawab
orang itu: Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu: Inilah surat
hutangmu, buatlah surat hutang lain:
Delapan puluh pikul. Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu,
karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik
terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.”(Luk 16:1-8), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi atas bacaan-bacaan
hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:

· “Orang bodoh
dapat menjadi pandai karena uang, sebaliknya orang pandai dapat menjadi bodoh
juga karena uang”, demikian kiranya
yang sering terjadi di dalam kehidupan bersama kita. Namun yang juga terjadi
adalah orang pandai membodohi sesamanya demi uang atau demi keuntungan sendiri.
Kepandaian atau kecerdikan macam itu dapat kita lihat atau cermati dalam diri
para penipu atau penjahat yang dengan halus dan sabar mengelabui korban-korbannya.
Maka benarlah yang disabdakan oleh Yesus bahwa “Anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak
terang”. Karena pendidikan dan pembinaan memang kita semua mendambakan diri
sebagai orang yang pandai, cerdik dan cerdas, namun hendaknya juga sekaligus
beriman alias menjadi anak-anak terang, sehingga menjadi cerdas beriman. Sebagai
orang yang cerdas beriman kiranya ketika diberi tugas menjadi bendahara atau
pengelola/pengurus harta benda duniawi, ia akan mengurus dan mengelolanya dengan
baik sebagaimana diharapkan. Kesuksesan atau keberhasilan mengurus atau
mengelola harta benda dengan baik pada masa kini hemat saya merupakan salah
satu bentuk penghayatan iman kemartiran yang mendesak dan up to date, mengingat
masih maraknya korupsi hampir di semua bidang kehidupan bersama di masyarakat
pada saat ini. Untuk itu hemat saya kita masing-masing harus mulai dari diri
kita sendiri: berapa besar atau banyaknya harta benda atau uang yang diserahkan
kepada kita, marilah kita urus atau kelola sebaiknya mungkin, sesuai dengan
maksud pemberi (ad intentio dantis).
Jika kita berhasil dengan baik mengurus atau mengelola yang menjadi milik kita
atau kita kuasai maka kiranya kita memiliki modal kekuatan untuk mengrurus atau
mengelola milik orang lain yang lebih besar. Harta benda/uang adalah ‘jalan ke
neraka atau jalan ke sorga’, marilah kita jadikan ‘jalan ke sorga’.

· “Saudara-saudara
yang kukasihi dan yang kurindukan, sukacitaku dan mahkotaku, berdirilah juga
dengan teguh dalam Tuhan, hai saudara-saudaraku yang kekasih!”(Flp 4:1),
demikian sapaan Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman. “Berdiri
dengan teguh dalam Tuhan” adalah cirikhas orang cerdas beriman, ia tidak mudah
tergoyahkan oleh berbagai rayuan atau godaan kenikmatan duniawi yang membuatnya
‘menjauh dari Tuhan maupun sesama atau saudara-saudarinya’. Kita semua adalah
ciptaan Tuhan, dan hanya dapat hidup, tumbuh berkembang menjadi cerdas beriman
jika kita setia berdiri dengan teguh dalam Tuhan. Memang untuk itu kita perlu
membiasakan diri terus menerus berbuat baik kepada siapapun dan dimanapun;
semakin banyak berbuat baik kepada sesama berarti akan semakin teguh berdiri
dalam Tuhan, sebaliknya orang yang jarang berbuat baik kepada sesamanya pasti
mudah jatuh atau berdosa terus menerus. Apa yang disebut baik senantiasa
berlaku universal dan bersifat menyelamatkan, khususnya keselamatan jiwa. Yang
ideal memang ‘mens sana in corpore
sano’, pengertian/akal budi/jiwa yang
sehat dalam tubuh yang sehat, maka marilah kita serentak merawat, menjaga dan
memperkuat pengertian/akal budi/jiwa dan tubuh kita menjadi segar bugar, sehat
wal’afiat sebagai tanda bahwa kita dengan rendah hati berusaha setia ‘berdiri
dengan teguh dalam Tuhan’. Orang yang demikian senantiasa dinamis dan proaktif
dalam berbuat baik bagi sesamanya dimanapun dan kapanpun.



“Aku
bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: "Mari kita pergi ke rumah
TUHAN."

( Mzm 122:1)

Jakarta, 7 November 2008

Senin, 03 November 2008

Agenda/Kegiatan Lingkungan


Doa Arwah:

Peringatan 40 hari meninggalnya Bapak Mudjiono akan diadakan pada:

hari Sabtu : 15 Nopember 2008 Jam :19.30 Tempat : Komplek Karyawan Walikota Jakbar.

Minggu, 02 November 2008

“Engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang benar”

“Engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang benar”

(Flp 2:1-4; Luk 14:12-14)



“Dan Yesus berkata juga kepada orang
yang mengundang Dia: "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau
perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau
saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya,
karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan
demikian engkau mendapat balasnya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan,
undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan
orang-orang buta.Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai
apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada
hari kebangkitan orang-orang benar.”
(Luk 14:12-14), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:

· “Apa yang
telah saya nikmati selama hdup di dunia ini nanti setelah mati, meninggal
dunia, tak dapat dinikmati lagi, sedangkan yang belum dinikmati selama hidup di
dunia ini nanti akan dapat menikmati sepuas-puasnya di sorga”, demikian kata seorang bijak. Dengan kata lain apa yang
ada di dalam hidup kekal nanti adalah kebalikan dari apa yang ada dalam hidup
sementara di dunia ini, misalnya: jika di dunia saat ini kita bermalas-malas
dan pesta pora, maka di hidup kekal nanti harus bekerja keras dan matiraga,
sebaliknya jika selama hidup di dunia ini kita bekerja keras dan matiraga, maka
di hidup kekal nanti kita dapat bermalas-malas dan berpesta pora seenakny dan
selamanya. “Jer basuki mowo beyo” (=
Untuk memperoleh hidup bahagia kekal harus berjuang dan bekerja keras), demikian
kata pepatah Jawa. Sabda atau Warta Gembira hari ini kiranya mengajak dan
memanggil kita untuk hidup sosial dan tidak materialistis atau bermental
bisnis, seperti hidup di pasar. Ingatlah bahwa orang yang sungguh materialistis
dan bermental bisnis yang kuat tinggal berlama-lama di pasar, yaitu para
pedagang, sedangkan para pembeli pasti tidak ingin berlama-lama berada di
pasar. Pembeli lebih banyak daripada penjual/pedagang, namun kiranya jika jujur
mawas diri baik pedagang/ penjual atau pembeli juga bermental bisnis, yang
mendambakan keuntungan atau kenikmatan sesaat. “Apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin,
orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.Dan engkau akan
berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu.
Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”,
demikian sabda Yesus. Sebagai bentuk konkret penghayatan hidup sosial , marilah
kita perhatikan mereka yang miskin, cacat,
lumpuh dan buta, entah secara duniawi maupun spiritual. Memperhatikan
kelompok orang macam ini anda akan menikmati kebahagiaan pribadi yang tahan
lama atau bahkan abadi atau kekal, tak mudah diambil orang lain atau luntur
karena rayuan dan godaan duniawi.

· “Hendaklah kamu
sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari
kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan
rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya
sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Flp 2:2-4), demikian nasihat
Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman. “Yen lagi mlaku ojo ndlangak nanging
ndungkluk” (=Ketika sedang berjalan jangan menengadah ke atas melainkan
menunduk ke bawah), demikian kata pepatah Jawa. Apa yang dimaksudkan ‘mlaku/berjalan’ di sini kiranya selama
perjalanan hidup kita di dunia. Marilah kita menunduk, melihat ke bawah,
memperhatikan mereka lebih lemah, miskin dan kurang daripada kita. Marilah kita
hidup dan bekerja dengan pedoman atau motto ‘solidaritas dan keberpihakan pada/bersama dengan yang miskin dan
berkekurangan’. Orangtua lebih memperhatikan anak-anaknya, pemimpin atau
atasan lebih memperhatikan anggota atau bawahannya, yang kaya dan kuat lebih
memperhatikan yang miskin dan lemah, yang pandai/cerdas memperhatikan yang
bodoh, dst.. Ajakan ini rasanya lebih kena bagi rekan-rekan yang hidup atau
tinggal di kota-kota besar, yang sedikit banyak diwarnai sikap mental
egois dan berkembang menjadi pelit, hanya
mencari keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Maka dengan ini secara khusus
perkenankan saya mengajak dan mengingatkan rekan-rekan yang hidup dan tinggal
di kota-kota besar: jadikanlah situasi hidup yang lebih diwarnai sikap mental
egoistis dan meterialistis menjadi ‘kesempatan emas’ untuk bersaksi hidup
sosial, peka terhadap kepentingan orang lain, lebih-lebih mereka yang miskin
dan berkekurangan.



“TUHAN, aku tidak tinggi hati, dan tidak
memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau
hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan
mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya,
seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku. Berharaplah kepada TUHAN, dari
sekarang sampai selama-lamanya!’ (Mzm
131)



Jakarta, 3 November 2008