Minggu, 18 Januari 2009

“Pada waktu itulah mereka akan berpuasa”.

“Pada waktu itulah mereka akan berpuasa”.

(Ibr 5:1-10; Mrk 2:18-22)



“Pada suatu kali ketika murid-murid
Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan
mengatakan kepada Yesus: "Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid
orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?" Jawab Yesus kepada
mereka: "Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang
mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak
dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka,
dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorang pun menambalkan
secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain
penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah
koyaknya. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam
kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan
kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi
anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula.” (Mrk 2:18-22), demikian kutipan Warta Gembira hari
ini.



Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:

· Ketika orang baru saja menikah, ditabbiskan menjadi imam,
berkaul hidup membiara, belajar atau bekerja pada umumnya bergairah, gembira
dan bahagia dalam melaksanakan tugas pengutusan atau menghayati panggilannya.
Namun seiring dengan perjalanan waktu serta harus menghadapi aneka tantangan
dan hambatan dalam hidup dan kerja kegairahan, kegembiraan dan kebahagiaan
tersebut mengalami erosi atau bahkan hancur berantakan. Orang merasa bosan,
jenuh dan tidak terpesona lagi terhadap apa-apa yang biasa-biasa saja atau
setiap hari bertemu dan hidup serta bekerja bersama dengan pribadi-pribadi yang
itu-itu juga. “Anggur yang baru hendaknya
disimpan dalam kantong yang baru pula”, demikian sabda Yesus, maka jika
anggur baru disimpan dalam kantong yang sudah tua dengan sendirinya akan
berantakan semuanya. Ketika kita kurang bergairah, berbahagia dan ceria dalam
hidup, panggilan dan tugas pengutusan kita ada kemungkinan kita tidak berjiwa
baru sebagaimana diharapkan, yaitu mengikuti dan menghayati dengan setia
janji-janji yang pernah kita ikrarkan. Jika demikian adanya maka kita
selayaknya berani berpuasa atau bermatiraga. Puasa atau matiraga antara lain
berarti mengendalikan gairah atau nafsu raga sesuai dengan kehendak Tuhan,
bukan sesuai dengan selera atau keinginan diri sendiri. Apa-apa yang menjauhkan
diri kita dengan Tuhan dan sesama harus
kita tinggalkan atau buang, itulah salah satu bentuk matiraga, entah itu
makanan, minuman, cara berpikir, cara merasa, cara bersikap, cara bertindak ,
dst… Sebaliknya jika kita senantiasa bersama dan bersatu dengan Tuhan yang
menjadi nyata bersama, bersahabat dan bersaudara dengan siapapun atau apapun
kiranya kita tidak perlu berpuasa atau matiraga. Salah satu tujuan matiraga
atau puasa lahir adalah untuk “mengalahkan
diri, maksudnya supaya nafsu taat kepada budi, dan semua kemampuan-kemampuan
yang lebih rendah makin tunduk kepada yang lebih luhur” (St.Ignatius
Loyola, LR no 87).

· “Dalam
hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan
ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut,
dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan”(Ibr 5:7), demikian berita tentang Imam Besar. Sebagai
orang beriman kita dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman, dan
rasanya kita juga dipanggil untuk “mempersembahkan
doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia” serta hidup saleh. Saleh yang dalam bahasa
Jawa “sumeleh”berarti “patuh dan bersandar kepada Allah Yang Maha
Esa. Manusia sebagai hamba hanya lah berusaha dan keberhasilannya tergantung
Kuasa Tuhan yang maha Esa, maka dengan sumeleh ini manusia di harapkan tak
mudah putus asa dan teguh dalam usahanya”.(anonim). Marilah baik dalam hidup, bekerja atau tugas apapun dan dimanapun kita
kita senantiasa menyandarkan diri kepada Allah dan tidak pernah putus asa atau
lesu ketika harus mengahadapi aneka tantangan dan hambatan. Ingatlah, sadari
dan hayatilah bahwa segala sesuatu tergantung dari Allah, maka bersama dan
bersatu dengan Allah kita akan mampu menghadapinya atau mengatasinya. Bersama
dan bersatu dengan Allah kita senantiasa akan berhasil atau sukses dalam
melaksanakan tugas pengutusan atau menghayati panggilan kita. Kita semua
dipanggil untuk menghayati imamat umum kaum beriman maksudnya antara lain
adalah mempersembahkan diri seutuhnya dan segala sesuatu kepada Allah, serta
meneruskan rahmat atau berkat Allah kepada sesame manusia dan ciptaan-ciptaan
lainnya di dunia ini.



“Demikianlah
firman TUHAN kepada tuanku: "Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat
musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu."Tongkat kekuatanmu akan diulurkan
TUHAN dari Sion: memerintahlah di antara musuhmu! Pada hari tentaramu bangsamu
merelakan diri untuk maju dengan berhiaskan kekudusan; dari kandungan fajar
tampil bagimu keremajaanmu seperti embun” (Mzm 110:1-3)



Jakarta, 19 Januari 2009 .