Minggu, 02 November 2008

“Engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang benar”

“Engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang benar”

(Flp 2:1-4; Luk 14:12-14)



“Dan Yesus berkata juga kepada orang
yang mengundang Dia: "Apabila engkau mengadakan perjamuan siang atau
perjamuan malam, janganlah engkau mengundang sahabat-sahabatmu atau
saudara-saudaramu atau kaum keluargamu atau tetangga-tetanggamu yang kaya,
karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan
demikian engkau mendapat balasnya. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan,
undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan
orang-orang buta.Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai
apa-apa untuk membalasnya kepadamu. Sebab engkau akan mendapat balasnya pada
hari kebangkitan orang-orang benar.”
(Luk 14:12-14), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.



Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:

· “Apa yang
telah saya nikmati selama hdup di dunia ini nanti setelah mati, meninggal
dunia, tak dapat dinikmati lagi, sedangkan yang belum dinikmati selama hidup di
dunia ini nanti akan dapat menikmati sepuas-puasnya di sorga”, demikian kata seorang bijak. Dengan kata lain apa yang
ada di dalam hidup kekal nanti adalah kebalikan dari apa yang ada dalam hidup
sementara di dunia ini, misalnya: jika di dunia saat ini kita bermalas-malas
dan pesta pora, maka di hidup kekal nanti harus bekerja keras dan matiraga,
sebaliknya jika selama hidup di dunia ini kita bekerja keras dan matiraga, maka
di hidup kekal nanti kita dapat bermalas-malas dan berpesta pora seenakny dan
selamanya. “Jer basuki mowo beyo” (=
Untuk memperoleh hidup bahagia kekal harus berjuang dan bekerja keras), demikian
kata pepatah Jawa. Sabda atau Warta Gembira hari ini kiranya mengajak dan
memanggil kita untuk hidup sosial dan tidak materialistis atau bermental
bisnis, seperti hidup di pasar. Ingatlah bahwa orang yang sungguh materialistis
dan bermental bisnis yang kuat tinggal berlama-lama di pasar, yaitu para
pedagang, sedangkan para pembeli pasti tidak ingin berlama-lama berada di
pasar. Pembeli lebih banyak daripada penjual/pedagang, namun kiranya jika jujur
mawas diri baik pedagang/ penjual atau pembeli juga bermental bisnis, yang
mendambakan keuntungan atau kenikmatan sesaat. “Apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin,
orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.Dan engkau akan
berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu.
Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar.”,
demikian sabda Yesus. Sebagai bentuk konkret penghayatan hidup sosial , marilah
kita perhatikan mereka yang miskin, cacat,
lumpuh dan buta, entah secara duniawi maupun spiritual. Memperhatikan
kelompok orang macam ini anda akan menikmati kebahagiaan pribadi yang tahan
lama atau bahkan abadi atau kekal, tak mudah diambil orang lain atau luntur
karena rayuan dan godaan duniawi.

· “Hendaklah kamu
sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari
kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan
rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya
sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” (Flp 2:2-4), demikian nasihat
Paulus kepada umat di Filipi, kepada kita semua orang beriman. “Yen lagi mlaku ojo ndlangak nanging
ndungkluk” (=Ketika sedang berjalan jangan menengadah ke atas melainkan
menunduk ke bawah), demikian kata pepatah Jawa. Apa yang dimaksudkan ‘mlaku/berjalan’ di sini kiranya selama
perjalanan hidup kita di dunia. Marilah kita menunduk, melihat ke bawah,
memperhatikan mereka lebih lemah, miskin dan kurang daripada kita. Marilah kita
hidup dan bekerja dengan pedoman atau motto ‘solidaritas dan keberpihakan pada/bersama dengan yang miskin dan
berkekurangan’. Orangtua lebih memperhatikan anak-anaknya, pemimpin atau
atasan lebih memperhatikan anggota atau bawahannya, yang kaya dan kuat lebih
memperhatikan yang miskin dan lemah, yang pandai/cerdas memperhatikan yang
bodoh, dst.. Ajakan ini rasanya lebih kena bagi rekan-rekan yang hidup atau
tinggal di kota-kota besar, yang sedikit banyak diwarnai sikap mental
egois dan berkembang menjadi pelit, hanya
mencari keuntungan diri sendiri atau kelompoknya. Maka dengan ini secara khusus
perkenankan saya mengajak dan mengingatkan rekan-rekan yang hidup dan tinggal
di kota-kota besar: jadikanlah situasi hidup yang lebih diwarnai sikap mental
egoistis dan meterialistis menjadi ‘kesempatan emas’ untuk bersaksi hidup
sosial, peka terhadap kepentingan orang lain, lebih-lebih mereka yang miskin
dan berkekurangan.



“TUHAN, aku tidak tinggi hati, dan tidak
memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau
hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan
mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya,
seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku. Berharaplah kepada TUHAN, dari
sekarang sampai selama-lamanya!’ (Mzm
131)



Jakarta, 3 November 2008

Tidak ada komentar: