Selasa, 05 Agustus 2008

Komentar Uskup Agung Palembang Mgr Aloysius Sudarso SCJ

Dalam tulisan ini, Romo Elis mengajak kita untuk melihat hidup dari arus dasar yang lebih dalam. Hidup adalah pemberian terbesar. Hidup boleh kita miliki bukan karena jasa kita sendiri.

Hidup itu seperti samudera luas, seperti sungai yang mengalir – yang kalau diturut muaranya tetap ke laut yang tak berbatas. Filosofi air yang dianut oleh Elis untuk memaknai hidup dan menjelaskannya perlu diperdalam lagi. Hidup memang sarat dengan riak-riak. Akan tetapi, agar seperti laut atau sungai dengan kedalamannya, hidup harus mengalir berdasarkan kekuatan arus paling dasar – yang tegas, deras, dan tak terbelokkan. Kalau tidak demikian, hidup akan menjadi dangkal, hanya pada permukaan, periferi, dan hanya menjadi riak-riak yang bisa naik turun tak menentu.

Sebagai pemberian cuma-cuma atau gratis, hidup itu harus dimaknai. Hidup adalah bahan dasar untuk segala sesuatu, maka tak bisa diremehkan dan direndahkan. Kalau hidup dihapuskan? Semua sirna, dan tak ada nikmat apapun.

Romo Elis melukiskan pemaknaan hidup itu melalui cerita waktu di sekolah dasar. Ketika itu seorang ibu guru meletakkan bunga dan menyuruh para murid melukiskannya dari berbagai sudut pandang. Betul bahwa hidup harus punya fokus. Banyak orang menjadi buyar hidupnya karena tak meruncing. Namun saya ingin menambahkan, bahwa manusia harus menjadi semakin khusus kalau dia ingin berarti dan memberi makna bagi orang lain. Dengan saling menerima dan menghargai kekhususannya, orang akan terbuka dan melihat yang indah dalam diri sendiri serta dalam diri orang lain. Bayangkan, setiap orang itu “khusus” di mata Tuhan! Kekhususan itu mencerminkan kekayaan hidup, bahkan kekayaan Tuhan.

Dua kali Elis berbicara tentang kematian. Takut mati dan takut neraka. Juga, mati disinggung dalam tulisan “Rindu difoto mati”. Lewat pesan ringkas melalui ponselnya, Elis mengharapkan komentar tentang takut neraka dan pandangan tentang mati itu. Menurut saya, biar saja! Kan itu berawal dari pengalaman kecil eksistensial. Kematian hanya dapat dijawab oleh yang pernah mati dan hidup kembali. Bahwa mati itu bagian dari hidup rasanya itu yang akan dapat membantu orang seimbang dalam perjalanannya. Bahwa kematian menyadarkan untuk selalu berjaga-jaga, asal bukan karena didominasi rasa takut, ya itu wajar.

Berjaga-jaga paling baik adalah berjaga seperti ayam atau burung pungguk. Di pedesaan, seperti sekitar Gumawang tempat Romo Elis bekerja sebagai imam, barangkali masih ada ayam berkokok pada pukul dua belas malam, dan semakin pagi semakin gencar kokok mereka. Mengapa? Seakan dalam benak si ayam telah hadir sang surya yang semakin terasa kehangatan sinarnya. Rasa satu dan kerinduan seperti ini membawa kokok sukacita. Juga si pungguk merindukan bulan –maka dia bernyanyi dan berjaga.

Berjaga-jaga bukan karena takut tetapi karena rasa satu dengan yang dinantikannya. Hidup juga harus begitu: Tidur tetapi berjaga! Ada yang dinantikan dalam hidup ini, bukan?

Seberapa jauh ibu berperan dalam hidup? Elis mengingat masa kecil, mulai dengan mengecewakan ibu lewat ”Iwak asin” yang terus-menerus hingga pada “Sakitnya melahirkan” serta “Nikmatnya melahirkan”.

Ibu memang dekat dengan hidup. Melihat ibu yang menggendong sambil menyusui bayinya, saya mau mengatakan bahwa ibu adalah makanan dan minuman. Habis, tanpa makan dan minum dari tubuh darah ibu, tidak mungkin kita hidup sampai sekarang ini. Ibu dan hidup begitu dekat. Hidup itu begitu kuat. Itu nampak dalam para ibu yang rela mati untuk melahirkan hidup baru. Ada banyak cara ibu memelihara hidup anak: dengan memaafkan, menyimpan yang tidak enak dalam hati, dan diam tetapi berdoa di keheningan dapur rumah tangga.

Bukankah suatu hukum natural: harus ada yang mati terlebih dahulu supaya hidup bisa diteruskan? Ini jaman orang takut mati. Banyak puteri takut melahirkan, maka memilih melahirkan dengan operasi cesar. Malah ada yang takut mempunyai anak karena merepotkan. Itu tanda manusia takut mati.

Hidup itu tumbuh melalui sakit, kekecewaan, dan korban. Elis menceritakan pengalaman tidak enak itu. Entah itu pengalaman lama atau akhir-akhir ini, hanya dia yang tahu. Hidup harus bersahabat dengan diri sendiri dan dengan luka-luka –dan watak kita. Ingatkah kita pada kata-kata Michael Angelo, sang maestro seni dan pencipta patung-patung terkenal di dunia itu? Dia mengatakan bahwa dalam batu marmer yang dipahatnya dia melihat Musa, Maria yang memangku Anaknya yang wafat di salib. Harus ada intervensi dari yang lain agar manusia bisa dibentuk.

Namun, yang besar dan mulia dari hidup ini hanya akan tumbuh dalam kesederhanaan dan keheningan. Di keheningan pagi kuncup-kuncup mawar mengembangkan daun-daun bunganya yang indah. Banyak hal-hal besar terjadi tetapi hanya bisa dilihat dengan hati sederhana.

Wah, bicara tentang misteri hidup tak ada habisnya. Karena hidup memang begitu kuat. Manusia ini hanya setitik air di tengah mahadahsyatnya samudera. Dan hanya Yesus yang bisa mengatakan, “Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup.” Via,Veritas et Vita!

Selamat membaca, moga-moga Anda terbantu dalam memaknai hidup Anda! Proficiat kepada Romo Elis!



Mgr. Aloysius Sudarso SCJ

Uskup Agung Palembang

Dari Buku Filosofi Air

Tidak ada komentar: