Kamis, 05 Januari 2012

Menghirup Udara Katolik

*Menghirup Udara Katolik*

Oleh : David Palm

Saya dan istri dibesarkan sebagai Protestan Evangelikal, dan jika anda
 memberitahu kami setahun yang lalu bahwa kami akan menjadi Katolik
 sekarang, kami pasti akan tertawa. Menjadi Katolik bukan merupakan prospek
 yang kami sukai. Ketika kami pertama kali mulai dipengaruhi secara positif
 menyangkut hal-hal Katolik, perasaan kami bisa digambarkan sebagai berikut:
 "Kami telah bertemu sang musuh, dan ialah diri kami sendiri."
 Saya menyesal harus menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan
 Evangelikal tertentu dan Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan,
 tetapi demikianlah adanya ketika kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa
 Gereja Katolik telah merampas kedudukan Alkitab dengan menambahkan lapisan
 demi lapisan "tradisi manusia" terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu
 berjuta-juta orang dengan mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh
 perbuatan baik. Kami adalah Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh
 rahmat Tuhan, kami telah melihat bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada
 keutuhan iman Kristiani.
 Perjalanan spiritual saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari
 akademi, saya masuk sebuah seminari Protestan Evangelikal yang ternama:
 Trinity Evangelical Divinity School. Seminari ini sangat terkenal di
 kalangan Evangelikal karena komitmennya kepada Alkitab sebagai satu-satunya
 otoritas bagi iman dan praktek Kristiani. Baik pengajar maupun
 mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas, inspirasi, dan
 kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak intelektual seperti
 gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani,
 metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik (metode penafsiran
 Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para teologis
 liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai
 argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab
 suatu urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi
 dorongan bagi kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan
 memformulasikan posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan
 bukti-bukti objektif yang tersedia dalam Alkitab.
 Yang menarik adalah bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para
Bapa Gereja Perdana, dan juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo
 Agustinus (karena dia dianggap sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan
 Santo Thomas Aquinas (karena dampak tulisannya terhadap pemikiran Kristen
 sangat menonjol sehingga sulit untuk diabaikan). Pada umumnya kami melompat
 dari jaman para Rasul langsung ke jaman reformasi Protestan, sehingga
 pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh nyaris tidak ada sama
 sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi pemikiran saya
 terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada waktu itu.

 Pertama, ketika saya bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya
 dengan mendetail, saya mulai menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung
 teologi seperti yang telah diajarkan kepada saya. Saya merubah posisi dari
 ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme. Saya tidak lagi percaya pada
 kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan keselamatan mutlak bagi
 umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola Fide (bahwa kita
 dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi. Dan saya
 mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan Perjamuan
 Kudus.

 Saya merasa salah tempat secara teologis karena tidak ada satupun
 denominasi Protestan yang punya pandangan-pandangan yang sama seperti yang
 saya punyai, dan hal ini sangat mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor
 saya meyakinkan saya bahwa sepanjang pandangan saya masih serasi dengan
 Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar kepercayaan Kristen yang
 "ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral terhadap doktrin Kristiani
 semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan Kristen jika
 seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan dirinya
 sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah terpecah-belah
 dan terus terpecah sepanjang jaman?
 Meskipun saya tidak merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya
 sendiri, saya juga tidak merasa nyaman secara teologis dalam
 denominasi-denominasi manapun yang ada. Saya memutuskan untuk menyimpan
 beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena saya khawatir reaksi yang
 bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut penafsiran Alkitab
 diantara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya secara setengah
 sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab
 sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang
 dipercaya oleh kaum Evangelikal.
 Faktor kedua yang merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan
 yang tidak ortodoks yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog
 Protestan yang liberal maupun kelompok-kelompok konservatif.
 Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada Alkitab untuk mendukung
 pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari doktrin-doktrin mereka adalah
 hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini tidak pernah dipercaya oleh
 siapapun sepanjang sejarah Gereja.

 Secara insting saya tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak
diantaranya jelas-jelas bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman)
 yang dipegang oleh Gereja. Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi
saya, Alkitab atau syahadat iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman
 atau "iman Gereja yang universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin
 tidak ortodoks, lantas bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja?
 Ini menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah
 ortodoksi itu sebenarnya? Apa yang menjadi standar ortodoksi Kristen?
 Saya mulai meragukan bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak
 seorangpun dari kami setuju akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala
 pendekatan Alkitabiah bisa dilawan dengan suatu interpretasi yang berbeda
 atau malahan penolakan sama sekali terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin
 condong kepada syahadat-syahadat dan kepada "iman universal Gereja" yang
 rada tidak jelas, untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya
 percaya sifatnya ortodoks.

 Saya tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata
 juga sedang dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja
 Katolik. Sewaktu di akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed
 Baptist. Hal ini membawanya kepada pemahaman yang sakramental terhadap
 Perjamuan Kudus dan pada gilirannya dia mempengaruhi saya dengan doktrin
 ini.

 Salah satu saudara perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik -
 kadangkala menunjuk kepada kekacauan diantara kaum Protestan dan
 melontarkan pertanyaan bahwa bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki
 doktrin Kristen yang benar, tetapi berbeda pendapat dalam sekian banyak
 isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya dan menurutnya tidak ada
 jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang minta petunjuk Roh Kudus
 jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya tidak memuaskan
 tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.

 Kira-kira dua tahun yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army
 (=Bala Keselamatan) dan melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku
 Katolikisme dan Fundamentalisme karangan Karl Keating dan membolak-balik
 halaman-halamannya karena rasa ingin tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi
 nyaris saja saya taruh kembali karena bagaimanapun ini buku tentang teologi
 Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri saya sendiri, judul
 pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya untuk
 mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.

 Saya membeli buku tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta
 di pagi hari menuju ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara
 simpatik dan mengakui bahwa kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik -
 terutama menyangkut pandangan Katolik terhadap Alkitab - maka lantas
 teologi Katolik tampak koheren dan masuk akal. Buku tersebut menjernihkan
 salah persepsi saya terhadap apa yang sesungguhnya dipercaya oleh iman
 Katolik.

 Saya menceritakan hasil observasi saya kepada istri saya. Ini suatu
 kesalahan langkah. Kami langsung terlibat dalam suatu perdebatan di kereta.
 "Kamu tidak akan masuk Katolik, khan?" dia langsung menyemprot saya. Dia
 memberitahu saya sesudahnya bahwa pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana
 saya bisa menjelaskan kepada keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi
 seminarian Protestan dan dia malah masuk Katolik!" Saya mengambil langkah
mundur dan mengatakan kepadanya bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh
 topik tersebut untuk sementara tidak kami ungkit-ungkit lagi.

 Akan tetapi rasa hormat saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya
 sungguh mengagumi Sri Paus Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas
 terhadap imoralitas, dan penolakannya untuk melunakkan pesan-pesannya
 kepada presiden Amerika Serikat dan kepada warga Amerika Serikat, dan
 panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali kepada iman Kristen
 sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles Colson yang
 berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh Gereja
 Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat Katolik
 mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik dalam
 nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal kami
 karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak berbuat
 banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami
 mempraktekan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan
 tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa
 nikah dan anak-anak mereka.

 Pada bulan Mei 1993, karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya
 lontarkan pada suatu kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami
 kenal dari gereja Baptist yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka
 sedang menyelidiki iman Katolik. Dave juga lulus dari seminari yang sama
 dengan saya, sehingga kami mempunyai latar belakang teologis yang sama.
 Kami berbincang-bincang selama seharian tentang hal-hal menarik yang kami
 temukan tentang Gereja Katolik. Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku
 karangan Karl Keating yang saya beli kepadanya sedangkan Dave meminjamkan
 saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara oleh Scott Hahn, seorang mantan
 pendeta Presbiterian yang telah menjadi Katolik. Saya sangat menikmati
 kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu saya tidak sepenuhnya
 terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru nantinya saya menyadari
 betapa besar pengaruhnya terhadap saya).

 Tidak banyak hal yang terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave
 mengembalikan buku saya. Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri
 dari dewan deakon di gereja kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai
 menghadiri Misa Kudus. Kami terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya
 melihat Dave sebagai idola spiritiual. Dia adalah seorang yang punya
 integritas, dan saya tahu bahwa Dave tidak akan main-main dalam hal semacam
 ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita tentang Dave tidak akan diterima
 dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami telah memutuskan untuk tetap
 menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave dan istrinya .

 Kami mengundang mereka beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang.
 Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha
 untuk membuat mereka membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi
 untuk mengetahui apa yang telah mendorong mereka membuat keputusan
 tersebut. Makin banyak kami berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi
 satu doktrin-doktrin Katolik tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan
 konsisten. Bahkan agaknya malah meliputi seluruh Alkitab, termasuk
 ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak memfokuskan diri terhadap
 sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung suatu posisi.
 Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat sulit
 tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.

 Kami menemukan bahwa kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap
 umumnya ajaran iman Katolik yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang
 bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami
 tersebut tinggal sampai tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan
 istri merasa seperti murid-murid Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus.
 Telinga kami serasa terbakar oleh pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir
 pekan itu tidak seorangpun dari kami bisa menyingkirkannya dari benak
 pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat tidur.

 Istri saya membuat saya terheran-heran karena dia mulai bicara tentang
 kepastian kami untuk menjadi Katolik. Saya begitu shock karena tidak
 menyangka dia begitu terdorong menuju Katolik. Tetapi sekali dia mengerti
 prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri Paus, peran Magisterium Gereja,
 dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia mengerti bahwa sisanya tinggal
 mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai kesana. Saya punya banyak
 pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam hati saya ingin
 semuanya benar.

 Kami memulai eksplorasi yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai
 hasil penyelidikan ini, saya menemukan bahwa dalam semua area teologis
 dimana saya berubah pandangan, saya ternyata telah atau sedang menuju ke
 arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi yakin bahwa umumnya
 "pengetahuan" saya akan iman Katolik setidak-tidaknya telah
 disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.

 Di masa lalu, kalaupun saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya
 selalu membaca dari sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk
 memburuk-burukan iman Katolik dan seringkali, sengaja atau tidak sengaja,
 telah memberi penerangan yang salah tentang apa yang sesungguhnya
 diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca dari sumber-sumber Katolik
 tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang mendukungnya sungguh merupakan
 suatu pengalaman yang membuka mata hati saya dan suatu tantangan. Saya
 dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang tadinya saya terima
 mentah-mentah.

 Melalui penyelidikan ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan
 disebut-sebut sebagai kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan
 "tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang terutama
 dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab.
 Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga
 doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab
 adalah satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin
 transubstansiasi.

 Sewaktu masih di seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa
 kita dibenarkan hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab
 (lihat Yakobus 2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37).

 Poin selanjutnya bagi saya adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran
 Sejati Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai
 suatu sakramen, tetapi sekarang saya melihat bahwa Alkitab bahkan
 mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh menjadi
tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan buat saya
 adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama 1500
 tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen
 dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang
 telah dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai
 misteri iman yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi
 Cuma sekedar perayaan ulang.

 Saya membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu -
 Ignatius, Justin Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan
 menemukan bahwa mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi
 bisa memegang pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa
 berjuta-juta umat Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara
 pribadi, telah disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang
 dan membawa kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju
 satu sama lain apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa
 Gereja Katolik pasti salah!

 Pijakan terakhir saya sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola
 Scriptura - doktrin yang menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya
 otoritas dalam hal iman - runtuh berkeping-keping. Saya telah membaca dari
 buku Karl Keating dan mendengar rekaman Scott Hahn bahwa doktrin tersebut
 tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya Alkitab tidak pernah mengaku
 sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif terhadap iman kita. Banyak
 ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari para rasul, apakah
 tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat Kristen harus percaya
 dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1 Korintus 11:2, 1 Tesalonika 2:13, 2
 Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2, 2 Petrus 3:1-3).

 Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman
seperti yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus,
 ketika dia menyebut Gereja (dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan
 pondasi kebenaran" (1 Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan
 argumen ini meskipun saya tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2
 Timotius 3:16 tetapi ayat ini hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat
 bagi koreksi, latihan, dan lain-lain , tetapi ini tidak sama dengan
 mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi hal ini).

 Di suatu petang, konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari
 Protestanisme telah disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa
 segala doktrin kita harus punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola
 Scriptura itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya
 menyadari bahwa posisi Protestan sungguh didasarkan atas inkoherensi logis.

 Setelah saya menjadi yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah
 semua di tiga hal diatas, maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi
 Reformasi sama sekali. Meskipun rasanya semua orang setuju, apakah Katolik
 atau Protestan, bahwa Gereja Katolik perlu reformasi selama jaman Luther
 (bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi saya untuk percaya bahwa bisa
 dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara memecah-belahnya menjadi
 ribuan kelompok-kelompoik yang semuanya mengaku memegang doktrin yang benar
 tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali bekerja
 sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus
 terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme,
 sungguh sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab
 (Yohanes 10:16, 17:20-23, dan 1 Korintus 1-3).

 Setelah melampaui semua hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri
 merasa hanya tinggal dua pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik
 rasionalistik atau naik menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja
 Katolik. Ini bukan suatu pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi
 Yesus dan tidak akan pernah menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan
 Tuhan). Kami diterima ke dalam Gereja Katolik dan menerima sakramen
 penguatan pada tanggal 8 Februari 1994. Kami sungguh berbahagia menjadi
 Katolik, meskipun transisi - terutama hal memberitahu kawan-kawan dan
 keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.
 Karena lingkungan Gereja Katolik berbeda dengan Protestan Evangelikal, kami
 masih dalam proses adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang
 setelah bergabung dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa
 seperti kapal yang akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus
 "terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami
 tidak lagi harus melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami
 percaya adalah ortodoks.

 Sekelompok imam dan awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan
 telah memberikan pelayanan kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan
 mereka selama peziarahan kami kedalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual
 kami telah membawa kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah
 Kristen dalam liturgi, kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan
 spiritualisme Katolik yang tak terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami
 bahwa kami telah pulang ke rumah.

 Selamat berpulang kembali ke Gereja Katolik, Gereja Perdana yang
 didirikan oleh Yesus Kristus.

Tidak ada komentar: