“Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
(Gal 1:6-12; Luk 10:25-37)
“Pada suatu kali berdirilah seorang ahli
Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal?" Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang
tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?" Jawab
orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu,
dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata Yesus
kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan
hidup." Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus:
"Dan siapakah sesamaku manusia?"
(Luk 10:25-29), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:
· Semua orang atau siapapun kiranya mendambakan atau
mencita-citakan hidup bahagia, damai sejatera dan selamat baik di dunia maupun
di akhirat nanti atau setelah dipanggil Tuhan/meninggal dunia hidup mulia di
sorga bersama Allah, Pencipta dunia. Syarat atau sarana untuk hidup bahagia,
damai sejahtera dan selamat adalah dengan menghayati atau melaksanakan
perintah/sabda ini: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu dan kasihilah sesamamu seperti dirimu
sendiri”. Kasih terhadap Allah harus menjadi nyata dalam kasih terhadap
sesama manusia: semakin mengasihi Allah berarti semakin mengasihi sesama
manusia, semakin mengasihi sesama manusia berarti semakin mengasihi Allah. Yang
dapat diindrai dan dinikmati selama hidup di dunia ini kiranya adalah kasih
terhadap sesama manusia. “Siapa sesamaku manusia?” Dalam kisah Warta Gembira
hari ini kepada kita ditunjukkan bahwa sesama manusia yang mendesak atau segera
kita kasihi adalah mereka yang sungguh membutuhkan, yang sedang sakit dan
menderita. Dalam kisah hari ini yang menderita adalah orang yang dirampok dan
hampir mati. Dalam hidup kita sehari-hari kiranya mereka yang sakit dan
menderita, tidak hanya secara phisik melulu, tetapi juga spiritual, yaitu sakit
hati/pemarah, sakit jiwa/gila atau sakit
akal budi/ bodoh. Tanpa pandang bulu, SARA, usia, dst.. marilah siapapun yang
sedang menderita sakit kita kasihi sesuai dengan kebutuhannya untuk menjadi
sembuh, sehat wal’afiat kembali. Untuk kita kita harus dengan jiwa besar dan
hati rela berkorban mempersembahkan hati, jiwa, akal budi,
kekuatan/tenaga/harta benda/uang bagi mereka yang sedang menderita sakit.
Menderita sakit adalah bagian atau langkah menuju ke kematian atau dipanggil
Tuhan, maka sebagaimana kita dengan jiwa besar dan rela berkorban untuk memperhatikan mereka yang telah dipanggil
Tuhan (bdk ‘melayat’), hendaknya hal yang sama kita lakukan pada saat-saat
saudara dan saudari kita berada di dalam perjalanan menuju ke kematian alias
sedang menderita sakit.
· “Jadi
bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah
kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada
manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus. Sebab aku menegaskan kepadamu,
saudara-saudaraku, bahwa Injil yang kuberitakan itu bukanlah injil
manusia.Karena aku bukan menerimanya dari manusia, dan bukan manusia yang
mengajarkannya kepadaku, tetapi aku menerimanya oleh penyataan Yesus Kristus”(Gal 1:10-12).
Pertanyaan refleksif Paulus “adakah
kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah”, kiranya juga menjadi
pertanyaan refleksif kita semua. Apa yang kucari dengan susah payah atau kerja
keras di dunia ini: kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Kesukaan manusia yang
baik atau berbudi pekerti luhur kiranya identik atau sama dengan kesukaan
Allah, maka marilah dengan rendah hati kita berusaha untuk menjadi manusia yang
baik atau berbudi pekerti luhur. Orang yang berbudi pekerti luhur rasanya
menghayati beberapa dari keutamaan-keutamaan atau nilai-nilai ini: “bekerja keras, berani memikul resiko,
berdisiplin, beriman, berhati lembut, berinisiatif, berpikir matang, berpikiran
jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bersyukur,
bertanggungjawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis,
efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, kreatif, kukuh hati, lugas,
mandiri, mawas diri, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan,
menghargai waktu, pemaaf, pemurah, pengabdian, pengendalian diri, produktif,
rajin, ramah tamah, rasa kasih sayang, rasa percaya diri, rela berkorban,
rendah hati, sabar, setia, sikap adil, sikap hormat, sikap tertib, sopan
santun, sportif, susila, tangguh, tegas, tekun, tetap janji, terbuka, ulet” (Prof
Dr Edi Sedyawati/edit: Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka –
Jakarta 1997). Jika orang unggul atau secara mendalam menghayati salah satu keutamaan
atau nilai tersebut di atas hemat saya secara inklusif yang bersangkutan juga
menghayati keutamaan atau nilai-nilai lainnya.
“Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan
segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah. Besar
perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya. Perbuatan
tangan-Nya ialah kebenaran dan keadilan, segala titah-Nya teguh, kokoh untuk
seterusnya dan selamanya, dilakukan dalam kebenaran dan kejujuran”(Mzm 111:1-2.7-8)
Jakarta, 6 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar