Pendalaman Kitab Suci dalam Rangka Bulan kitab Suci untuk Minggu ke2 13 September 2008 ini diadakan di rumah bapak Sarjiman Jl.Bunga Meruya Selatan Jakarta Barat.
Doa Arwah Petrus Yudi Cahyadi di Aula Gereja Selasa 16 September 2008 Jam 19.30
Rabu, 03 September 2008
BULAN KITAB SUCI NASIONAL
BULAN KITAB SUCI NASIONAL
Selintas Sejarah
Pada bulan September telah dikhususkan oleh Gereja Katolik Indonesa sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca KS, pendalaman KS di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Terutama pada hari Minggu pertama bulan itu, kita merayakan hari Minggu Kitab Suci Nasional. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk KS, dan KS ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa?
Untuk mengetahui latar belakang diadakannya BKSN ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh KV II yang berbicara mengenai KS adalah Dei Verbum. Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca KS. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan KS ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Usaha ini sebenarnya telah dimulai sebelum KV II dan Gereja Katolik telah selesai menerjemahkan seluruh KS, baik PL maupun PB. Namun, KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mengikuti anjuran KV II ini, Gereja Katolik Indonesia mulai “meninggalkan” terjemahan PL dan PB yang merupakan hasil kerja keras para ahli Katolik, dan memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. De
ngan demikian, mulailah pemakaian KS terjemahan bersama, yang merupakan terjemahan resmi yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Yang membedakan hanyalah Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diakui termasuk dalam KS oleh Gereja Katolik namun tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan.
Kitab Suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenalnya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia, yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan KS kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca KS. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar KS pada Hari Minggu tertentu.
LBI telah dua kali mencobanya. Pada tahun 1975 dalam rangka menyambut terbitnya Alkitab lengkap ekumenis, LBI menyarankan agar setiap paroki mengadakan Misa Syukur pada bulan Agustus. Bahan-bahan liturgi dan saran-saran kegiatan yang dapat dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikirimkan ke keuskupan-keuskupan. Percobaan kedua dilakukan pada tahun 1976. Akhir Mei 1976 dikirimkan bahan-bahan langsung kepada pastor-pastor paroki untuk Hari Minggu Kitab Suci tanggal 24/25 Juli 1976, ditambah lampiran contoh pendalaman, leaflet, tawaran bahan diskusi, dan lain-lain.
Walaupun dua kali percobaan itu tidak menghasilkan buah melimpah seperti yang diharapkan, LBI toh meyakini bahwa HMKS harus diteruskan dan diusahakan, dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendekatkan dan memperkenalkan umat dengan sabda Allah. KS juga diperuntukkan bagi umat biasa, tidak hanya untuk kelompok tertentu dalam Gereja. Mereka dipersilahkan melihatnya dari dekat, mengenalnya lebih akrab sebagai sumber dari kehidupan iman mereka.
2. Untuk mendorong agar umat memiliki dan menggunakannya. Melihat dan mengagumi saja belum cukup. Umat perlu didorong untuk memilikinya paling sedikit setiap keluarga mempunyai satu kitab suci di rumahnya. Dengan demikian, umat dapat membacanya sendiri untuk memperdalam iman kepercayaannya sendiri.
Dalam sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah Hari Minggu Pertama September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami KS semakin berkembang. Satu Minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional.
Courtesy: YM Seto Marsunu
Sekretaris LBI
Selintas Sejarah
Pada bulan September telah dikhususkan oleh Gereja Katolik Indonesa sebagai Bulan Kitab Suci Nasional. Di setiap keuskupan dilakukan berbagai kegiatan untuk mengisi bulan ini, mulai di lingkungan, wilayah, paroki, biara, maupun di kelompok-kelompok kategorial. Misalnya, lomba baca KS, pendalaman KS di lingkungan, pameran buku, dan sebagainya. Terutama pada hari Minggu pertama bulan itu, kita merayakan hari Minggu Kitab Suci Nasional. Perayaan Ekaristi berlangsung secara meriah, diadakan perarakan khusus untuk KS, dan KS ditempatkan di tempat yang istimewa. Sejak kapan tradisi Bulan Kitab Suci Nasional ini berawal? Untuk apa?
Untuk mengetahui latar belakang diadakannya BKSN ini kita perlu menengok kembali Konsili Vatikan II. Salah satu dokumen yang dihasilkan oleh KV II yang berbicara mengenai KS adalah Dei Verbum. Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca KS. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan KS ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Usaha ini sebenarnya telah dimulai sebelum KV II dan Gereja Katolik telah selesai menerjemahkan seluruh KS, baik PL maupun PB. Namun, KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan. Mengikuti anjuran KV II ini, Gereja Katolik Indonesia mulai “meninggalkan” terjemahan PL dan PB yang merupakan hasil kerja keras para ahli Katolik, dan memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. De
ngan demikian, mulailah pemakaian KS terjemahan bersama, yang merupakan terjemahan resmi yang diakui baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Yang membedakan hanyalah Kitab-Kitab Deuterokanonika yang diakui termasuk dalam KS oleh Gereja Katolik namun tidak diakui oleh Gereja-gereja Protestan.
Kitab Suci telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, namun umat Katolik Indonesia belum mengenalnya, dan belum mulai membacanya. Mengingat hal itu, Lembaga Biblika Indonesia, yang merupakan Lembaga dari KWI untuk kerasulan Kitab Suci, mengadakan sejumlah usaha untuk memperkenalkan KS kepada umat dan sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca KS. Hal ini dilakukan antara lain dengan mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara nasional. LBI mengusulkan dan mendorong agar keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar KS pada Hari Minggu tertentu.
LBI telah dua kali mencobanya. Pada tahun 1975 dalam rangka menyambut terbitnya Alkitab lengkap ekumenis, LBI menyarankan agar setiap paroki mengadakan Misa Syukur pada bulan Agustus. Bahan-bahan liturgi dan saran-saran kegiatan yang dapat dilakukan beberapa bulan sebelumnya dikirimkan ke keuskupan-keuskupan. Percobaan kedua dilakukan pada tahun 1976. Akhir Mei 1976 dikirimkan bahan-bahan langsung kepada pastor-pastor paroki untuk Hari Minggu Kitab Suci tanggal 24/25 Juli 1976, ditambah lampiran contoh pendalaman, leaflet, tawaran bahan diskusi, dan lain-lain.
Walaupun dua kali percobaan itu tidak menghasilkan buah melimpah seperti yang diharapkan, LBI toh meyakini bahwa HMKS harus diteruskan dan diusahakan, dengan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendekatkan dan memperkenalkan umat dengan sabda Allah. KS juga diperuntukkan bagi umat biasa, tidak hanya untuk kelompok tertentu dalam Gereja. Mereka dipersilahkan melihatnya dari dekat, mengenalnya lebih akrab sebagai sumber dari kehidupan iman mereka.
2. Untuk mendorong agar umat memiliki dan menggunakannya. Melihat dan mengagumi saja belum cukup. Umat perlu didorong untuk memilikinya paling sedikit setiap keluarga mempunyai satu kitab suci di rumahnya. Dengan demikian, umat dapat membacanya sendiri untuk memperdalam iman kepercayaannya sendiri.
Dalam sidang MAWI 1977 para uskup menetapkan agar satu Hari Minggu tertentu dalam tahun gerejani ditetapkan sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksudkan adalah Hari Minggu Pertama September. Dalam perkembangan selanjutnya keinginan umat untuk membaca dan mendalami KS semakin berkembang. Satu Minggu dirasa tidak cukup lagi untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Maka, kegiatan-kegiatan ini berlangsung sepanjang Bulan September dan bulan ke-9 ini sampai sekarang menjadi Bulan Kitab Suci Nasional.
Courtesy: YM Seto Marsunu
Sekretaris LBI
Selasa, 02 September 2008
Renungan Harian dari Rm.Maryo
"Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu"
(1Kor 9:16-19.22b-27; Luk 6:39-42)
"Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: "Dapatkah
orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam
lobang? Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi
barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.
Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan
balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Bagaimanakah
engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku
mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di
dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah
dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk
mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."(Luk 6:39-42), demikian
kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan
sederhana sebagai berikut:
• Laporan pajak tahunan dari `lembaga atau organisasi' hendaknya tidak
tanpa kesalahan, artinya harus dibuat ada kesalahan sedikit, sehingga
pejabat/petugas pemeriksa pajak dapat memberi kritik dan saran dan
dengan demikian nampak lebih bijak. Dalam kunjungan kerja seorang
pemimpin kepada bawahannya harus dapat melihat kekurangan-kekurangan
atau lebih melihat kekurangan daripada kelebihan agar dapat menasihati
atau memberi saran dan dengan demikian sang pemimpin nampak lebih
bijak. Dst.. Sikap mental macam itu rasanya sungguh hidup di dalam
masyarakat kita, sehingga orang dengan mudah melihat kelemahan dan
kekurangan orang lain daripada kekuatan atau kelebihannya. Dengan kata
lain banyak orang lebih bersikap `negative thinking' daripada
`positive thinking'. Jika kita senantiasa bersikap `negative thinking'
maka kita tidak akan tumbuh berkembang sebagaimana kita harapkan atau
dambakan untuk menjadi pribadi cerdas beriman. Maka marilah kita
berantas aneka macam bentuk kemunafikan entah yang ada di dalam diri
kita sendiri maupun orang lain, namun demikian yang utama dan
pertama-tama hendaknya kita tidak munafik dalam kehidupan bersama.
"Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau
akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata
saudaramu", demikian sabda Yesus. Marilah kita jernihkan, bersihkan
mata hati, jiwa, aka budi dan tubuh kita, agar kita dapat melihat
segala sesuatu dengan jelas dan cermat serta tepat. Hemat saya di
dalam diri kita maupun saudara-saudari kita terdapat lebih banyak
kekuatan daripada kelemahan, kelebihan daripada kekurangan. Ingat
bahwa kita diciptakan oleh Allah untuk memuji, menghormati dan
mengabdi Allah, dan tentu saja antara lain dengan memuji, menghormati
dan mengabdi sesama atau saudara-saudari kita. Kita akan dapat saling
memuji, menghormati dan mengabdi jika kita saling melihat kekuatan dan
kelebihan yang ada didalam diri kita. Dengan saling memuji,
menghormati dan mengabdi maka kita akan tumbuh berkembang menjadi
pribadi cerdas beriman.
• "Jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk
memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku,
jika aku tidak memberitakan Injil. Kalau andaikata aku melakukannya
menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi
karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan
itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau
demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan
Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai
pemberita Injil" (1Kor 9:16-18), demikian kesaksian Paulus kepada umat
di Korintus, kepada kita semua orang beriman. "Injil" adalah warta
atau kabar gembira, maka memberitakan Injil berarti mewartakan,
mengabarkan, menyamapaikan atau memaklumkan apa yang menggembirakan
dan menyelamatkan. Upah untuk itu yang utama dan pertama-tama adalah
gembira dan selamat, melebihi aneka macam bentuk upah atau imbal jasa
lainnya. Jika kita menjadi gembira dan selamat kita juga tidak boleh
memegahkan diri atau menjadi sombong, melainkan tetap rendah hati,
karena kegembiraan dan keselamatan tersebut adalah anugerah Allah,
bukan semata-mata hasil kerja atau usaha kita orang yang lemah dan
rapuh ini. Bahwa kita juga dapat mewartakan kegembiraan dan kebaikan
kiranya juga merupakan anugerah Allah. Apa yang indah, baik, luhur dan
mulia adalah anugerah atau karya Allah. Gembira dan selamat kiranya
merupakan dambaan atau kerinduan semua orang, maka marilah kita dengan
rendah hati saling menggembirakan dan menyelamatkan. Jika kita
senantiasa dalam keadaan gembira, maka kita dapat menghadapi segala
sesuatu di dunia ini, entah pekerjaan, tugas, tantangan atau hambatan.
Belajar atau bekerja dengan gembira akan ringan adanya, dan kita tidak
akan merasa lelah, bosan atau frustrasi.
"Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan
dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.Bahkan burung pipit
telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang,
tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta
alam, ya Rajaku dan Allahku! Berbahagialah orang-orang yang diam di
rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. Berbahagialah manusia
yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah
"(Mzm 84:3-6)
Jakarta, 12 September 2008
(1Kor 9:16-19.22b-27; Luk 6:39-42)
"Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: "Dapatkah
orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam
lobang? Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi
barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.
Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan
balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Bagaimanakah
engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku
mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di
dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah
dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk
mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu."(Luk 6:39-42), demikian
kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan
sederhana sebagai berikut:
• Laporan pajak tahunan dari `lembaga atau organisasi' hendaknya tidak
tanpa kesalahan, artinya harus dibuat ada kesalahan sedikit, sehingga
pejabat/petugas pemeriksa pajak dapat memberi kritik dan saran dan
dengan demikian nampak lebih bijak. Dalam kunjungan kerja seorang
pemimpin kepada bawahannya harus dapat melihat kekurangan-kekurangan
atau lebih melihat kekurangan daripada kelebihan agar dapat menasihati
atau memberi saran dan dengan demikian sang pemimpin nampak lebih
bijak. Dst.. Sikap mental macam itu rasanya sungguh hidup di dalam
masyarakat kita, sehingga orang dengan mudah melihat kelemahan dan
kekurangan orang lain daripada kekuatan atau kelebihannya. Dengan kata
lain banyak orang lebih bersikap `negative thinking' daripada
`positive thinking'. Jika kita senantiasa bersikap `negative thinking'
maka kita tidak akan tumbuh berkembang sebagaimana kita harapkan atau
dambakan untuk menjadi pribadi cerdas beriman. Maka marilah kita
berantas aneka macam bentuk kemunafikan entah yang ada di dalam diri
kita sendiri maupun orang lain, namun demikian yang utama dan
pertama-tama hendaknya kita tidak munafik dalam kehidupan bersama.
"Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau
akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata
saudaramu", demikian sabda Yesus. Marilah kita jernihkan, bersihkan
mata hati, jiwa, aka budi dan tubuh kita, agar kita dapat melihat
segala sesuatu dengan jelas dan cermat serta tepat. Hemat saya di
dalam diri kita maupun saudara-saudari kita terdapat lebih banyak
kekuatan daripada kelemahan, kelebihan daripada kekurangan. Ingat
bahwa kita diciptakan oleh Allah untuk memuji, menghormati dan
mengabdi Allah, dan tentu saja antara lain dengan memuji, menghormati
dan mengabdi sesama atau saudara-saudari kita. Kita akan dapat saling
memuji, menghormati dan mengabdi jika kita saling melihat kekuatan dan
kelebihan yang ada didalam diri kita. Dengan saling memuji,
menghormati dan mengabdi maka kita akan tumbuh berkembang menjadi
pribadi cerdas beriman.
• "Jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk
memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku,
jika aku tidak memberitakan Injil. Kalau andaikata aku melakukannya
menurut kehendakku sendiri, memang aku berhak menerima upah. Tetapi
karena aku melakukannya bukan menurut kehendakku sendiri, pemberitaan
itu adalah tugas penyelenggaraan yang ditanggungkan kepadaku. Kalau
demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan
Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai
pemberita Injil" (1Kor 9:16-18), demikian kesaksian Paulus kepada umat
di Korintus, kepada kita semua orang beriman. "Injil" adalah warta
atau kabar gembira, maka memberitakan Injil berarti mewartakan,
mengabarkan, menyamapaikan atau memaklumkan apa yang menggembirakan
dan menyelamatkan. Upah untuk itu yang utama dan pertama-tama adalah
gembira dan selamat, melebihi aneka macam bentuk upah atau imbal jasa
lainnya. Jika kita menjadi gembira dan selamat kita juga tidak boleh
memegahkan diri atau menjadi sombong, melainkan tetap rendah hati,
karena kegembiraan dan keselamatan tersebut adalah anugerah Allah,
bukan semata-mata hasil kerja atau usaha kita orang yang lemah dan
rapuh ini. Bahwa kita juga dapat mewartakan kegembiraan dan kebaikan
kiranya juga merupakan anugerah Allah. Apa yang indah, baik, luhur dan
mulia adalah anugerah atau karya Allah. Gembira dan selamat kiranya
merupakan dambaan atau kerinduan semua orang, maka marilah kita dengan
rendah hati saling menggembirakan dan menyelamatkan. Jika kita
senantiasa dalam keadaan gembira, maka kita dapat menghadapi segala
sesuatu di dunia ini, entah pekerjaan, tugas, tantangan atau hambatan.
Belajar atau bekerja dengan gembira akan ringan adanya, dan kita tidak
akan merasa lelah, bosan atau frustrasi.
"Jiwaku hancur karena merindukan pelataran-pelataran TUHAN; hatiku dan
dagingku bersorak-sorai kepada Allah yang hidup.Bahkan burung pipit
telah mendapat sebuah rumah, dan burung layang-layang sebuah sarang,
tempat menaruh anak-anaknya, pada mezbah-mezbah-Mu, ya TUHAN semesta
alam, ya Rajaku dan Allahku! Berbahagialah orang-orang yang diam di
rumah-Mu, yang terus-menerus memuji-muji Engkau. Berbahagialah manusia
yang kekuatannya di dalam Engkau, yang berhasrat mengadakan ziarah
"(Mzm 84:3-6)
Jakarta, 12 September 2008
Kamis, 21 Agustus 2008
Prodiakon atau Asisten Imam atau Asisten Pastoral?
Rm. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr
Prodiakon pelayan khusus Gereja
Semangat pelayanan pastoral dewasa ini menuntut adanya jumlah petugas pastoral yang mencukupi. Mengingat desakan kebutuhan umat beriman akan pelayanan pastoral maka banyak Uskup menjelang Konsili Vatikan II meminta agar kaum awam terlibat di dalam pelayanan liturgi Gereja. Itulah yang menjadi semangat pembaharu Liturgi Gereja. Akhirnya melalui Motu Proprio "Ministeria Quedam" dari Paus Paulus VI 15 Agustus 1972, menegaskan bahwa tahbisan rendah para calon imam dihapus sehingga tinggal dua tugas pelayanan: yakni Sabda dan Altar (Lektor dan Akolit). Saat itu upacara tahbisan diganti dengan upacara pelantikan.
Dalam Liturgi pada dasarnya terdapat dua macam pelayanan yaitu pelayan tertahbis dam tidak tertahbis. Pelayan tertahbis adalah para klerus yang terdiri dari Uskup, Imam dan diakon. Sedangkan yang taktertahbis adalah para awam (non klerus) yang mengemban tugas khusus berdasarkan pelantikan liturgis yakni Lektor dan Akolit sebagai prasyarat tahbisan dan pengangkatan untuk penugasan sementara seperti: putra-putri altar, koster, pemazmur, paduan suara, komentator, pemandu, upacara, petugas kolekte.
Disamping itu, masih terbuka lebar bagi kaum beriman kristiani awam baik pria maupun wanita untuk tugas khusus membantu imam sebagai pelayan tak lazim (minister extraordinarius) dengan penyerahan tugas lewat pemberkatan liturgis atau penugasan sementara (bdk. Ministeria Quedam). Konferensi Waligereja setempat boleh memohon persetujuan Takhta Apostolik untuk menciptakan jabatan lain yang dinilainya perlu dan amat berguna bagi wilayah yang bersangkutan. Para pelayan kaum beriman kristiani awam itu bertugas membantu para klerus namun peran mereka tidak diturunkan melalui tahbisan. Itulah yang membedakan prodiakon dengan diakon tertahbis, atau asisten imam dengan imam.
Menjadi pelayan luar biasa (minister extraordinarius)
Tugas pokok prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral sebenarnya adalah membantu imam dalam bidang liturgi seperti misalnya:
•1. Pelayanan khusus untuk menerimakan komuni kudus. Para waligereja setempat berwenangan mengizinkan orang-orang yang pantas dan dipilih secara pribadi selaku pelayan khusus untuk suatu kesempatan atau jangka waktu tertentu (bdk. Dokumen Immensae Caritatis, 1973). Alasan perlunya petugas pelayan luar biasa, pertama adalah karena dalam perayaan ekatisiti jumlah umat yang besar atau halangan yang menimpa pemimpin perayaan ekaristi. Kedua, adalah di luar perayaan ekaristi: karena jarak tempat yang jauh, terutama untuk viaticum (komuni bekal suci); rumah sakit, panti jompo. Tujuannya: agar umat beriman yang sedang diliputi rahmat dan dengan hasrat yang tulus serta penuh bakti ingin mengambilbagian dalam perjamuan kudus, tidak kehilangan kesempatan untuk menikmati bantuan serta penghiburan sakramental (bdk IC, 776).
•2. Pelayan khusus untuk pemakaman. Keputusan KWI tahun 1972 menyatakan bahwa upacara-upacara di sekitar pemakaman sebaiknya dipimpin oleh seorang imam. Tetapi bila tidak mungkin, semua Upacara boleh juga dipimpin oleh seorang lain, kecuali Liturgi Ekaristi. Memang benar bahwa pada dasarnya upacara pemakaman bukanlah ritus sacerdotal, tak harus dipimpin oleh imam. Hanya tentu para imam yang diserahkan tugas mewartakan kabar gembira sepantasnya membawakan penghiburan bagi yang berduka.
•3. Memimpin Ibadat Sabda dan Ibadat Tobat. Ibadat tobat yang dimaksudkan disini dibedakan dalam tiga bentuk: Ibadat Sabda menjelang Hari Raya, Ibadat Tobat dalam masa Adven dan Prapaskah, Ibadat Sabda Hari Minggu tanpa imam. Dalam pedoman umumnya dikatakan tentang penugasan ini kepada kaum awam pria maupun wanita atas dasar Pembaptisan dan Krisma mereka. Cara hidup mereka hendaknya selaras dengan Injil.
Prodiakon atau Asisten Imam atau Asisten Pastoral?
Prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral merupakan pelayan luar biasa (tak lazim) dalam pelayanan liturgi Gereja, memiliki dasar doktriner dari PUMR, no. 109 (Pedoman Umum Misale Romawi) dan Redemptionis Sacramentum no. 43. Dalam teks tersebut dinyatakan bahwa "Demi manfaat bagi umat setempat maupun seluruh Gereja Allah, maka dalam rangka perayaan Liturgi suci ada di antara kaum awam yang sesuai dengan tradisi, dipercayai pelayanan-pelayanan yang dilaksanakannya dengan tepat dan dengan cara yang patut dipuji. Sangat tepatlah jika ada lebih banyak orang yang membagi di antara mereka serta melaksanakan berbagai tugas atau bagian-bagian pelayanan". Menarik bahwa dari pelbagai sebutan pelayanan awam tersebut memiliki banyak makna seperti prodiakon (pro=untuk, ganti dan diakon= klerus), asisten imam (pembantu imam), asisten pastoral (pembantu petugas pastoral). Asisten imam dipakai sebagai hasil kesepakatan pertemuan Dewan Nasional Komisi Liturgi KWI, Mataloko Flores, 2002. Sedangkan asisten pastoral dipakai untuk karya pelayanan tak lazim (luar biasa) diambil dari Redemptor Sacramentum Bab VII. Dengan demikian sebenarnya istilah asisten imam lebih mendekati dari pada prodiakon.
Karena kebutuhan umat beriman
Dalam instruksi Redemptionis Sacramentum no. 151-152, peran para prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral adalah membantu imam hanya kalau sungguh diperlukan dalam perayaan liturgi. Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian itu bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat melainkan karena kodratnya bersifat pelengkap dan darurat (bdk. Instruksi Ecclesiasi de Mysterio, 1997). Apalagi jika permohonan akan bantuan pelayan-pelayan tak lazim (luar biasa) itu berdasarkan kebutuhan umat, maka hendaknya dilipatgandakan dengan doa-doa permohonan umat agar mendesak Tuhan segera mengutus seorang imam untuk melayani jemaat serta menumbuhkan kesuburan panggilan untuk tahbisan suci (bdk. RS no. 151; Dewan Kepausan untuk Interpretasi Otentik CIC, jawaban atas dubium, 1 Juni 1988).
Untuk dicermati bahwa tugas membantu imam artinya membantu hanya dalam wilayah liturgi atau peribadatan. Jadi harus dibedakan dari tugas pewartaan (katekese) atau kegiatan sosio-karitatif lainnya. Membantu imam artinya:
1). Meringankan tugas imam dalam hal-hal yang boleh dilimpahkan kepada mereka menurut hukum Gereja,
2). Mengganti imam ketika imam berhalangan hadir, misalnya dalam memimpin upacara pemakaman atau ibadat sabda hari Minggu tanpa imam
Orang-orang yang telah ditunjuk menjadi prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral (sebagai pelayan luar biasa komuni kudus) perlu mendapat instruksi yang memadai dan harus memiliki kepribadian yaang menonjol dalam pengalaman hidup kristen, iman dan susila. Hendaknya mereka berusaha supaya pantas bagi jabatan yang luhur ini dengan memupuk devosi kepada Ekaristi kudus dan memperlihatkan dirinya sebagai teladan bagi umat beriman lainnya, melalui bakti dan hormatnya terhadap sakramen altar yang suci ini. Jangan sampai memilih orang yang bisa menimbulkan sandungan dikalangan umat sendiri (bdk. IC, no. 783)
Perlu mendapat perhatian bagi para imam bahwa jabatan prodiakon, asisten imam atau asisten pastoral hanya pelengkap, bukan pokok. Tugas pokok ada dalam diri imam (bdk kan. 900, §1), sehingga tugas prodiakon atau asisten imam jangan dipergunakan untuk menurunkan (mereduksi) pelayanan asli dari para imam sedemikian rupa sehingga para imam lalai dalam merayakan ekaristi bersama umat yang menjadi tanggungjawab mereka ataupun melalaikam karitas pastoral dalam Gereja di saat umat membutuhkan kehadiran seorang imam seperti dalam saat umat sakit atau pembaptisan anak-anak, atau perayaan perkawinan, atau pemakaman orang meninggal. Semuanya itu tugas inti para imam dan didampingi para diakon. Karena itu, tidak boleh terjadi bahwa di Paroki-Paroki para imam menukar pelayanan pastoral dengan para prodiakon atau asisten imam, karena dengan itu mengaburkan tugas khas masing-masing (bdk. RS, 152).
Prodiakon pelayan khusus Gereja
Semangat pelayanan pastoral dewasa ini menuntut adanya jumlah petugas pastoral yang mencukupi. Mengingat desakan kebutuhan umat beriman akan pelayanan pastoral maka banyak Uskup menjelang Konsili Vatikan II meminta agar kaum awam terlibat di dalam pelayanan liturgi Gereja. Itulah yang menjadi semangat pembaharu Liturgi Gereja. Akhirnya melalui Motu Proprio "Ministeria Quedam" dari Paus Paulus VI 15 Agustus 1972, menegaskan bahwa tahbisan rendah para calon imam dihapus sehingga tinggal dua tugas pelayanan: yakni Sabda dan Altar (Lektor dan Akolit). Saat itu upacara tahbisan diganti dengan upacara pelantikan.
Dalam Liturgi pada dasarnya terdapat dua macam pelayanan yaitu pelayan tertahbis dam tidak tertahbis. Pelayan tertahbis adalah para klerus yang terdiri dari Uskup, Imam dan diakon. Sedangkan yang taktertahbis adalah para awam (non klerus) yang mengemban tugas khusus berdasarkan pelantikan liturgis yakni Lektor dan Akolit sebagai prasyarat tahbisan dan pengangkatan untuk penugasan sementara seperti: putra-putri altar, koster, pemazmur, paduan suara, komentator, pemandu, upacara, petugas kolekte.
Disamping itu, masih terbuka lebar bagi kaum beriman kristiani awam baik pria maupun wanita untuk tugas khusus membantu imam sebagai pelayan tak lazim (minister extraordinarius) dengan penyerahan tugas lewat pemberkatan liturgis atau penugasan sementara (bdk. Ministeria Quedam). Konferensi Waligereja setempat boleh memohon persetujuan Takhta Apostolik untuk menciptakan jabatan lain yang dinilainya perlu dan amat berguna bagi wilayah yang bersangkutan. Para pelayan kaum beriman kristiani awam itu bertugas membantu para klerus namun peran mereka tidak diturunkan melalui tahbisan. Itulah yang membedakan prodiakon dengan diakon tertahbis, atau asisten imam dengan imam.
Menjadi pelayan luar biasa (minister extraordinarius)
Tugas pokok prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral sebenarnya adalah membantu imam dalam bidang liturgi seperti misalnya:
•1. Pelayanan khusus untuk menerimakan komuni kudus. Para waligereja setempat berwenangan mengizinkan orang-orang yang pantas dan dipilih secara pribadi selaku pelayan khusus untuk suatu kesempatan atau jangka waktu tertentu (bdk. Dokumen Immensae Caritatis, 1973). Alasan perlunya petugas pelayan luar biasa, pertama adalah karena dalam perayaan ekatisiti jumlah umat yang besar atau halangan yang menimpa pemimpin perayaan ekaristi. Kedua, adalah di luar perayaan ekaristi: karena jarak tempat yang jauh, terutama untuk viaticum (komuni bekal suci); rumah sakit, panti jompo. Tujuannya: agar umat beriman yang sedang diliputi rahmat dan dengan hasrat yang tulus serta penuh bakti ingin mengambilbagian dalam perjamuan kudus, tidak kehilangan kesempatan untuk menikmati bantuan serta penghiburan sakramental (bdk IC, 776).
•2. Pelayan khusus untuk pemakaman. Keputusan KWI tahun 1972 menyatakan bahwa upacara-upacara di sekitar pemakaman sebaiknya dipimpin oleh seorang imam. Tetapi bila tidak mungkin, semua Upacara boleh juga dipimpin oleh seorang lain, kecuali Liturgi Ekaristi. Memang benar bahwa pada dasarnya upacara pemakaman bukanlah ritus sacerdotal, tak harus dipimpin oleh imam. Hanya tentu para imam yang diserahkan tugas mewartakan kabar gembira sepantasnya membawakan penghiburan bagi yang berduka.
•3. Memimpin Ibadat Sabda dan Ibadat Tobat. Ibadat tobat yang dimaksudkan disini dibedakan dalam tiga bentuk: Ibadat Sabda menjelang Hari Raya, Ibadat Tobat dalam masa Adven dan Prapaskah, Ibadat Sabda Hari Minggu tanpa imam. Dalam pedoman umumnya dikatakan tentang penugasan ini kepada kaum awam pria maupun wanita atas dasar Pembaptisan dan Krisma mereka. Cara hidup mereka hendaknya selaras dengan Injil.
Prodiakon atau Asisten Imam atau Asisten Pastoral?
Prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral merupakan pelayan luar biasa (tak lazim) dalam pelayanan liturgi Gereja, memiliki dasar doktriner dari PUMR, no. 109 (Pedoman Umum Misale Romawi) dan Redemptionis Sacramentum no. 43. Dalam teks tersebut dinyatakan bahwa "Demi manfaat bagi umat setempat maupun seluruh Gereja Allah, maka dalam rangka perayaan Liturgi suci ada di antara kaum awam yang sesuai dengan tradisi, dipercayai pelayanan-pelayanan yang dilaksanakannya dengan tepat dan dengan cara yang patut dipuji. Sangat tepatlah jika ada lebih banyak orang yang membagi di antara mereka serta melaksanakan berbagai tugas atau bagian-bagian pelayanan". Menarik bahwa dari pelbagai sebutan pelayanan awam tersebut memiliki banyak makna seperti prodiakon (pro=untuk, ganti dan diakon= klerus), asisten imam (pembantu imam), asisten pastoral (pembantu petugas pastoral). Asisten imam dipakai sebagai hasil kesepakatan pertemuan Dewan Nasional Komisi Liturgi KWI, Mataloko Flores, 2002. Sedangkan asisten pastoral dipakai untuk karya pelayanan tak lazim (luar biasa) diambil dari Redemptor Sacramentum Bab VII. Dengan demikian sebenarnya istilah asisten imam lebih mendekati dari pada prodiakon.
Karena kebutuhan umat beriman
Dalam instruksi Redemptionis Sacramentum no. 151-152, peran para prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral adalah membantu imam hanya kalau sungguh diperlukan dalam perayaan liturgi. Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian itu bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat melainkan karena kodratnya bersifat pelengkap dan darurat (bdk. Instruksi Ecclesiasi de Mysterio, 1997). Apalagi jika permohonan akan bantuan pelayan-pelayan tak lazim (luar biasa) itu berdasarkan kebutuhan umat, maka hendaknya dilipatgandakan dengan doa-doa permohonan umat agar mendesak Tuhan segera mengutus seorang imam untuk melayani jemaat serta menumbuhkan kesuburan panggilan untuk tahbisan suci (bdk. RS no. 151; Dewan Kepausan untuk Interpretasi Otentik CIC, jawaban atas dubium, 1 Juni 1988).
Untuk dicermati bahwa tugas membantu imam artinya membantu hanya dalam wilayah liturgi atau peribadatan. Jadi harus dibedakan dari tugas pewartaan (katekese) atau kegiatan sosio-karitatif lainnya. Membantu imam artinya:
1). Meringankan tugas imam dalam hal-hal yang boleh dilimpahkan kepada mereka menurut hukum Gereja,
2). Mengganti imam ketika imam berhalangan hadir, misalnya dalam memimpin upacara pemakaman atau ibadat sabda hari Minggu tanpa imam
Orang-orang yang telah ditunjuk menjadi prodiakon atau asisten imam atau asisten pastoral (sebagai pelayan luar biasa komuni kudus) perlu mendapat instruksi yang memadai dan harus memiliki kepribadian yaang menonjol dalam pengalaman hidup kristen, iman dan susila. Hendaknya mereka berusaha supaya pantas bagi jabatan yang luhur ini dengan memupuk devosi kepada Ekaristi kudus dan memperlihatkan dirinya sebagai teladan bagi umat beriman lainnya, melalui bakti dan hormatnya terhadap sakramen altar yang suci ini. Jangan sampai memilih orang yang bisa menimbulkan sandungan dikalangan umat sendiri (bdk. IC, no. 783)
Perlu mendapat perhatian bagi para imam bahwa jabatan prodiakon, asisten imam atau asisten pastoral hanya pelengkap, bukan pokok. Tugas pokok ada dalam diri imam (bdk kan. 900, §1), sehingga tugas prodiakon atau asisten imam jangan dipergunakan untuk menurunkan (mereduksi) pelayanan asli dari para imam sedemikian rupa sehingga para imam lalai dalam merayakan ekaristi bersama umat yang menjadi tanggungjawab mereka ataupun melalaikam karitas pastoral dalam Gereja di saat umat membutuhkan kehadiran seorang imam seperti dalam saat umat sakit atau pembaptisan anak-anak, atau perayaan perkawinan, atau pemakaman orang meninggal. Semuanya itu tugas inti para imam dan didampingi para diakon. Karena itu, tidak boleh terjadi bahwa di Paroki-Paroki para imam menukar pelayanan pastoral dengan para prodiakon atau asisten imam, karena dengan itu mengaburkan tugas khas masing-masing (bdk. RS, 152).
Selasa, 05 Agustus 2008
Komentar Uskup Agung Palembang Mgr Aloysius Sudarso SCJ
Dalam tulisan ini, Romo Elis mengajak kita untuk melihat hidup dari arus dasar yang lebih dalam. Hidup adalah pemberian terbesar. Hidup boleh kita miliki bukan karena jasa kita sendiri.
Hidup itu seperti samudera luas, seperti sungai yang mengalir – yang kalau diturut muaranya tetap ke laut yang tak berbatas. Filosofi air yang dianut oleh Elis untuk memaknai hidup dan menjelaskannya perlu diperdalam lagi. Hidup memang sarat dengan riak-riak. Akan tetapi, agar seperti laut atau sungai dengan kedalamannya, hidup harus mengalir berdasarkan kekuatan arus paling dasar – yang tegas, deras, dan tak terbelokkan. Kalau tidak demikian, hidup akan menjadi dangkal, hanya pada permukaan, periferi, dan hanya menjadi riak-riak yang bisa naik turun tak menentu.
Sebagai pemberian cuma-cuma atau gratis, hidup itu harus dimaknai. Hidup adalah bahan dasar untuk segala sesuatu, maka tak bisa diremehkan dan direndahkan. Kalau hidup dihapuskan? Semua sirna, dan tak ada nikmat apapun.
Romo Elis melukiskan pemaknaan hidup itu melalui cerita waktu di sekolah dasar. Ketika itu seorang ibu guru meletakkan bunga dan menyuruh para murid melukiskannya dari berbagai sudut pandang. Betul bahwa hidup harus punya fokus. Banyak orang menjadi buyar hidupnya karena tak meruncing. Namun saya ingin menambahkan, bahwa manusia harus menjadi semakin khusus kalau dia ingin berarti dan memberi makna bagi orang lain. Dengan saling menerima dan menghargai kekhususannya, orang akan terbuka dan melihat yang indah dalam diri sendiri serta dalam diri orang lain. Bayangkan, setiap orang itu “khusus” di mata Tuhan! Kekhususan itu mencerminkan kekayaan hidup, bahkan kekayaan Tuhan.
Dua kali Elis berbicara tentang kematian. Takut mati dan takut neraka. Juga, mati disinggung dalam tulisan “Rindu difoto mati”. Lewat pesan ringkas melalui ponselnya, Elis mengharapkan komentar tentang takut neraka dan pandangan tentang mati itu. Menurut saya, biar saja! Kan itu berawal dari pengalaman kecil eksistensial. Kematian hanya dapat dijawab oleh yang pernah mati dan hidup kembali. Bahwa mati itu bagian dari hidup rasanya itu yang akan dapat membantu orang seimbang dalam perjalanannya. Bahwa kematian menyadarkan untuk selalu berjaga-jaga, asal bukan karena didominasi rasa takut, ya itu wajar.
Berjaga-jaga paling baik adalah berjaga seperti ayam atau burung pungguk. Di pedesaan, seperti sekitar Gumawang tempat Romo Elis bekerja sebagai imam, barangkali masih ada ayam berkokok pada pukul dua belas malam, dan semakin pagi semakin gencar kokok mereka. Mengapa? Seakan dalam benak si ayam telah hadir sang surya yang semakin terasa kehangatan sinarnya. Rasa satu dan kerinduan seperti ini membawa kokok sukacita. Juga si pungguk merindukan bulan –maka dia bernyanyi dan berjaga.
Berjaga-jaga bukan karena takut tetapi karena rasa satu dengan yang dinantikannya. Hidup juga harus begitu: Tidur tetapi berjaga! Ada yang dinantikan dalam hidup ini, bukan?
Seberapa jauh ibu berperan dalam hidup? Elis mengingat masa kecil, mulai dengan mengecewakan ibu lewat ”Iwak asin” yang terus-menerus hingga pada “Sakitnya melahirkan” serta “Nikmatnya melahirkan”.
Ibu memang dekat dengan hidup. Melihat ibu yang menggendong sambil menyusui bayinya, saya mau mengatakan bahwa ibu adalah makanan dan minuman. Habis, tanpa makan dan minum dari tubuh darah ibu, tidak mungkin kita hidup sampai sekarang ini. Ibu dan hidup begitu dekat. Hidup itu begitu kuat. Itu nampak dalam para ibu yang rela mati untuk melahirkan hidup baru. Ada banyak cara ibu memelihara hidup anak: dengan memaafkan, menyimpan yang tidak enak dalam hati, dan diam tetapi berdoa di keheningan dapur rumah tangga.
Bukankah suatu hukum natural: harus ada yang mati terlebih dahulu supaya hidup bisa diteruskan? Ini jaman orang takut mati. Banyak puteri takut melahirkan, maka memilih melahirkan dengan operasi cesar. Malah ada yang takut mempunyai anak karena merepotkan. Itu tanda manusia takut mati.
Hidup itu tumbuh melalui sakit, kekecewaan, dan korban. Elis menceritakan pengalaman tidak enak itu. Entah itu pengalaman lama atau akhir-akhir ini, hanya dia yang tahu. Hidup harus bersahabat dengan diri sendiri dan dengan luka-luka –dan watak kita. Ingatkah kita pada kata-kata Michael Angelo, sang maestro seni dan pencipta patung-patung terkenal di dunia itu? Dia mengatakan bahwa dalam batu marmer yang dipahatnya dia melihat Musa, Maria yang memangku Anaknya yang wafat di salib. Harus ada intervensi dari yang lain agar manusia bisa dibentuk.
Namun, yang besar dan mulia dari hidup ini hanya akan tumbuh dalam kesederhanaan dan keheningan. Di keheningan pagi kuncup-kuncup mawar mengembangkan daun-daun bunganya yang indah. Banyak hal-hal besar terjadi tetapi hanya bisa dilihat dengan hati sederhana.
Wah, bicara tentang misteri hidup tak ada habisnya. Karena hidup memang begitu kuat. Manusia ini hanya setitik air di tengah mahadahsyatnya samudera. Dan hanya Yesus yang bisa mengatakan, “Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup.” Via,Veritas et Vita!
Selamat membaca, moga-moga Anda terbantu dalam memaknai hidup Anda! Proficiat kepada Romo Elis!
Mgr. Aloysius Sudarso SCJ
Uskup Agung Palembang
Dari Buku Filosofi Air
Hidup itu seperti samudera luas, seperti sungai yang mengalir – yang kalau diturut muaranya tetap ke laut yang tak berbatas. Filosofi air yang dianut oleh Elis untuk memaknai hidup dan menjelaskannya perlu diperdalam lagi. Hidup memang sarat dengan riak-riak. Akan tetapi, agar seperti laut atau sungai dengan kedalamannya, hidup harus mengalir berdasarkan kekuatan arus paling dasar – yang tegas, deras, dan tak terbelokkan. Kalau tidak demikian, hidup akan menjadi dangkal, hanya pada permukaan, periferi, dan hanya menjadi riak-riak yang bisa naik turun tak menentu.
Sebagai pemberian cuma-cuma atau gratis, hidup itu harus dimaknai. Hidup adalah bahan dasar untuk segala sesuatu, maka tak bisa diremehkan dan direndahkan. Kalau hidup dihapuskan? Semua sirna, dan tak ada nikmat apapun.
Romo Elis melukiskan pemaknaan hidup itu melalui cerita waktu di sekolah dasar. Ketika itu seorang ibu guru meletakkan bunga dan menyuruh para murid melukiskannya dari berbagai sudut pandang. Betul bahwa hidup harus punya fokus. Banyak orang menjadi buyar hidupnya karena tak meruncing. Namun saya ingin menambahkan, bahwa manusia harus menjadi semakin khusus kalau dia ingin berarti dan memberi makna bagi orang lain. Dengan saling menerima dan menghargai kekhususannya, orang akan terbuka dan melihat yang indah dalam diri sendiri serta dalam diri orang lain. Bayangkan, setiap orang itu “khusus” di mata Tuhan! Kekhususan itu mencerminkan kekayaan hidup, bahkan kekayaan Tuhan.
Dua kali Elis berbicara tentang kematian. Takut mati dan takut neraka. Juga, mati disinggung dalam tulisan “Rindu difoto mati”. Lewat pesan ringkas melalui ponselnya, Elis mengharapkan komentar tentang takut neraka dan pandangan tentang mati itu. Menurut saya, biar saja! Kan itu berawal dari pengalaman kecil eksistensial. Kematian hanya dapat dijawab oleh yang pernah mati dan hidup kembali. Bahwa mati itu bagian dari hidup rasanya itu yang akan dapat membantu orang seimbang dalam perjalanannya. Bahwa kematian menyadarkan untuk selalu berjaga-jaga, asal bukan karena didominasi rasa takut, ya itu wajar.
Berjaga-jaga paling baik adalah berjaga seperti ayam atau burung pungguk. Di pedesaan, seperti sekitar Gumawang tempat Romo Elis bekerja sebagai imam, barangkali masih ada ayam berkokok pada pukul dua belas malam, dan semakin pagi semakin gencar kokok mereka. Mengapa? Seakan dalam benak si ayam telah hadir sang surya yang semakin terasa kehangatan sinarnya. Rasa satu dan kerinduan seperti ini membawa kokok sukacita. Juga si pungguk merindukan bulan –maka dia bernyanyi dan berjaga.
Berjaga-jaga bukan karena takut tetapi karena rasa satu dengan yang dinantikannya. Hidup juga harus begitu: Tidur tetapi berjaga! Ada yang dinantikan dalam hidup ini, bukan?
Seberapa jauh ibu berperan dalam hidup? Elis mengingat masa kecil, mulai dengan mengecewakan ibu lewat ”Iwak asin” yang terus-menerus hingga pada “Sakitnya melahirkan” serta “Nikmatnya melahirkan”.
Ibu memang dekat dengan hidup. Melihat ibu yang menggendong sambil menyusui bayinya, saya mau mengatakan bahwa ibu adalah makanan dan minuman. Habis, tanpa makan dan minum dari tubuh darah ibu, tidak mungkin kita hidup sampai sekarang ini. Ibu dan hidup begitu dekat. Hidup itu begitu kuat. Itu nampak dalam para ibu yang rela mati untuk melahirkan hidup baru. Ada banyak cara ibu memelihara hidup anak: dengan memaafkan, menyimpan yang tidak enak dalam hati, dan diam tetapi berdoa di keheningan dapur rumah tangga.
Bukankah suatu hukum natural: harus ada yang mati terlebih dahulu supaya hidup bisa diteruskan? Ini jaman orang takut mati. Banyak puteri takut melahirkan, maka memilih melahirkan dengan operasi cesar. Malah ada yang takut mempunyai anak karena merepotkan. Itu tanda manusia takut mati.
Hidup itu tumbuh melalui sakit, kekecewaan, dan korban. Elis menceritakan pengalaman tidak enak itu. Entah itu pengalaman lama atau akhir-akhir ini, hanya dia yang tahu. Hidup harus bersahabat dengan diri sendiri dan dengan luka-luka –dan watak kita. Ingatkah kita pada kata-kata Michael Angelo, sang maestro seni dan pencipta patung-patung terkenal di dunia itu? Dia mengatakan bahwa dalam batu marmer yang dipahatnya dia melihat Musa, Maria yang memangku Anaknya yang wafat di salib. Harus ada intervensi dari yang lain agar manusia bisa dibentuk.
Namun, yang besar dan mulia dari hidup ini hanya akan tumbuh dalam kesederhanaan dan keheningan. Di keheningan pagi kuncup-kuncup mawar mengembangkan daun-daun bunganya yang indah. Banyak hal-hal besar terjadi tetapi hanya bisa dilihat dengan hati sederhana.
Wah, bicara tentang misteri hidup tak ada habisnya. Karena hidup memang begitu kuat. Manusia ini hanya setitik air di tengah mahadahsyatnya samudera. Dan hanya Yesus yang bisa mengatakan, “Aku adalah jalan, kebenaran dan hidup.” Via,Veritas et Vita!
Selamat membaca, moga-moga Anda terbantu dalam memaknai hidup Anda! Proficiat kepada Romo Elis!
Mgr. Aloysius Sudarso SCJ
Uskup Agung Palembang
Dari Buku Filosofi Air
Senin, 04 Agustus 2008
KRISNAM Edisi II
Bapak ibu yang terkasih, apa kabar ? Untuk edisi kedua ini kami akan menyampaikan renungan tentang keluarga hal ini sesuai dengan tema dari Paroki MKK tentang “ Menjadi keluarga yang terberkati “. Disamping itu kami juga akan menyampaikan kegiatan lingkungan selama 6 bulan terakhir berikut perolehan kas lingkungan dan pemanfaatanya.
Kami menyadari bahwa kehadiran informasi ini sangat jauh dari sempurna karenanya kami selalu mengharapkan masukan dan saran dari bapak ibu.
Partisipasi warga dalam kegiatan
Hal yang patut disyukuri bahwa partisipasi warga Krisantus 6 dalam setiap kegiatan lingkungan cukup tinggi hal ini bisa dibuktikan dengan melihat daftar hadir dalam setiap kegiatan lingkungan.
Secara rata – rata warga yang hadir dalam kegiatan lingkungan mencapai 23 orang (dewasa dan anak-anak). Kehadiran mereka dalam kegiatan lingkungan dengan berperan cukup aktif dalam membagikan pengalamannya pada kesempatan membagikan sharing maupun doa umat. Demikian pula untuk kegiatan socialnya (mis : dukacita, menengok orang yang sakit, dll) warga Krisantus 6 cukup peduli terhadap sesama warganya.
Partisipasi tersebut merupakan hal yang patut disyukuri karena menunjukkan bahwa warga Krisantus 6 betul-betul menjadi gambaran Allah dengan karya nyata terhadap sesama. Semuanya ini bukan untuk pengurus lingkungan bukan pula untuk pribadi masing-masing warga, melainkan demi kemuliaan Tuhan, bahwa Tuhan betul-betul hadir di lingkungan Krisantus 6 dan dirasakan rahmat dan berkatnya lewat karya nyata warganya.
Agustinus S
Kami menyadari bahwa kehadiran informasi ini sangat jauh dari sempurna karenanya kami selalu mengharapkan masukan dan saran dari bapak ibu.
Partisipasi warga dalam kegiatan
Hal yang patut disyukuri bahwa partisipasi warga Krisantus 6 dalam setiap kegiatan lingkungan cukup tinggi hal ini bisa dibuktikan dengan melihat daftar hadir dalam setiap kegiatan lingkungan.
Secara rata – rata warga yang hadir dalam kegiatan lingkungan mencapai 23 orang (dewasa dan anak-anak). Kehadiran mereka dalam kegiatan lingkungan dengan berperan cukup aktif dalam membagikan pengalamannya pada kesempatan membagikan sharing maupun doa umat. Demikian pula untuk kegiatan socialnya (mis : dukacita, menengok orang yang sakit, dll) warga Krisantus 6 cukup peduli terhadap sesama warganya.
Partisipasi tersebut merupakan hal yang patut disyukuri karena menunjukkan bahwa warga Krisantus 6 betul-betul menjadi gambaran Allah dengan karya nyata terhadap sesama. Semuanya ini bukan untuk pengurus lingkungan bukan pula untuk pribadi masing-masing warga, melainkan demi kemuliaan Tuhan, bahwa Tuhan betul-betul hadir di lingkungan Krisantus 6 dan dirasakan rahmat dan berkatnya lewat karya nyata warganya.
Agustinus S
Info Lingkungan
Info Lingkungan
• Uang Kas lingkungan sampai dengan saat ini sebesar Rp. …………,-
Uang tersebut untuk meningkatkan kepedulian terhadap warga dan partisipasi kegiatan tingkat wilayah
• Sesuai dengan keputusan rapat pengurus tgl 12 April 2008, diputuskan bahwa tiap-tiap keluarga tidak dipungut iuran wajib per bulan melainkan dipersilahkan secara sukarela untuk mengisi kas lingkungan sesuai dengan kepedulian masing-masing.
• Diluar program liturgis (seperti: prapaskah, bulan Maria, bulan kitab suci, masa adven), pada setiap bulannya diadakan pertemuan rutin di rumah bapak Adi Yuniwiarso, undangan menyusul.
Mohon partisipasi umat
• Telah menghadap Allah Bapa di Surga :
1. Bapak Yosef Hadi Sitikno
2. Bapak Martinus Sitanggang
3. Saudara Petrus Yudi(Anak Bu Hadi)
Mohon doanya agar arwahnya diterima disisi Tuhan dan keluarga
yang ditinggalkan diberi kekuatan iman
• Bagi bapak ibu yang mempunyai rencana untuk : membaptis anaknya, pelayanan doa, dan masalah lainnya yang terkait dengan kegiatan menggereja, bisa menghubungi ketua lingkungan atau pengurus lingkungan yang terdekat
• Uang Kas lingkungan sampai dengan saat ini sebesar Rp. …………,-
Uang tersebut untuk meningkatkan kepedulian terhadap warga dan partisipasi kegiatan tingkat wilayah
• Sesuai dengan keputusan rapat pengurus tgl 12 April 2008, diputuskan bahwa tiap-tiap keluarga tidak dipungut iuran wajib per bulan melainkan dipersilahkan secara sukarela untuk mengisi kas lingkungan sesuai dengan kepedulian masing-masing.
• Diluar program liturgis (seperti: prapaskah, bulan Maria, bulan kitab suci, masa adven), pada setiap bulannya diadakan pertemuan rutin di rumah bapak Adi Yuniwiarso, undangan menyusul.
Mohon partisipasi umat
• Telah menghadap Allah Bapa di Surga :
1. Bapak Yosef Hadi Sitikno
2. Bapak Martinus Sitanggang
3. Saudara Petrus Yudi(Anak Bu Hadi)
Mohon doanya agar arwahnya diterima disisi Tuhan dan keluarga
yang ditinggalkan diberi kekuatan iman
• Bagi bapak ibu yang mempunyai rencana untuk : membaptis anaknya, pelayanan doa, dan masalah lainnya yang terkait dengan kegiatan menggereja, bisa menghubungi ketua lingkungan atau pengurus lingkungan yang terdekat
Langganan:
Postingan (Atom)