Setiap orang Katolik sepatutnya dapat memberikan
suatu jawaban yang mantap dan mendalam atas
pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?”
Tentu saja, bagi tiap-tiap invidivu,
jawabannya bersifat amat pribadi dan mungkin
agak berbeda dari jawaban orang lain.
Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah
dewasa akan sekedar menjawab,
“Yah, karena orangtua membaptisku Katolik” atau
“Aku dibesarkan secara Katolik” atau
“Keluargaku semuanya Katolik.”
Bukan.
Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah
pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan.
Saya akan memberikan jawaban saya atas
pertanyaan ini.
Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya
seorang Katolik karena inilah Gereja yang didirikan
Yesus Kristus.
Sejarahwan paling ahli sekalipun akan harus
mengakui bahwa Gereja Kristen pertama yang ada
sejak jaman Kristus adalah Gereja Katolik Roma.
Perpecahan besar pertama dalam kekristenan baru
muncul pada tahun 1054, ketika Patriark
Konstantinopel berselisih dengan paus atas siapa
yang lebih berwenang; sang Patriark
mengekskomunikasi paus, yang ganti
mengekskomunikasi Patriark, dan lahirlah
Gereja-gereja “Orthodox”.
Kemudian, pada tahun 1517, Martin Luther memicu
gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin,
Zwingli dan Henry VIII.
Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah
menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya.
Namun demikian, satu-satunya Gereja dan Gereja
Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah
Gereja Katolik.
Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada
kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lainnya.
Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen
lainnya tidak dapat masuk surga.
Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang
istimewa mengenai Gereja Katolik.
Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis
tentang Gereja” memaklumkan bahwa kepenuhan
dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja
Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus
(No. 8).
Alasan kedua mengapa saya seorang Katolik ialah
karena suksesi apostolik.
Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada
para rasul.
Ia memberikan otoritas khusus kepada Petrus,
yang disebut-Nya sebagai “batu karang” dan
kepada siapa Ia mempercayakan kunci
Kerajaan Allah.
Sejak jaman para rasul, otoritas ini telah diwariskan
melalui Salramen Imamat dari uskup ke uskup,
dan kemudian diperluas ke imam dan diakon.
Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri
kembali otoritasnya sebagai seorang uskup hingga
ke jaman para rasul.
Bulan Mei yang lalu, diadakan tahbisan imamat
di katedral kita.
Dalam tahbisan suci itu, Bapa Uskup
menumpangkan tangannya ke atas kepala calon
imam yang akan ditahbiskan.
Dalam saat khidmad itu, suksesi apostolik
diwariskan.
Dalam terang iman, orang dapat melihat bukan saja
Bapa Uskup, melainkan St Petrus dan St Paulus,
bahkan Yesus Sendiri, menyampaikan tahbisan suci.
Tidak ada uskup, imam ataupun diakon dalam
Gereja kita yang menahbiskan dirinya sendiri
atau memproklamirkan dirinya sendiri; tetapi otoritas
itu berasal dari Yesus Sendiri dan dijaga oleh
Gereja.
Alasan ketiga mengapa saya seorang Katolik adalah
karena kita percaya akan kebenaran,
yakni kebenaran mutlak yang diberikan oleh
Tuhan Sendiri.
Kristus menyebut Diri-Nya sebagai “jalan dan
kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6).
Ia menganugerahkan kepada kita Roh Kudus,
yang disebut-Nya Roh Kebenaran (Yoh 14:17),
yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada
kita dan yang akan mengingatkan kita akan semua
yang telah Ia ajarkan (Yoh 14:26).
Kebenaran Kristus telah dipelihara dalam
Kitab Suci.
Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis
tentang Wahyu Ilahi” memaklumkan bahwa,
“segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para
pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci),
harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus,
maka harus diakui, bahwa Kitab Suci mengajarkan
dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan
kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya
dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi
keselamatan kita” (No. 11).
Kebenaran ini terus dipelihara dan diterapkan pada
suatu masa dan budaya tertentu oleh magisterium,
yakni otoritas mengajar Gereja.
Sementara kita menghadapi berbagai macam issue
seperti bioetika atau euthanasia - masalah-masalah
yang tak pernah dibicarakan secara spesifik dalam
Kitab Suci - betapa beruntungnya kita mempunyai
Gereja yang mengatakan “Cara hidup seperti ini
adalah benar atau cara ini salah menurut
kebenaran Kristus.”
Tak heran, Gereja Katolik menjadi berita utama
di surat-surat kabar; kita adalah satu-satunya
Gereja yang berpendirian tegas dan mengatakan,
“Ajaran ini adalah benar selaras dengan pemikiran
Kristus.”
Alasan lain mengapa saya seorang Katolik adalah
karena sakramen-sakramen kita.
Kita percaya akan ketujuh sakramen yang
dianugerahkan Yesus kepada Gereja.
Masing-masing sakramen menangkap suatu unsur
penting dari kehidupan Kristus, dan melalui kuasa
Roh Kudus mendatangkan bagi kita keikutsertaan
dalam kehidupan ilahi Allah.
Sebagai contoh, coba renungkan betapa anugerah
mahaberharga kita boleh menyambut Ekaristi Kudus,
Tubuh dan Darah Tuhan kita, atau menyadari
bahwa dosa-dosa kita telah sungguh diampuni dan
jiwa kita dipulihkan setiap kali kita menerima
absolusi dalam Sakramen Tobat.
Dan yang terakhir, saya seorang Katolik karena
orang-orang yang membentuk Gereja.
Saya mengenangkan begitu banyak para kudus:
St Petrus dan St Paulus yang memelihara agar
Injil hidup pada masa-masa awali.
Pada masa penganiayaan Romawi, para martir awal
Gereja - seperti St Anastasia, St Lusia, St Yustinus
atau St Ignatius dari Antiokhia, yang pada tahun
100 menyebut Gereja “Katolik” - membela iman dan
menderita aniaya maut karenanya.
Pada Abad-abad Kegelapan, ketika banyak hal
sungguh “gelap”, memancarlah terang yang
benderang dari St Fransiskus, St Dominikus dan
St Katarina dari Siena.
Pada masa gerakan Protestan, ketika bidaah
mengoyak Gereja, Gereja dibela oleh St Robertus
Bellarmino dan St Ignatius Loyola,
para reformator sejati.
Saya berpikir mengenai para kudus yang hidup
di jaman kita, seperti Moeder Teresa atau Paus
Yohanes Paulus II, yang dari hari ke hari
melakukan karya kudus Allah.
Ada begitu banyak para kudus yang mengilhami
masing-masing kita untuk menjadi warga Gereja
yang baik.
Tetapi ada mereka-mereka yang lain juga.
Pada waktu Misa, arahkanlah pandangan
ke sekeliling gerejamu.
Lihatlah pasangan-pasangan suami isteri yang
berjuang untuk mengamalkan Sakramen Perkawinan
dalam abad yang memperturutkan hawa nafsu dan
perselingkuhan.
Lihatlah orang-orangtua yang rindu mewariskan
iman kepada anak-anak mereka.
Lihatlah kaum muda yang berjuang untuk
mengamalkan iman kendati dunia yang penuh
pencobaan.
Lihatlah kaum lanjut usia yang tetap setia kendati
perubahan-perubahan dalam dunia dan Gereja.
Lihatlah para imam dan kaum religius yang
membaktikan hidup mereka demi melayani Tuhan
dan Gereja-Nya.
Ada begitu banyak orang yang membentuk Gereja
kita.
Ya, tak seorang pun sempurna. Kita berdosa.
Itulah sebabnya mengapa salah satu doa terindah
dalam Perayaan Misa dipanjatkan sebelum tanda
damai; kita berdoa, “Tuhan Yesus Kristus,
jangan memperhitungkan dosa kami,
tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.”
Ya, kendati segala kelemahan manusia, Gereja,
sebagai lembaga yang didirikan oleh Kristus,
terus melaksanakan misi-Nya di dunia ini.
Singkat kata, itulah alasan-alasan mengapa saya
seorang Katolik dan seorang warga Gereja Katolik
Roma. Alasan-alasan ini bukanlah asal.
Melainkan, mencerminkan permenungan mendalam
dan pergulatan, setelah dibaptis Katolik,
setelah melewatkan masa pendidikan di sekolah
St Bernadette, setelah lulus dari SMA West
Springfield, dan setelah pergumulan sengit dengan
iman sepanjang hari-hari perkuliahan di William
and Mary dan kemudian di Seminari.
Saya harap setiap orang Katolik dapat dengan
bangga memberikan suatu jawaban yang jelas
dan mendalam atas pertanyaan,
“Mengapa kamu seorang Katolik?”
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate
School of Christendom College and pastor of
Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: 'Why Are You A Catholic?'”
by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1997 Arlington Catholic Herald, Inc.
All rights reserved; www.catholicherald.com
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin The Arlington Catholic Herald.”
Kamis, 23 September 2010
Kamis, 24 Juni 2010
Penerimaan Patung Bunda Maria di Rumah Pak Adi
Selasa, 18 Mei 2010
"Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia"
"Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia"
(Kis 20:28-38; Yoh 17:11b-19)
"Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita. Selama Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku; Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi sekarang, Aku datang kepada-Mu dan Aku mengatakan semuanya ini sementara Aku masih ada di dalam dunia, supaya penuhlah sukacita-Ku di dalam diri mereka. Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17:11b-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Yesus mohon kepada Bapa di sorga agar Bapa memelihara dan mendampingi perjalanan hidup kita di dunia sampai mati. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus kita dipanggil untuk meneladan Dia yang telah diutus ke dalam dunia, maka kita pun juga diutus untuk mendunia artinya berpartisipasi dalam seluk-beluk atau urusan duniawi. Marilah kita imani dan hayati bahwa Roh Allah atau Roh Kudus hadir dan berkarya dimana-mana dan kapan saja, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, melalui ciptaan-ciptaan Allah di dunia ini. Setiap hari begitu bangun pagi sampai dengan menjelang istirahat malam kita semua kiranya sibuk dengan urusan-urusan atau hal ikhwal duniawi, maka baiklah kita hayati pendampingan Allah pada kita semua melalui RohNya yang hidup dan berkarya di dalam semua ciptaanNya di dunia ini. Dengan mendunia, berpartisipasi dalam seluk beluk duniawi kita semua diharapkan menjadi suci atau semakin suci dengan senantiasa melakukan apa-apa yang benar dan baik. Yang benar dan baik ada dimana-mana, dan hemat saya apa yang benar dan baik lebih banyak daripada apa yang tidak benar dan jelek atau jahat. Sebagaimana Yesus telah menguduskan DiriNya bagi kita, mempersembahkan diri seutuhnya demi kebahagiaan dan keselamatan kita, maka kita pun dipanggil untuk saling mempersembahkan atau menguduskan, dan bersama-sama kita menguduskan atau mempersembahkan dunia seisinya, flora dan fauna maupun pekerjaan dan tugas-tugas kita kepada Tuhan, yang berarti hidup dan bekerja demi keselamatan sesama, memfungsikan aneka ciptaan lain di dunia ini untuk menolong kita dalam mengusahakan kesucian atau semakin suci.
• "Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga. Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku" (Kis 20:33-34), demikian kesaksian iman Paulus, Rasul Agung, Pewarta Kabar Gembira kepada segala bangsa. Sebagai rasul Paulus tidak rela dirinya menjadi beban bagi orang lain dalam hal kebutuhan hidup sehari-hari; sambil mengajar perihal Yesus, ia bekerja untuk memenuhi hidupnya sendiri maupun kawan-kawan seperjalanan. Konon Paulus menjadi tukang tenda alias membuat tenda dan dijual kepada mereka yang membutuhkan, maka Paulus selain sebagai pewarta juga wiraswasta. Kami berharap apa yang dilakukan oleh Paulus ini menjadi teladan bagi para imam, bruder atau suster maupun katekis: sedapat mungkin dapat mandiri atau wiraswasta dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi sekiranya tidak mungkin hendaknya hidup sederhana, tidak berfoya-foya, agar tidak menjadi beban umat yang harus kita layani. Secara khusus perkenankan saya disini mengingatkan rekan-rekan klerus atau imam untuk memperhatikan dan menghayati apa yang tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik ini, yaitu "Para klerikus hendaknya hidup sederhana dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berbau kesia-siaan. Harta benda, yang mereka terima pada kesempatan melaksanakan tugas gerejawi, setelah dikurangi untuk penghidupan yang layak serta untuk memenuhi semua tugas-tugas jabatannya, sisanya hendaklah digunakan untuk kepentingan Gereja dan karya amal" (KHK kan 282).
"Hai kerajaan-kerajaan bumi, menyanyilah bagi Allah, bermazmurlah bagi Tuhan; bagi Dia yang berkendaraan melintasi langit purbakala. Perhatikanlah, Ia memperdengarkan suara-Nya, suara-Nya yang dahsyat! Akuilah kekuasaan Allah; kemegahan-Nya ada di atas Israel, kekuasaan-Nya di dalam awan-awan. Allah adalah dahsyat dari dalam tempat kudus-Nya" (Mzm 68:33-36a)
Jakarta, 19 Mei 2010 .
(Kis 20:28-38; Yoh 17:11b-19)
"Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita. Selama Aku bersama mereka, Aku memelihara mereka dalam nama-Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku; Aku telah menjaga mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang binasa selain dari pada dia yang telah ditentukan untuk binasa, supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci. Tetapi sekarang, Aku datang kepada-Mu dan Aku mengatakan semuanya ini sementara Aku masih ada di dalam dunia, supaya penuhlah sukacita-Ku di dalam diri mereka. Aku telah memberikan firman-Mu kepada mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia.Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran" (Yoh 17:11b-19), demikian kutipan Warta Gembira hari ini.
Berrefleksi atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai berikut:
• Yesus mohon kepada Bapa di sorga agar Bapa memelihara dan mendampingi perjalanan hidup kita di dunia sampai mati. Sebagai orang yang beriman kepada Yesus kita dipanggil untuk meneladan Dia yang telah diutus ke dalam dunia, maka kita pun juga diutus untuk mendunia artinya berpartisipasi dalam seluk-beluk atau urusan duniawi. Marilah kita imani dan hayati bahwa Roh Allah atau Roh Kudus hadir dan berkarya dimana-mana dan kapan saja, tanpa terikat oleh ruang dan waktu, melalui ciptaan-ciptaan Allah di dunia ini. Setiap hari begitu bangun pagi sampai dengan menjelang istirahat malam kita semua kiranya sibuk dengan urusan-urusan atau hal ikhwal duniawi, maka baiklah kita hayati pendampingan Allah pada kita semua melalui RohNya yang hidup dan berkarya di dalam semua ciptaanNya di dunia ini. Dengan mendunia, berpartisipasi dalam seluk beluk duniawi kita semua diharapkan menjadi suci atau semakin suci dengan senantiasa melakukan apa-apa yang benar dan baik. Yang benar dan baik ada dimana-mana, dan hemat saya apa yang benar dan baik lebih banyak daripada apa yang tidak benar dan jelek atau jahat. Sebagaimana Yesus telah menguduskan DiriNya bagi kita, mempersembahkan diri seutuhnya demi kebahagiaan dan keselamatan kita, maka kita pun dipanggil untuk saling mempersembahkan atau menguduskan, dan bersama-sama kita menguduskan atau mempersembahkan dunia seisinya, flora dan fauna maupun pekerjaan dan tugas-tugas kita kepada Tuhan, yang berarti hidup dan bekerja demi keselamatan sesama, memfungsikan aneka ciptaan lain di dunia ini untuk menolong kita dalam mengusahakan kesucian atau semakin suci.
• "Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga. Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku" (Kis 20:33-34), demikian kesaksian iman Paulus, Rasul Agung, Pewarta Kabar Gembira kepada segala bangsa. Sebagai rasul Paulus tidak rela dirinya menjadi beban bagi orang lain dalam hal kebutuhan hidup sehari-hari; sambil mengajar perihal Yesus, ia bekerja untuk memenuhi hidupnya sendiri maupun kawan-kawan seperjalanan. Konon Paulus menjadi tukang tenda alias membuat tenda dan dijual kepada mereka yang membutuhkan, maka Paulus selain sebagai pewarta juga wiraswasta. Kami berharap apa yang dilakukan oleh Paulus ini menjadi teladan bagi para imam, bruder atau suster maupun katekis: sedapat mungkin dapat mandiri atau wiraswasta dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi sekiranya tidak mungkin hendaknya hidup sederhana, tidak berfoya-foya, agar tidak menjadi beban umat yang harus kita layani. Secara khusus perkenankan saya disini mengingatkan rekan-rekan klerus atau imam untuk memperhatikan dan menghayati apa yang tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik ini, yaitu "Para klerikus hendaknya hidup sederhana dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berbau kesia-siaan. Harta benda, yang mereka terima pada kesempatan melaksanakan tugas gerejawi, setelah dikurangi untuk penghidupan yang layak serta untuk memenuhi semua tugas-tugas jabatannya, sisanya hendaklah digunakan untuk kepentingan Gereja dan karya amal" (KHK kan 282).
"Hai kerajaan-kerajaan bumi, menyanyilah bagi Allah, bermazmurlah bagi Tuhan; bagi Dia yang berkendaraan melintasi langit purbakala. Perhatikanlah, Ia memperdengarkan suara-Nya, suara-Nya yang dahsyat! Akuilah kekuasaan Allah; kemegahan-Nya ada di atas Israel, kekuasaan-Nya di dalam awan-awan. Allah adalah dahsyat dari dalam tempat kudus-Nya" (Mzm 68:33-36a)
Jakarta, 19 Mei 2010 .
Senin, 09 November 2009
Minggu, 02 Agustus 2009
Sejarah Para Bapa Gereja
1. Santo Petrus (33-64 atau 33-67)
2. Santo Linus dari Tuscany (67-76)
3. Santo Anacletus (atau Cletus) dari Roma (76-88)
4. Santo Clement I dari Roma (88-97)
5. Santo Evaristus dari Yunani (97-105)
6. Santo Alexander I dari Roma (105-115)
7. Santo Sixtus I dari Roma (115-125)
8. Santo Telesphorus dari Yunani (125-136)
9. Santo Hyginius dari Athena, Yunani (136-140)
10. Santo Pius I dari Aquileia (140-155)
11. Santo Anicetus dari Emesa, Syria (155-166)
12. Santo Soter dari Campagna, Italia (166-175)
13. Santo Eleutheriusdari Nicopolis di Epirus, Yunani (175-189)
14. Santo Victor I dari Afrika (189-199)
15. Santo Zephyrinusdari Roma (199-217)
16. Santo Callixtus I dari Roma (217-222)
17. Santo Urban I dari Roma (222-230)
18. Santo Pontian dari Roma (230-235)
19. Santo Anterus dari Yunani (235-236)
20. Santo Fabian dari Roma (236-250)
21. Santo Cornelius dari Roma (251-253)
22. Santo Lucius I dari Roma (253-254)
23. Santo Stephen I dari Roma (254-257)
24. Santo Sixtus II dari Athena, Yunani (257-258)
25. Santo Dionysius, asal tidak diketahui (259-268)
26. Santo Felix I dari Roma (269-274)
27. Santo Eutychian dari Luni (275-283)
28. Santo Caius dari Dalmatia (283-296)
29. Santo Marcellinus dari Roma (296-304)
30. Santo Marcellus I dari Roma (308-309)
31. Santo Eusebius dari Calabria, Yunani (309-310)
32. Santo Melchiades atau Miltiades dari Afrika (311-314)
33. Santo Sylvester I dari Roma (314-335)
34. Santo Markus dari Roma (336)
35. Santo Julius I dari Roma (337-352)
36. Liberiusdari Roma (352-366)
37. Santo Damasus I dari Spanyol (366-384)
38. Santo Siricius dari Roma (384-399)
39. Santo Anastasius I dari Roma (399-401)
40. Santo Innocentius I dari Albano (401-417)
41. Santo Zozimus dari Mesuras, Yunani (417-418)
42. Santo Boniface I dari Roma (418-422)
43. Santo Celestinus I dari Campania (422-432)
44. Santo Sixtus III dari Roma (432-440)
45. Santo Leo I (Agung) dari Tuscany (440-461)
46. Santo Hilarius dari Sardinia (461-468)
47. Santo Simplicius dari Tivoli (468-483)
48. Santo Felix III (II) dari Roma (483-492)
49. Santo Gelasius I dari Afrika (492-496)
50. Anastasius IIdari Roma (496-498)
51. Santo Symmachus dari Sardinia (498-514)
52. Santo Hormisdas dari Frosinone (514-523)
53. Santo Yohanes I dari Tuscany (523-526)Martir
54. Santo Felix IV (III) dari Samnium (526-530)
55. Boniface II dari Roma (530-532)
56. Yohanes II(Mercury) dari Roma (533-535)
57. Santo Agapitus I dari Roma (535-536)
58. Santo Silverius I dari Campania (536-537)
59. Vigiliusdari Roma (537-555)
60. Pelagius I dari Roma (556-561)
61. Yohanes III dari Roma (561-574)
62. Benedictus Idari Roma (575-579)
63. Pelagius IIdari Roma (579-590)
64. Santo Gregorius I (Agung)dari Roma (590-604)
65. Sabiniandari Blera di Tuscany (604-606)
66. Boniface IIIdari Roma (607)
67. Santo Boniface IVdari Abruzzi (608-615)
68. Santo Deusdedit (Adeodatus I)dari Roma (615-618)
69. Boniface Vdari Naples (619-625)
70. Honorius I dari Campania (625-638)
71. Severinus dari Roma (640)
72. Yohanes IV dari Dalmatia (640-642)
73. Theodore I orang Yunani dari Leventine Koloni di Roma (642-649)
74. Santo Martin I dari Todi (649-655)
75. Santo Eugene I dari Roma (654-657)
76. Santo Vitalian dari Segni (657-672)
77. Adeodatus II dari Roma (672-676)
78. Donusdari Roma (676-678)
79. Santo Agatho dari Yunani dari Sicilia (678-681)
80. Santo Leo II dari Sicilia (682-683)
81. Santo Benedictus II dari Roma (684-685)
82. Yohanes V dari Antiokia, Siria (685-686)
83. Conon dari Yunani dari Thracian (?) (686-687)
84. Santo Sergius I orang Siria dari Palermo (687-701)
85. Yohanes VI dari Yunani (701-705)
86. Yohanes VIIorang Yunani dari Calabria (705-707)
87. Sisinnius orang Yunani dari Siria (708)
88. Constantine dari Siria (708-715)
89. Santo Gregorius II dari Roma (715-731)
90. Santo Gregorius III dari Siria (731-741)
91. Santo Zacharius orang Yunani dari Calabria (741-752)
92. Stephen II (III) dari Roma (752-757)
93. Santo Paulus I dari Roma (757-767)
94. Stephen III (IV)dari Sicilia (768-772)
95. Adrianus I dari Roma (772-795)
96. Santo Leo III dari Roma (795-816)
97. Stephen IV dari Roma (816-817)
98. Santo Paschal I dari Roma (817-824)
99. Eugene II dari Roma (824-827)
100. Valentinus dari Roma (827)
101. Gregorius IV dari Roma (827-844)
102. Sergius II dari Roma (844-847)
103. Santo Leo IV dari Roma (847-855)
104. Benedictus III dari Roma (855-858)
105. Santo Nicholas I (Agung) dari Roma (858-867)
106. Adrianus II dari Roma (867-872)
107. Yohanes VIII dari Roma (872-882)
108. Marinus I dari Gallese (882-884)
109. Santo Adrianus III dari Rome (884-885)
110. Stephen V (VI) dari Rome (885-891)
111. Formosus Uskup Porto (891-896)
112. Boniface VI dari Roma (896)
113. Stephen VI (VII) dari Roma (896-897)
114. Romanus dari Gallese (897)
115. Theodore II dari Roma (897)
116. Yohanes IX dari Tivoli (898-900)
117. Benedictus IV dari Roma (900-903)
118. Leo V dari Ardea (903)
119. Sergius III dari Roma (904-911)
120. Anastasius III dari Roma (911-913)
121. Landus dari Sabina (913-914)
122. Yohanes X dari Tossignano (Imola) (914-928)
123. Leo VI dari Roma (928)
124. Stephen VII (VIII) dari Roma (928-931)
125. Yohanes XI dari Roma (931-935)
126. Leo VII dari Roma (936-939)
127. Stephen VIII (IX) dari Roma (939-942)
128. Marinus II dari Roma (942-946)
129. Agapitus II dari Roma (946-955)
130. Yohanes XII (Octavius) dari Tusculum (955-964)
131. Leo VIII dari Roma (963-965)
132. Benedictus V dari Roma (964-966)
133. Yohanes XIII dari Roma (965-972)
134. Benedictus VI dari Roma (973-974)
135. Benedictus VII dari Roma (974-983)
136. Yohanes XIV (Peter Campenora) dari Pavia (983-984)
137. Yohanes XV dari Roma (983-996)
138. Gregorius V (Bruno dari Carinthia) dari Saxony (996-999)
139. Sylvester II (Gerbert) dari Auvergne (999-1003)
140. Yohanes XVII (Siccone) dari Roma (1003)
141. Yohanes XVIII (Phasianus) dari Roma1004-1009
142. Sergius IV(Peter) dari Roma (1009-1012)
143. Benedictus VIII (Theophylactus) dari Tusculum (1012-1024)
144. Yohanes XIX (Romanus) dari Tusculum (1024-1032)
145. Benedictus IX (Theophylactus) dari Tusculum (1032-1044)
146. Sylvester III (Yohanes) dari Roma (1045)
147. Benedictus IX (kedua kalinya) (Theophylactus) dari Tusculum (1045)
148. Gregorius VI (Yohanes Gratianus) dari Roma (1045-1046)
149. Clement II (Suitger, Lord Morsleben & Hornburg) dari Saxony (1046-1047)
150. Benedictus IX (ketiga kalinya) (Theophylactus) dari Tusculum (1047-1048)
151. Damasus II (Poppo) dari Bavaria, Jerman (1048)
152. Santo Leo IX (Bruno) dari Alsace (1049-1054)
153. Victor II (Gebhard) dari Swabia (1055-1057)
154. Stephen IX (X) (Frederick) dari Lorraine (1057-1058)
155. Nicholas II (Gerard) dari Burgundy (1059-1061)
156. Alexander II (Anselmo da Baggio) dari Milan (1061-1073)
157. Santo Gregorius VII (Hildebrand) dari Tuscany (1073-1085)
158. Beato Victor III (Dauferius atau Desiderius) dari Benevento (1086-1087)
159. Beato Urban II (Otto diLagery) dari Perancis (1088-1099)
160. Paschal II (Raniero) dari Ravenna (1099-1118)
161. Gelasius II (Giovanni Caetani) dari Gaeta (1118-1119)
162. Callistus II (Guido dari Burgundi) dari Burgundy, Perancis (1119-1124)
163. Honorius II (Lamberto) dari Fiagnano (Imola) (1124-1130)
164. Innocentius II (Gregorio Papareschi) dari Roma (1130-1143)
165. Celestinus II (Guido) dari Citta di Castello (1143-1144)
166. Lucius II (Gerardo Caccianemici) dari Bologna (1144-1145)
167. Beato Eugene III (Bernardo Paganelli di Montemagno) dari Pisa (1145-1153)
168. Anastasius IV (Corrado) dari Roma (1153-1154)
169. Adrianus IV (Nicholas Breakspear) dari Inggris (1154-1159)
170. Alexander III (Rolando Bandinelli) dari Siena (1159-1181)
171. Lucius III (Ubaldo Allucingoli) dari Lucca (1181-1185)
172. Urban III (Uberto Crivelli) dari Milan (1185-1187)
173. Gregorius VIII (Alberto de Morra) dari Benevento (1187)
174. Clement III (Paulo Scolari) dari Roma (1198-1191)
175. Celestinus III (Giacinto Bobone) dari Roma (1191-1198)
176. Innocentius III (Lotario dei Conti di Segni) dari Anagni (1198-1216)
177. Honorius III (Cencio Savelli) dari Roma (1216-1227)
178. Gregorius IX (Ugolino, Count Segni) dari Anagni (1227-1241)
179. Celestinus IV (Goffredo Castiglioni) dari Milan (1241)
180. Innocentius IV (Sinibaldo Fieschi) dari Genoa (1243-1254)
181. Alexander IV (Rinaldo) dari Ienne (Roma) (1254-1261)
182. Urban IV (Jacques Pantalon) dari Troyes, Perancis (1261-1264)
183. Clement IV (Guy Foulques atau Guido le Gros) dari Perancis (1265-1268)
184. Beato Gregorius X (Teobaldo Visconti) dari Piacenza (1271-1276)
185. Beato Innocentius V (Peter dari Tarentaise) dari Savoy (1276)
186. Adrianus V (Ottobono Fieschi) dari Genoa (1276)
187. Yohanes XXI (Petrus Juliani atau Petrus Hispanus) dari Portugal (1276-1277)
188. Nicholas III (Giovanni Gaetano Orsini) dari Roma (1277-1280)
189. Martin IV (Simon de Brie) dari Perancis (1281-1285)
190. Honorius IV (Giacomo Savelli) dari Roma (1285-1287)
191. Nicholas IV (Girolamo Masci) dari Ascoli (1288-1292)
192. Santo Celestinus V (Pietro del Murrone) dari Isernia (1294)
193. Boniface VIII (Benedetto Caetani) dari Anagni (1294-1303)
194. Beato Benedictus XI (Niccolo Boccasini) dari Treviso (1303-1304)
195. Clement V (Bertrand de Got) dari Perancis (1305-1314)
196. Yohanes XXII (Jacques d'Euse) dari Cahors, Perancis (1316-1334)
197. Benedictus XII (Jacques Fournier) dari Perancis (1334-1342)
198. Clement VI (Pierre Roger) dari Perancis (1342-1352)
199. Innocentius VI (Etienne Aubert) dari Perancis (1352-1362)
200. Beato Urban V (Guillaume de Grimoard) dari Perancis (1362-1370)
201. Gregorius XI (Pierre Roger de Beaufort) dari Perancis (1370-1378)
202. Urban VI (Bartolomeo Prignano) dari Naples (1378-1389)
203. Boniface IX (Pietro Tomacelli) dari Naples (1389-1404)
204. Innocentius VII (Cosma Migliorati) dari Sulmona (1404-1406)
205. Gregorius XII (Angelo Correr) dari Venice (1406-1415)
206. Martin V (Oddone Colonna) dari Roma (1417-1431)
207. Eugene IV (Gabriele Condulmer) dari Venice (1431-1447)
208. Nicholas V (Tommaso Parentucelli) dari Sarzana (1447-1455)
209. Callistus III (Alfonso Borgia) dari Jativa (Valencia) (1455-1458)
210. Pius II (Enea Silvio Piccolomini) dari Siena (1458-1464)
211. Paul II (Pietro Barbo) dari Venice (1464-1471)
212. Sixtus IV (Francesco della Rovere) dari Savona (1471-1484)
213. Innocentius VIII (Giovanni Battista Cibo) dari Genoa (1484-1492)
214. Alexander VI (Rodrigo Borgia) dari Jativa (Valencia) (1492-1503)
215. Pius III (Francesco Todeschini-Piccolomini) dari Siena (1503)
216. Julius II (Giuliano della Rovere) dari Savona (1503-1513)
217. Leo X (Giovanni de'Medici) dari Florence (1513-1521)
218. Adrianus VI (Adrian Florensz) dari Utrecht, Jerman (1522-1523)
219. Clement VII (Giulio de'Medici) dari Florence (1523-1534)
220. Paulus III (Alessandro Farnese) dari Roma (1534-1549)
221. Julius III (Giovanni Maria Ciocchi) dari Roma (1550-1555)
222. Marcellus II (Marcello Cervini) dari Montepulciano (1555)
223. Paulus IV (Gian Pietro Carafa) dari Naples (1555-1559)
224. Pius IV (Giovan Angelo de'Medici) dari Milan (1559-1565)
225. Santo Pius V (Antonio-Michele Ghislieri) dari Bosco (Alexandria) (1566-1572)
226. Gregorius XIII (Ugo Buoncompagni) dari Bologna (1572-1585)
227. Sixtus V (Felice Peretti) dari Grottamare (Ripatransone) (1585-1590)
228. Urban VII (Giambattista Castagna) dari Roma (1590)
229. Gregorius XIV (Niccolo Sfondrati) dari Cremona (1590-1591)
230. Innocentius IX (Giovanni Antonio Facchinetti) dari Bologna (1591)
231. Clement VIII (Ippolito Aldobrandini) dari Florence (1592-1605)
232. Leo IX (Alessandro de'Medici) dari Florence (1605)
233. Paulus V (Camillo Borghese) dari Roma (1605-1621)
234. Gregorius XV (Alessandor Ludovisi) dari Bologna (1621-1623)
235. Urban VIII (Maffeo Barberini) dari Florence (1623-1644)
236. Innocentius X (Giovanni Battista Pamfili) dari Roma (1644-1655)
237. Alexander VII (Fabio Chigi) dari Siena (1655-1667)
238. Clement IX (Giulio Rospigliosi) dari Pistoia (1667-1669)
239. Clement X (Emilio Altieri) dari Roma (1670-1676)
240. Beato Innocentius XI (Benedetto Odescalchi) dari Como (1676-1689)
241. Alexander VIII (Pietro Ottoboni) dari Venice (1689-1691)
242. Innocentius XII (Antonio Pignatelli) dari Spinazzola (Venosa) (1691-1700)
243. Clement XI (Giovanni Francesco Albani) dari Urbino (1700-1721)
244. Innocentius XIII (Michelangelo dei Conti) dari Roma (1721-1724)
245. Benedictus XIII (Pietro Francesco-Vincenzo Maria-Orsini) dari Gravina (Bari) (1724-1730)
246. Clement XII (Lorenzo Corsini) dari Florence (1730-1740)
247. Benedictus XIV (Prospero Lambertini) dari Bologna (1740-1758)
248. Clement XIII (Carlo Rezzonico) dari Venice (1758-1769)
249. Clement XIV (Giovanni Vincenzo Antonio-Lorenzo-Ganganelli) dari Rimini (1769-1774)
250. Pius VI (Giovanni Angelo Braschi) dari Cesena (1775-1799)
251. Pius VII (Barnaba-Gregorio-Chiaramonti) dari Cesena (1800-1823)
252. Leo XII (Annibale della Genga) dari Genga (Fabriano) (1823-1829)
253. Pius VIII (Fracesco Saverio Castiglioni) dari Cingoli (1829-1830)
254. Gregorius XVI (Bartolomeo Alberto-Mauro-Cappelari) dari Belluno (1831-1846)
255. Pius IX (Giovanni M. Mastai-Ferretti) dari Senigallia (1846-1878)
256. Leo XIII (Gioacchino Pecci) dari Carpineto (Anagni) (1878-1903)
257. Santo Pius X (Giuseppe Sarto) dari Riese (Treviso) (1903-1914)
258. Benedictus XV (Giacomo della Chiesa) dari Genoa, Italia (1914-1922)
259. Pius XI (Achille Ratti) dari Desio, Milan, Italia (1922-1939)
260. Pius XII (Eugenio Pacelli) dari Roma (1939-1958)
261. Yohanes XXIII (Angelo Giuseppe Roncalli) dari Sotto il Monte (Bergamo) (1958-1963)
262. Paulus VI (Giovanni Battista Montini) dari Concescio (Brescia) (1963-1978)
263. Yohanes Paulus I (Albino Luciani) dari Forno di Canale (Belluno) (1978)
264. Yohanes Paulus II (Karol Wojtyla) Wadowice, Polandia (1978-2005)
265. Benedictus XVI (Y. Ratzinger) Bavaria, Jerman (2005-Sekarang
2. Santo Linus dari Tuscany (67-76)
3. Santo Anacletus (atau Cletus) dari Roma (76-88)
4. Santo Clement I dari Roma (88-97)
5. Santo Evaristus dari Yunani (97-105)
6. Santo Alexander I dari Roma (105-115)
7. Santo Sixtus I dari Roma (115-125)
8. Santo Telesphorus dari Yunani (125-136)
9. Santo Hyginius dari Athena, Yunani (136-140)
10. Santo Pius I dari Aquileia (140-155)
11. Santo Anicetus dari Emesa, Syria (155-166)
12. Santo Soter dari Campagna, Italia (166-175)
13. Santo Eleutheriusdari Nicopolis di Epirus, Yunani (175-189)
14. Santo Victor I dari Afrika (189-199)
15. Santo Zephyrinusdari Roma (199-217)
16. Santo Callixtus I dari Roma (217-222)
17. Santo Urban I dari Roma (222-230)
18. Santo Pontian dari Roma (230-235)
19. Santo Anterus dari Yunani (235-236)
20. Santo Fabian dari Roma (236-250)
21. Santo Cornelius dari Roma (251-253)
22. Santo Lucius I dari Roma (253-254)
23. Santo Stephen I dari Roma (254-257)
24. Santo Sixtus II dari Athena, Yunani (257-258)
25. Santo Dionysius, asal tidak diketahui (259-268)
26. Santo Felix I dari Roma (269-274)
27. Santo Eutychian dari Luni (275-283)
28. Santo Caius dari Dalmatia (283-296)
29. Santo Marcellinus dari Roma (296-304)
30. Santo Marcellus I dari Roma (308-309)
31. Santo Eusebius dari Calabria, Yunani (309-310)
32. Santo Melchiades atau Miltiades dari Afrika (311-314)
33. Santo Sylvester I dari Roma (314-335)
34. Santo Markus dari Roma (336)
35. Santo Julius I dari Roma (337-352)
36. Liberiusdari Roma (352-366)
37. Santo Damasus I dari Spanyol (366-384)
38. Santo Siricius dari Roma (384-399)
39. Santo Anastasius I dari Roma (399-401)
40. Santo Innocentius I dari Albano (401-417)
41. Santo Zozimus dari Mesuras, Yunani (417-418)
42. Santo Boniface I dari Roma (418-422)
43. Santo Celestinus I dari Campania (422-432)
44. Santo Sixtus III dari Roma (432-440)
45. Santo Leo I (Agung) dari Tuscany (440-461)
46. Santo Hilarius dari Sardinia (461-468)
47. Santo Simplicius dari Tivoli (468-483)
48. Santo Felix III (II) dari Roma (483-492)
49. Santo Gelasius I dari Afrika (492-496)
50. Anastasius IIdari Roma (496-498)
51. Santo Symmachus dari Sardinia (498-514)
52. Santo Hormisdas dari Frosinone (514-523)
53. Santo Yohanes I dari Tuscany (523-526)Martir
54. Santo Felix IV (III) dari Samnium (526-530)
55. Boniface II dari Roma (530-532)
56. Yohanes II(Mercury) dari Roma (533-535)
57. Santo Agapitus I dari Roma (535-536)
58. Santo Silverius I dari Campania (536-537)
59. Vigiliusdari Roma (537-555)
60. Pelagius I dari Roma (556-561)
61. Yohanes III dari Roma (561-574)
62. Benedictus Idari Roma (575-579)
63. Pelagius IIdari Roma (579-590)
64. Santo Gregorius I (Agung)dari Roma (590-604)
65. Sabiniandari Blera di Tuscany (604-606)
66. Boniface IIIdari Roma (607)
67. Santo Boniface IVdari Abruzzi (608-615)
68. Santo Deusdedit (Adeodatus I)dari Roma (615-618)
69. Boniface Vdari Naples (619-625)
70. Honorius I dari Campania (625-638)
71. Severinus dari Roma (640)
72. Yohanes IV dari Dalmatia (640-642)
73. Theodore I orang Yunani dari Leventine Koloni di Roma (642-649)
74. Santo Martin I dari Todi (649-655)
75. Santo Eugene I dari Roma (654-657)
76. Santo Vitalian dari Segni (657-672)
77. Adeodatus II dari Roma (672-676)
78. Donusdari Roma (676-678)
79. Santo Agatho dari Yunani dari Sicilia (678-681)
80. Santo Leo II dari Sicilia (682-683)
81. Santo Benedictus II dari Roma (684-685)
82. Yohanes V dari Antiokia, Siria (685-686)
83. Conon dari Yunani dari Thracian (?) (686-687)
84. Santo Sergius I orang Siria dari Palermo (687-701)
85. Yohanes VI dari Yunani (701-705)
86. Yohanes VIIorang Yunani dari Calabria (705-707)
87. Sisinnius orang Yunani dari Siria (708)
88. Constantine dari Siria (708-715)
89. Santo Gregorius II dari Roma (715-731)
90. Santo Gregorius III dari Siria (731-741)
91. Santo Zacharius orang Yunani dari Calabria (741-752)
92. Stephen II (III) dari Roma (752-757)
93. Santo Paulus I dari Roma (757-767)
94. Stephen III (IV)dari Sicilia (768-772)
95. Adrianus I dari Roma (772-795)
96. Santo Leo III dari Roma (795-816)
97. Stephen IV dari Roma (816-817)
98. Santo Paschal I dari Roma (817-824)
99. Eugene II dari Roma (824-827)
100. Valentinus dari Roma (827)
101. Gregorius IV dari Roma (827-844)
102. Sergius II dari Roma (844-847)
103. Santo Leo IV dari Roma (847-855)
104. Benedictus III dari Roma (855-858)
105. Santo Nicholas I (Agung) dari Roma (858-867)
106. Adrianus II dari Roma (867-872)
107. Yohanes VIII dari Roma (872-882)
108. Marinus I dari Gallese (882-884)
109. Santo Adrianus III dari Rome (884-885)
110. Stephen V (VI) dari Rome (885-891)
111. Formosus Uskup Porto (891-896)
112. Boniface VI dari Roma (896)
113. Stephen VI (VII) dari Roma (896-897)
114. Romanus dari Gallese (897)
115. Theodore II dari Roma (897)
116. Yohanes IX dari Tivoli (898-900)
117. Benedictus IV dari Roma (900-903)
118. Leo V dari Ardea (903)
119. Sergius III dari Roma (904-911)
120. Anastasius III dari Roma (911-913)
121. Landus dari Sabina (913-914)
122. Yohanes X dari Tossignano (Imola) (914-928)
123. Leo VI dari Roma (928)
124. Stephen VII (VIII) dari Roma (928-931)
125. Yohanes XI dari Roma (931-935)
126. Leo VII dari Roma (936-939)
127. Stephen VIII (IX) dari Roma (939-942)
128. Marinus II dari Roma (942-946)
129. Agapitus II dari Roma (946-955)
130. Yohanes XII (Octavius) dari Tusculum (955-964)
131. Leo VIII dari Roma (963-965)
132. Benedictus V dari Roma (964-966)
133. Yohanes XIII dari Roma (965-972)
134. Benedictus VI dari Roma (973-974)
135. Benedictus VII dari Roma (974-983)
136. Yohanes XIV (Peter Campenora) dari Pavia (983-984)
137. Yohanes XV dari Roma (983-996)
138. Gregorius V (Bruno dari Carinthia) dari Saxony (996-999)
139. Sylvester II (Gerbert) dari Auvergne (999-1003)
140. Yohanes XVII (Siccone) dari Roma (1003)
141. Yohanes XVIII (Phasianus) dari Roma1004-1009
142. Sergius IV(Peter) dari Roma (1009-1012)
143. Benedictus VIII (Theophylactus) dari Tusculum (1012-1024)
144. Yohanes XIX (Romanus) dari Tusculum (1024-1032)
145. Benedictus IX (Theophylactus) dari Tusculum (1032-1044)
146. Sylvester III (Yohanes) dari Roma (1045)
147. Benedictus IX (kedua kalinya) (Theophylactus) dari Tusculum (1045)
148. Gregorius VI (Yohanes Gratianus) dari Roma (1045-1046)
149. Clement II (Suitger, Lord Morsleben & Hornburg) dari Saxony (1046-1047)
150. Benedictus IX (ketiga kalinya) (Theophylactus) dari Tusculum (1047-1048)
151. Damasus II (Poppo) dari Bavaria, Jerman (1048)
152. Santo Leo IX (Bruno) dari Alsace (1049-1054)
153. Victor II (Gebhard) dari Swabia (1055-1057)
154. Stephen IX (X) (Frederick) dari Lorraine (1057-1058)
155. Nicholas II (Gerard) dari Burgundy (1059-1061)
156. Alexander II (Anselmo da Baggio) dari Milan (1061-1073)
157. Santo Gregorius VII (Hildebrand) dari Tuscany (1073-1085)
158. Beato Victor III (Dauferius atau Desiderius) dari Benevento (1086-1087)
159. Beato Urban II (Otto diLagery) dari Perancis (1088-1099)
160. Paschal II (Raniero) dari Ravenna (1099-1118)
161. Gelasius II (Giovanni Caetani) dari Gaeta (1118-1119)
162. Callistus II (Guido dari Burgundi) dari Burgundy, Perancis (1119-1124)
163. Honorius II (Lamberto) dari Fiagnano (Imola) (1124-1130)
164. Innocentius II (Gregorio Papareschi) dari Roma (1130-1143)
165. Celestinus II (Guido) dari Citta di Castello (1143-1144)
166. Lucius II (Gerardo Caccianemici) dari Bologna (1144-1145)
167. Beato Eugene III (Bernardo Paganelli di Montemagno) dari Pisa (1145-1153)
168. Anastasius IV (Corrado) dari Roma (1153-1154)
169. Adrianus IV (Nicholas Breakspear) dari Inggris (1154-1159)
170. Alexander III (Rolando Bandinelli) dari Siena (1159-1181)
171. Lucius III (Ubaldo Allucingoli) dari Lucca (1181-1185)
172. Urban III (Uberto Crivelli) dari Milan (1185-1187)
173. Gregorius VIII (Alberto de Morra) dari Benevento (1187)
174. Clement III (Paulo Scolari) dari Roma (1198-1191)
175. Celestinus III (Giacinto Bobone) dari Roma (1191-1198)
176. Innocentius III (Lotario dei Conti di Segni) dari Anagni (1198-1216)
177. Honorius III (Cencio Savelli) dari Roma (1216-1227)
178. Gregorius IX (Ugolino, Count Segni) dari Anagni (1227-1241)
179. Celestinus IV (Goffredo Castiglioni) dari Milan (1241)
180. Innocentius IV (Sinibaldo Fieschi) dari Genoa (1243-1254)
181. Alexander IV (Rinaldo) dari Ienne (Roma) (1254-1261)
182. Urban IV (Jacques Pantalon) dari Troyes, Perancis (1261-1264)
183. Clement IV (Guy Foulques atau Guido le Gros) dari Perancis (1265-1268)
184. Beato Gregorius X (Teobaldo Visconti) dari Piacenza (1271-1276)
185. Beato Innocentius V (Peter dari Tarentaise) dari Savoy (1276)
186. Adrianus V (Ottobono Fieschi) dari Genoa (1276)
187. Yohanes XXI (Petrus Juliani atau Petrus Hispanus) dari Portugal (1276-1277)
188. Nicholas III (Giovanni Gaetano Orsini) dari Roma (1277-1280)
189. Martin IV (Simon de Brie) dari Perancis (1281-1285)
190. Honorius IV (Giacomo Savelli) dari Roma (1285-1287)
191. Nicholas IV (Girolamo Masci) dari Ascoli (1288-1292)
192. Santo Celestinus V (Pietro del Murrone) dari Isernia (1294)
193. Boniface VIII (Benedetto Caetani) dari Anagni (1294-1303)
194. Beato Benedictus XI (Niccolo Boccasini) dari Treviso (1303-1304)
195. Clement V (Bertrand de Got) dari Perancis (1305-1314)
196. Yohanes XXII (Jacques d'Euse) dari Cahors, Perancis (1316-1334)
197. Benedictus XII (Jacques Fournier) dari Perancis (1334-1342)
198. Clement VI (Pierre Roger) dari Perancis (1342-1352)
199. Innocentius VI (Etienne Aubert) dari Perancis (1352-1362)
200. Beato Urban V (Guillaume de Grimoard) dari Perancis (1362-1370)
201. Gregorius XI (Pierre Roger de Beaufort) dari Perancis (1370-1378)
202. Urban VI (Bartolomeo Prignano) dari Naples (1378-1389)
203. Boniface IX (Pietro Tomacelli) dari Naples (1389-1404)
204. Innocentius VII (Cosma Migliorati) dari Sulmona (1404-1406)
205. Gregorius XII (Angelo Correr) dari Venice (1406-1415)
206. Martin V (Oddone Colonna) dari Roma (1417-1431)
207. Eugene IV (Gabriele Condulmer) dari Venice (1431-1447)
208. Nicholas V (Tommaso Parentucelli) dari Sarzana (1447-1455)
209. Callistus III (Alfonso Borgia) dari Jativa (Valencia) (1455-1458)
210. Pius II (Enea Silvio Piccolomini) dari Siena (1458-1464)
211. Paul II (Pietro Barbo) dari Venice (1464-1471)
212. Sixtus IV (Francesco della Rovere) dari Savona (1471-1484)
213. Innocentius VIII (Giovanni Battista Cibo) dari Genoa (1484-1492)
214. Alexander VI (Rodrigo Borgia) dari Jativa (Valencia) (1492-1503)
215. Pius III (Francesco Todeschini-Piccolomini) dari Siena (1503)
216. Julius II (Giuliano della Rovere) dari Savona (1503-1513)
217. Leo X (Giovanni de'Medici) dari Florence (1513-1521)
218. Adrianus VI (Adrian Florensz) dari Utrecht, Jerman (1522-1523)
219. Clement VII (Giulio de'Medici) dari Florence (1523-1534)
220. Paulus III (Alessandro Farnese) dari Roma (1534-1549)
221. Julius III (Giovanni Maria Ciocchi) dari Roma (1550-1555)
222. Marcellus II (Marcello Cervini) dari Montepulciano (1555)
223. Paulus IV (Gian Pietro Carafa) dari Naples (1555-1559)
224. Pius IV (Giovan Angelo de'Medici) dari Milan (1559-1565)
225. Santo Pius V (Antonio-Michele Ghislieri) dari Bosco (Alexandria) (1566-1572)
226. Gregorius XIII (Ugo Buoncompagni) dari Bologna (1572-1585)
227. Sixtus V (Felice Peretti) dari Grottamare (Ripatransone) (1585-1590)
228. Urban VII (Giambattista Castagna) dari Roma (1590)
229. Gregorius XIV (Niccolo Sfondrati) dari Cremona (1590-1591)
230. Innocentius IX (Giovanni Antonio Facchinetti) dari Bologna (1591)
231. Clement VIII (Ippolito Aldobrandini) dari Florence (1592-1605)
232. Leo IX (Alessandro de'Medici) dari Florence (1605)
233. Paulus V (Camillo Borghese) dari Roma (1605-1621)
234. Gregorius XV (Alessandor Ludovisi) dari Bologna (1621-1623)
235. Urban VIII (Maffeo Barberini) dari Florence (1623-1644)
236. Innocentius X (Giovanni Battista Pamfili) dari Roma (1644-1655)
237. Alexander VII (Fabio Chigi) dari Siena (1655-1667)
238. Clement IX (Giulio Rospigliosi) dari Pistoia (1667-1669)
239. Clement X (Emilio Altieri) dari Roma (1670-1676)
240. Beato Innocentius XI (Benedetto Odescalchi) dari Como (1676-1689)
241. Alexander VIII (Pietro Ottoboni) dari Venice (1689-1691)
242. Innocentius XII (Antonio Pignatelli) dari Spinazzola (Venosa) (1691-1700)
243. Clement XI (Giovanni Francesco Albani) dari Urbino (1700-1721)
244. Innocentius XIII (Michelangelo dei Conti) dari Roma (1721-1724)
245. Benedictus XIII (Pietro Francesco-Vincenzo Maria-Orsini) dari Gravina (Bari) (1724-1730)
246. Clement XII (Lorenzo Corsini) dari Florence (1730-1740)
247. Benedictus XIV (Prospero Lambertini) dari Bologna (1740-1758)
248. Clement XIII (Carlo Rezzonico) dari Venice (1758-1769)
249. Clement XIV (Giovanni Vincenzo Antonio-Lorenzo-Ganganelli) dari Rimini (1769-1774)
250. Pius VI (Giovanni Angelo Braschi) dari Cesena (1775-1799)
251. Pius VII (Barnaba-Gregorio-Chiaramonti) dari Cesena (1800-1823)
252. Leo XII (Annibale della Genga) dari Genga (Fabriano) (1823-1829)
253. Pius VIII (Fracesco Saverio Castiglioni) dari Cingoli (1829-1830)
254. Gregorius XVI (Bartolomeo Alberto-Mauro-Cappelari) dari Belluno (1831-1846)
255. Pius IX (Giovanni M. Mastai-Ferretti) dari Senigallia (1846-1878)
256. Leo XIII (Gioacchino Pecci) dari Carpineto (Anagni) (1878-1903)
257. Santo Pius X (Giuseppe Sarto) dari Riese (Treviso) (1903-1914)
258. Benedictus XV (Giacomo della Chiesa) dari Genoa, Italia (1914-1922)
259. Pius XI (Achille Ratti) dari Desio, Milan, Italia (1922-1939)
260. Pius XII (Eugenio Pacelli) dari Roma (1939-1958)
261. Yohanes XXIII (Angelo Giuseppe Roncalli) dari Sotto il Monte (Bergamo) (1958-1963)
262. Paulus VI (Giovanni Battista Montini) dari Concescio (Brescia) (1963-1978)
263. Yohanes Paulus I (Albino Luciani) dari Forno di Canale (Belluno) (1978)
264. Yohanes Paulus II (Karol Wojtyla) Wadowice, Polandia (1978-2005)
265. Benedictus XVI (Y. Ratzinger) Bavaria, Jerman (2005-Sekarang
Senin, 15 Juni 2009
Orang Katolik Tidak Menyembah Patung
Pendahuluan
Cerita ini adalah yang penulis alami pada tahun 2000. Saat itu saya sedang mengunjungi sanak keluarga suami yang tinggal di Jawa Tengah. Suami saya tidak ikut, karena sedang bertugas di luar negeri. Karena hampir semua dari anggota keluarga mereka beragama Kristen Protestan, maka pada hari Minggu terakhir sebelum saya pulang ke Jakarta, mereka mengajak saya ikut kebaktian di gereja mereka. Karena saya pikir saya toh masih dapat mengikuti misa sore setibanya saya di Jakarta, maka saya setuju saja, karena saya tidak ingin merepotkan mereka untuk mengantarkan saya spesial ke gereja Katolik.
Kebaktian berlangsung khusuk. Injil hari itu adalah mengenai “mengasihi Allah dan sesama”, dan Bapak Pendeta mengutip kesepuluh Perintah Allah yang ada di Kitab Keluaran 20. Ayat ke-3 menekankan supaya kita tidak menyembah allah yang lain selain Allah Tritunggal. “Oh, sama dengan ajaran Gereja Katolik”, pikir saya. Namun penjelasan ayat yang ke-4 dan ke-5 membuat saya terhenyak.[1] Saat itu, beliau meminta seseorang untuk memberikan selembar uang kertas sebagai contoh. Katanya perintah Tuhan pada kedua ayat ini seperti halnya uang kertas, harus tercetak di sisi atas dan di sisi baliknya, kalau tidak, uang tersebut tidak berlaku. Maka kedua ayat itu harus diterapkan sekaligus, karena jika tidak artinya kita melanggar perintah Allah. Maka Pak Pendeta mengatakan kita tidak boleh membuat patung yang menyerupai apapun di langit dan di bumi, dan tidak boleh menyembahnya. Dia menyebutkan ‘kekeliruan’ gereja lain (beliau tidak menyebutkan Gereja Katolik) yang mengajarkan bahwa membuat patung itu boleh saja, asalkan kita tidak sujud menyembahnya sebagai Allah. Kemudian, beliau bertanya kepada jemaat, siapa dari antara hadirin yang berpendapat demikian. Hati saya bergemuruh, karena yang saya tahu, yang dilarang adalah membuat ‘patung’ yang kemudian disembah sebagai Tuhan. Jadi, saya memutuskan untuk mengangkat tangan saya, walaupun saya dipandang dengan tatapan aneh oleh banyak yang hadir. Hanya ada dua orang (termasuk saya) yang mengangkat tangan, dari sekitar 400 orang yang hadir. “Anggapan yang keliru”, kata Bapak Pendeta, dan saya bertekad dalam hati untuk menjelaskan hal ini kepadanya setelah kebaktian.
Sayangnya, saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan Pak Pendeta setelah kebaktian. Saya pulang ke Jakarta dengan hati gundah. Satu minggu berikutnya saya isi dengan mempelajari Kitab Suci dan buku-buku ajaran Gereja Katolik mengenai hal patung ini. Minggu berikutnya saya menulis surat kepada beliau, dengan menuliskan ayat-ayat Alkitab yang menjadi dasar bagi Gereja Katolik yang menganggap bahwa membuat patung, memajang patung ataupun berdoa di depan patung bukanlah suatu penyembahan berhala, asalkan kita tidak tunduk menyembah patung itu dan menganggapnya sebagai Tuhan. Sampai sekarang, saya tidak pernah menerima balasan dari Bapak Pendeta tersebut. Namun, saya hanya berharap agar beliau dapat memahami dasar pengajaran Gereja Katolik dalam hal patung ini dan tidak beranggapan bahwa Gereja Katolik mengajarkan sesuatu yang ‘keliru’.
Surat kami kepada Bapak Pendeta
Berikut ini saya sertakan surat kepada Bapak Pendeta tersebut, yang sesungguhnya dapat ditujukan juga kepada siapa saja yang menganggap orang Katolik menyembah patung:
Salam damai dalam kasih Kristus,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Kebaktian Minggu tanggal 17 September 2000, yang bertemakan “Kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”.
Saya terkesan dengan kotbah tersebut, hanya ada beberapa bagian yang berbeda dengan pengajaran di dalam Gereja saya, yaitu Gereja Katolik. Memang, Pak Pendeta tidak menyebut langsung ‘Gereja Katolik’ dalam khotbah Bapak, tetapi saya merasa terdorong untuk menjelaskan hal itu mengingat banyaknya kesalahpahaman yang terjadi antara jemaat Kristen Protestan dangan kami umat Katolik.
Dan setelah mendiskusikannya dengan suami saya, maka kami memutuskan untuk menulis surat ini dalam semangat kasih persaudaraan dalam Kristus.
Kami menyadari, bahwa perbedaan adalah hal yang wajar. Dan dengan semangat mencari kebenaran itu sendiri yang berasal dari Tuhan, kami ingin menjelaskan hal-hal dan latar belakang, serta dasar iman Katolik yang berkaitan dengan kotbah Bapak pada saat itu, yaitu mengenai ayat:
Keluaran 20:3-5 (menurut : Lembaga Alkitab Indonesia, 1999)
3)Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
4)Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
5)Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku.
Menurut khotbah Bapak, ayat yang ke-4 dan ke-5 tidak dapat dipisahkan, sehingga artinya adalah kita tidak boleh membuat patung, dan tidak boleh menyembah sujud kepadanya.
(Analogi yang Bapak sampaikan pada waktu itu adalah uang kertas dua puluh ribu rupiah yang memiliki 2 sisi). Jadi anggapan bahwa membuat patung itu diperbolehkan asal tidak sujud menyembahnya, dianggap KELIRU.
Kami ingin mengutip dari beberapa ayat kitab suci dari beberapa terjemahan, untuk mengurangi kemungkinan distorsi dari bahasa itu sendiri.
3) You shall not have other gods besides me (NAB, CCB); no other gods before me (RSV, NIV, KJV);
4) You shall not carve idols (NAB); a graven image (RSV); any graven image (NIV, KJV); a carved image (CCB) for yourselves in the shape of anything in the sky above or on the earth below or in the waters beneath the earth;
5)you shall not bow down (NAB, RSV, NIV, KJV, CCB) before them or worship them: for I the LORD your God am a jealous God, visiting the iniquity of the fathers upon the children to the third and the fourth generation of those who hate me.
Catatan: NAB= New American Bible; RSV= Revised Standard Version; NIV= New International Version; CCB= Christian Community Bible.
Dari referensi di atas, maka terlihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Carved idol, yang artinya adalah “patung berhala” dan carved/graven image yang berarti “ukiran dari suatu gambaran”. Kalaupun hal ini masih bisa diperdebatkan, namun tetap tidak mengurangi esensi dari ayat tersebut, bahwa yang paling penting adalah kita tidak membuat image/patung/gambaran untuk disembah sebagai allah lain (dalam kaitannya dengan ayat yang ke 3).
Jadi, penyembahan “patung berhala” adalah dosa. Namun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa orang-orang Katolik adalah “sebagian orang Kristen” yang menyembah “patung” karena memiliki patung Yesus, Maria, santo/santa adalah sungguh-sungguh keliru. Hal ini adalah karena kesalahpahaman atau pengabaian dari apa yang dikatakan oleh kitab suci tentang maksud dan penggunaan patung. (Karena orang Katolik tidak menghormati patung, tetapi menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya). [2]
Anggapan bahwa “Tuhan melarang penggunaan image/gambaran/patung”, seperti yang dikotbahkan Bapak, menjadi anggapan umum jemaat Protestan, (sedangkan Gereja Katolik memang melarang patung berhala, tetapi tidak melarang penggunaan patung untuk keperluan ibadah, karena patung hanya merupakan lambang saja yang membantu untuk mengarahkan hati kepada Tuhan).
Kalau kita sungguh-sungguh menyelidiki seluruh kitab suci, kita dapat menemukan bahwa penggunaan image/gambaran/patung dalam ibadah kepada Tuhan diperbolehkan, bahkan Allah sendiri yang “memerintahkan” penggunaan hal tersebut.
Tuhan memerintahkan untuk membuat patung untuk keperluan ibadah
Di samping kutipan kitab Keluaran 20:4-5, marilah kita melihat beberapa kutipan lain dimana Tuhan memerintahkan untuk membuat patung yang digunakan sebagai lambang yang memberikan gambaran/menunjuk kepada kehadiran Yesus pada Perjanjian Baru dan kekal, sebagai yang terkandung dalam ‘Tabut Perjanjian baru’ itu sendiri, dan Putera Allah yang ditinggikan[3]:
1. Keluaran 25:1,18-20
Berfirmanlah Tuhan kepada Musa: “Dan haruslah kau buat dua kerub (English: cherubims/angels) dari emas, kau buatlah itu dari emas tempaan, pada kedua ujung tutup pendamaian itu. Buatlah satu kerub pada ujung sebelah sini, dan satu kerub pada ujung sebelah sana; seiras dengan tutup pendamaian itu kamu buatlah kerub itu di atas kedua ujungnya”. Kerub-kerub itu harus mengembangkan kedua sayapnya ke atas, sedang sayap-sayapnya menudungi tutup pendamaian itu dan mukanya menghadap kepada masing-masing; kepada tutup pendamaian itulah harus menghadap muka kerub-kerub itu.”
2. Ketika raja Daud memberikan rencana pembuatan bait Allah kepada Salomo
1 Tawarikh 28:18-19
”..juga emas yang disucikan untuk mezbah pembakaran ukupan seberat yang diperlukan dan emas yang diperlukan untuk pembentukan kereta yang menjadi tumpangan kedua kerub yang mengembangkan sayapnya sambil menudungi tabut perjanjian Tuhan. Semuanya itu terdapat dalam t Allaulisan yang diilhamkan kepadaku oleh Tuhan yang berisi petunjuk tentang segala pelaksanaan rencana itu.”
Lihatlah bahwa semua yang tertulis di atas diilhami oleh Tuhan sendiri.
Memang bukan raja Daud yang membangun bait Allah, melainkan raja Salomo pada tahun ke-empat setelah ia menjadi raja atas Israel. Dan dia melakukan yang diperintahkan oleh raja Daud, seperti yang tertulis dalam kitab 1 Raja-raja 6:23-35, “selanjutnya di dalam ruang belakang itu dibuatnya dua kerub dari kayu minyak, masing-masing sepuluh hasta tingginya ……..” (Dua kerub yang terdapat pada bait Allah ini menunjuk kepada kehadiran Allah di dalam tabut perjanjian; dan Yesuslah yang kemudian menjadi pemenuhan dari perjanjian Allah ini).
3. Yehezkiel 41:17-18
… dan di seluruh dinding bagian dalam dan bagian luar, terukir gambar-gambar kerub dan pohon-pohon korma, di antara dua kerub sebatang pohon korma, dan masing-masing kerub itu mempunyai dua muka.
4. Bilangan 21:8
Maka berfirmanlah Tuhan kepada Musa:”Buatlah (sebuah patung) ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.” (Ular ini yang ditinggikan Musa menjadi gambaran dari Yesus Putera Allah yang harus ditinggikan (Yoh 3:14)).
Berdasarkan dasar-dasar tersebut di atas, yang dilarang adalah image/ gambaran/ patung yang dijadikan “allah-allah yang lain” dan menyaingi Allah yang Satu. Yang dilarang oleh hukum Allah adalah pemujaan terhadap image /gambaran/patung itu sendiri. Dengan demikian, Keluaran 20:4-5 berkaitkan dengan Keluaran 20:3, yaitu jangan ada padamu allah lain di hadapanKu.
Bagaimana kita menjelaskan kontradiksi ayat-ayat tersebut diatas butir 1-4 dengan kitab Keluaran 20:4-5?
Jawabannya sangat sederhana. Kerub/malaikat tidak dianggap sebagai allah dan tidak memerlukan pemujaan: Mereka adalah gambaran hamba Tuhan. Hal yang sama diterima oleh gereja Katolik saat ini, adalah penggunaan patung Yesus, Maria, santo/santa karena mereka bukan allah melainkan gambaran hamba Tuhan. (Jadi kita tidak menghormati patung itu apalagi menyembahnya, melainkan menghormati pribadi yang dilambangkannya, karena mereka membantu kita mengarahkan hati kepada Allah dan bukannya menjadi ’saingan’ Allah).
Bagaimana umat Katolik menggunakan image/gambaran/patung:
1. Sebagai salah satu alat bantu umat untuk lebih menghayati kedekatannya dengan Yesus Kristus.
Penggunaan patung, lukisan, elemen artistik lainnya bagi umat Katolik adalah untuk membantu mengingat seseorang atau sesuatu yang digambarkannya. Sama seperti seseorang mengingat ibunya dengan melihat fotonya, demikian juga umat Katolik mengingat Yesus, Maria dan orang kudus lainnya dengan melihat patung/ gambar mereka. (Lagipula, Yesus sendiri sebagai Sang Putera Allah telah menjadi manusia, sehingga Yesus sendiri telah menjadi ‘gambaran Allah yang nyata.’ (lihat Kol 1:15) Karena itu, dengan kedatangan Yesus ke dunia, Allah yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Allah yang dalam Perjanjian Lama dilarang untuk digambarkan, maka di Perjanjian Baru malah dinyatakan sebagai ‘gambar hidup’ di dalam diri Yesus. Jadi Yesus memperbaharui ‘tata gambar’ tentang Allah, sebab Ia adalah gambaran Allah sendiri.[4]) Renungkanlah ini: Jika di rumah kita memasang gambar/ foto keluarga kita, mengapakah kita tidak boleh memasang gambar/foto Tuhan yang kita sayangi? Gambar/ patung Tuhan Yesus dipasang tidang untuk disembah, tetapi hanya untuk mengingatkan kita tentang betapa istimewanya Ia di dalam hidup kita.
2. Umat Katolik juga menggunakan image/gambar/patung sebagai sarana pengajaran, seperti yang diterapkan juga oleh umat Kristen lain terutama dalam mengajar anak-anak di sekolah minggu, seperti: menerangkan siapa Tuhan Yesus, mukjijat yang dibuatNya, dll dengan gambar-gambar. (Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara signifikan di Eropa pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada abad 19/20. Jadi tentu selama 12 abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan patung mengambil peran untuk pengajaran iman, karena praktis, mayoritas orang pada saat itu tidak dapat membaca! Penggunaan gambar/ patung untuk maksud pengajaran ini tentu bukan berhala, karena mereka akhirnya malah menuntun orang beriman kepada Tuhan. Hal serupa terjadi waktu kita pertama kali mengajar anak-anak kecil mengenali benda-benda tertentu. Kita membuat/ menunjukkan pada mereka gambar-gambar sederhana, seperti apel, ikan, rumah, dst. Tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan perintah Tuhan. Jadi membuat gambar yang menyerupai sesuatu di sekitar kita bukan merupakan dosa asal kita tidak menyembah gambar- gambar itu).
3. Umat Katolik juga menggunakan hal tersebut dalam kesempatan tertentu, sama seperti umat Kristen pada umumnya mempunyai patung-patung kandang natal, gambar peristiwa natal, atau mengirim kartu natal bergambar pada hari natal. (Jika membuat segala gambar/ patung yang menyerupai segala sesuatu dianggap dosa, apakah berarti kebiasaan mengirimkan kartu Natal dan menghias pohon Natal dengan kandang Natal, adalah dosa? Jika ya berarti bahkan menonton TV pun adalah dosa, melihat segala buku bergambar adalah dosa, menggambar/ melukis adalah dosa, karena semua objeknya adalah segala sesuatu yang ‘menyerupai apapun yang di langit dan di bumi’).
Kesimpulan
Jadi, Tuhan memang melarang pemujaan terhadap image/gambaran/patung, tetapi Ia tidak melarang pembuatan image/ gambaran tersebut secara umum. Seandainya Ia melarangnya, maka film, televisi, video, foto, lukisan, kartu natal bergambar, uang, ataupun gambar-gambar lainya akan juga dilarang, karena semua itu mengandung unsur image/ gambaran yang menyerupai sesuatu di bumi atau di atas bumi….(lihat Kel 20:4) Karena itu, Gereja Katolik melihat ayat ke-4 ini sebagai kelanjutan dari ayat ke-3, yaitu, agar jangan kita membuat gambar/ patung untuk disembah sebagai allah lain di hadapan Allah.
Dengan demikian sebenarnya menjadi sangat jelas bahwa baik umat Katolik maupun umat Kristen lainnya hanya memuja Tuhan yang satu dan sama, dan sama-sama menentang penyembahan patung berhala.
Kami yakin bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang ada dalam pengajaran Katolik dan Kristen Protestan. Alangkah baiknya jika kita masing-masing mau mengerti dasar-dasar atau latar belakang alkitabiah dan ajaran Gereja yang mendasari pengajaran tersebut untuk mengetahui kebenaran itu sendiri. Janganlah kita lupa bahwa di antara kita lebih banyak persamaannya dari pada perbedaannya.
Akhirnya, kami mengucapkan salam hangat kami untuk Bapak Pendeta dan seluruh jemaat Bapak. Semoga kasih Tuhan Yesus selalu mengikat kita semua sebagai satu saudara.
Salam dalam damai Kristus,
Ingrid Listiati & Wijoyo Tay
Penutup
Surat ini saya kirimkan kepada Bapak Pendeta tersebut. Nama dan alamat bapak Pendeta tersebut sengaja tidak saya cantumkan di sini karena saya pandang tidak perlu, karena yang terpenting adalah isi dari surat tersebut, untuk kita renungkan bersama. Kesaksian serupa ini mungkin dapat pula saudara/i alami dengan situasi yang berbeda, dan saya berharap artikel ini dapat sedikit membantu. Di atas semua itu, ingatlah bahwa kita harus selalu siap untuk menjelaskan iman kita, namun harus selalu dengan kelemah-lembutan dan hormat (lih. 1Pet 3:15).
Perlu kita ingat di sini bahwa berhala yang lebih ‘berbahaya’ sekarang adalah bukan terbatas hanya patung, tetapi segala ciptaan yang kita anggap lebih utama dari Tuhan, misal, uang, TV, pekerjaan, kedudukan, kecantikan, koleksi barang antik, main game, dst., yang menggeserkan peran Tuhan di dalam hidup kita, dan yang menyita waktu kita sampai tidak ada waktu untuk ke gereja, berdoa dan membaca sabda-Nya. Hal ini malah lebih nyata pada jaman sekarang, ketimbang hal membuat patung lembu tuangan (lih. Ul 9:16), namun prinsipnya sama, yaitu menyembah ciptaan dan bukan Sang Pencipta.
Mari kita refleksikan, apa yang menjadi ‘patung berhala’ di dalam hidup kita, yang mengambil tempat Tuhan di hati kita. Mari kita berdoa agar Tuhan membantu kita mengangkat keterikatan kita terhadap benda-benda tersebut. Dengan demikian kita dapat mengasihi Allah dengan lebih sungguh, tidak hanya di mulut, tetapi sungguh turun sampai ke hati.
[1] Perintah kedua yang dibahas oleh Bapak Pendeta adalah “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit… di bumi … atau yang ada di dalam air di bawah bumi.”(Kel 20:4) Dalam pengajaran Gereja Katolik, perintah kedua adalah: “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan (Kel 20:7), karena ayat ke-4 yang mengacu pada patung berhala merupakan kesatuan/kelanjutan dari perintah pertama yaitu, “Jangan ada allah lain dihadapan-Ku…”(Kel 20:3)
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik 2132, Penghormatan Kristen terhadap gambar tidak bertentangan dengan perintah pertama, yang melarang patung berhala. Karena ‘penghormatan yang kita berikan kepada satu gambar menyangkut gambar asli di baliknya” (Basilius Spir 18,45) dan “siapa yang menghormati gambar, menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya” (Konsili Nisea II, DS 601). Penghormatan yang kita berikan kepada gambar-gambar adalah satu ‘penghormatan yang khidmat’, bukan penyembahan; penyembahan hanya boleh diberikan kepada Allah.
[3] Lihat KGK 2130, Tetapi di dalam Perjanjian Lama, Allah sudah menyuruh dan mengizinkan pembuatan patung, yang sebagai lambang harus menunjuk kepada keselamatan dengan perantaraan Sabda yang menjadi manusia: sebagai contoh, ular tembaga (bdk Bil 21:4-9; Keb 16-5-14, Yoh 3:14-15), tabut perjanjian dan kerub (bdk. Kel 25:10-22; 1 Raj 6:23-28; 7:23-26).
[4] Lihat KGK 2131, …Dengan penjelmaan menjadi manusia, Putera Allah membuka satu “tata gambar” yang baru.
Cerita ini adalah yang penulis alami pada tahun 2000. Saat itu saya sedang mengunjungi sanak keluarga suami yang tinggal di Jawa Tengah. Suami saya tidak ikut, karena sedang bertugas di luar negeri. Karena hampir semua dari anggota keluarga mereka beragama Kristen Protestan, maka pada hari Minggu terakhir sebelum saya pulang ke Jakarta, mereka mengajak saya ikut kebaktian di gereja mereka. Karena saya pikir saya toh masih dapat mengikuti misa sore setibanya saya di Jakarta, maka saya setuju saja, karena saya tidak ingin merepotkan mereka untuk mengantarkan saya spesial ke gereja Katolik.
Kebaktian berlangsung khusuk. Injil hari itu adalah mengenai “mengasihi Allah dan sesama”, dan Bapak Pendeta mengutip kesepuluh Perintah Allah yang ada di Kitab Keluaran 20. Ayat ke-3 menekankan supaya kita tidak menyembah allah yang lain selain Allah Tritunggal. “Oh, sama dengan ajaran Gereja Katolik”, pikir saya. Namun penjelasan ayat yang ke-4 dan ke-5 membuat saya terhenyak.[1] Saat itu, beliau meminta seseorang untuk memberikan selembar uang kertas sebagai contoh. Katanya perintah Tuhan pada kedua ayat ini seperti halnya uang kertas, harus tercetak di sisi atas dan di sisi baliknya, kalau tidak, uang tersebut tidak berlaku. Maka kedua ayat itu harus diterapkan sekaligus, karena jika tidak artinya kita melanggar perintah Allah. Maka Pak Pendeta mengatakan kita tidak boleh membuat patung yang menyerupai apapun di langit dan di bumi, dan tidak boleh menyembahnya. Dia menyebutkan ‘kekeliruan’ gereja lain (beliau tidak menyebutkan Gereja Katolik) yang mengajarkan bahwa membuat patung itu boleh saja, asalkan kita tidak sujud menyembahnya sebagai Allah. Kemudian, beliau bertanya kepada jemaat, siapa dari antara hadirin yang berpendapat demikian. Hati saya bergemuruh, karena yang saya tahu, yang dilarang adalah membuat ‘patung’ yang kemudian disembah sebagai Tuhan. Jadi, saya memutuskan untuk mengangkat tangan saya, walaupun saya dipandang dengan tatapan aneh oleh banyak yang hadir. Hanya ada dua orang (termasuk saya) yang mengangkat tangan, dari sekitar 400 orang yang hadir. “Anggapan yang keliru”, kata Bapak Pendeta, dan saya bertekad dalam hati untuk menjelaskan hal ini kepadanya setelah kebaktian.
Sayangnya, saya tidak berkesempatan untuk bertemu dengan Pak Pendeta setelah kebaktian. Saya pulang ke Jakarta dengan hati gundah. Satu minggu berikutnya saya isi dengan mempelajari Kitab Suci dan buku-buku ajaran Gereja Katolik mengenai hal patung ini. Minggu berikutnya saya menulis surat kepada beliau, dengan menuliskan ayat-ayat Alkitab yang menjadi dasar bagi Gereja Katolik yang menganggap bahwa membuat patung, memajang patung ataupun berdoa di depan patung bukanlah suatu penyembahan berhala, asalkan kita tidak tunduk menyembah patung itu dan menganggapnya sebagai Tuhan. Sampai sekarang, saya tidak pernah menerima balasan dari Bapak Pendeta tersebut. Namun, saya hanya berharap agar beliau dapat memahami dasar pengajaran Gereja Katolik dalam hal patung ini dan tidak beranggapan bahwa Gereja Katolik mengajarkan sesuatu yang ‘keliru’.
Surat kami kepada Bapak Pendeta
Berikut ini saya sertakan surat kepada Bapak Pendeta tersebut, yang sesungguhnya dapat ditujukan juga kepada siapa saja yang menganggap orang Katolik menyembah patung:
Salam damai dalam kasih Kristus,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Kebaktian Minggu tanggal 17 September 2000, yang bertemakan “Kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri”.
Saya terkesan dengan kotbah tersebut, hanya ada beberapa bagian yang berbeda dengan pengajaran di dalam Gereja saya, yaitu Gereja Katolik. Memang, Pak Pendeta tidak menyebut langsung ‘Gereja Katolik’ dalam khotbah Bapak, tetapi saya merasa terdorong untuk menjelaskan hal itu mengingat banyaknya kesalahpahaman yang terjadi antara jemaat Kristen Protestan dangan kami umat Katolik.
Dan setelah mendiskusikannya dengan suami saya, maka kami memutuskan untuk menulis surat ini dalam semangat kasih persaudaraan dalam Kristus.
Kami menyadari, bahwa perbedaan adalah hal yang wajar. Dan dengan semangat mencari kebenaran itu sendiri yang berasal dari Tuhan, kami ingin menjelaskan hal-hal dan latar belakang, serta dasar iman Katolik yang berkaitan dengan kotbah Bapak pada saat itu, yaitu mengenai ayat:
Keluaran 20:3-5 (menurut : Lembaga Alkitab Indonesia, 1999)
3)Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
4)Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.
5)Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku.
Menurut khotbah Bapak, ayat yang ke-4 dan ke-5 tidak dapat dipisahkan, sehingga artinya adalah kita tidak boleh membuat patung, dan tidak boleh menyembah sujud kepadanya.
(Analogi yang Bapak sampaikan pada waktu itu adalah uang kertas dua puluh ribu rupiah yang memiliki 2 sisi). Jadi anggapan bahwa membuat patung itu diperbolehkan asal tidak sujud menyembahnya, dianggap KELIRU.
Kami ingin mengutip dari beberapa ayat kitab suci dari beberapa terjemahan, untuk mengurangi kemungkinan distorsi dari bahasa itu sendiri.
3) You shall not have other gods besides me (NAB, CCB); no other gods before me (RSV, NIV, KJV);
4) You shall not carve idols (NAB); a graven image (RSV); any graven image (NIV, KJV); a carved image (CCB) for yourselves in the shape of anything in the sky above or on the earth below or in the waters beneath the earth;
5)you shall not bow down (NAB, RSV, NIV, KJV, CCB) before them or worship them: for I the LORD your God am a jealous God, visiting the iniquity of the fathers upon the children to the third and the fourth generation of those who hate me.
Catatan: NAB= New American Bible; RSV= Revised Standard Version; NIV= New International Version; CCB= Christian Community Bible.
Dari referensi di atas, maka terlihat bahwa istilah yang digunakan adalah:
Carved idol, yang artinya adalah “patung berhala” dan carved/graven image yang berarti “ukiran dari suatu gambaran”. Kalaupun hal ini masih bisa diperdebatkan, namun tetap tidak mengurangi esensi dari ayat tersebut, bahwa yang paling penting adalah kita tidak membuat image/patung/gambaran untuk disembah sebagai allah lain (dalam kaitannya dengan ayat yang ke 3).
Jadi, penyembahan “patung berhala” adalah dosa. Namun anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa orang-orang Katolik adalah “sebagian orang Kristen” yang menyembah “patung” karena memiliki patung Yesus, Maria, santo/santa adalah sungguh-sungguh keliru. Hal ini adalah karena kesalahpahaman atau pengabaian dari apa yang dikatakan oleh kitab suci tentang maksud dan penggunaan patung. (Karena orang Katolik tidak menghormati patung, tetapi menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya). [2]
Anggapan bahwa “Tuhan melarang penggunaan image/gambaran/patung”, seperti yang dikotbahkan Bapak, menjadi anggapan umum jemaat Protestan, (sedangkan Gereja Katolik memang melarang patung berhala, tetapi tidak melarang penggunaan patung untuk keperluan ibadah, karena patung hanya merupakan lambang saja yang membantu untuk mengarahkan hati kepada Tuhan).
Kalau kita sungguh-sungguh menyelidiki seluruh kitab suci, kita dapat menemukan bahwa penggunaan image/gambaran/patung dalam ibadah kepada Tuhan diperbolehkan, bahkan Allah sendiri yang “memerintahkan” penggunaan hal tersebut.
Tuhan memerintahkan untuk membuat patung untuk keperluan ibadah
Di samping kutipan kitab Keluaran 20:4-5, marilah kita melihat beberapa kutipan lain dimana Tuhan memerintahkan untuk membuat patung yang digunakan sebagai lambang yang memberikan gambaran/menunjuk kepada kehadiran Yesus pada Perjanjian Baru dan kekal, sebagai yang terkandung dalam ‘Tabut Perjanjian baru’ itu sendiri, dan Putera Allah yang ditinggikan[3]:
1. Keluaran 25:1,18-20
Berfirmanlah Tuhan kepada Musa: “Dan haruslah kau buat dua kerub (English: cherubims/angels) dari emas, kau buatlah itu dari emas tempaan, pada kedua ujung tutup pendamaian itu. Buatlah satu kerub pada ujung sebelah sini, dan satu kerub pada ujung sebelah sana; seiras dengan tutup pendamaian itu kamu buatlah kerub itu di atas kedua ujungnya”. Kerub-kerub itu harus mengembangkan kedua sayapnya ke atas, sedang sayap-sayapnya menudungi tutup pendamaian itu dan mukanya menghadap kepada masing-masing; kepada tutup pendamaian itulah harus menghadap muka kerub-kerub itu.”
2. Ketika raja Daud memberikan rencana pembuatan bait Allah kepada Salomo
1 Tawarikh 28:18-19
”..juga emas yang disucikan untuk mezbah pembakaran ukupan seberat yang diperlukan dan emas yang diperlukan untuk pembentukan kereta yang menjadi tumpangan kedua kerub yang mengembangkan sayapnya sambil menudungi tabut perjanjian Tuhan. Semuanya itu terdapat dalam t Allaulisan yang diilhamkan kepadaku oleh Tuhan yang berisi petunjuk tentang segala pelaksanaan rencana itu.”
Lihatlah bahwa semua yang tertulis di atas diilhami oleh Tuhan sendiri.
Memang bukan raja Daud yang membangun bait Allah, melainkan raja Salomo pada tahun ke-empat setelah ia menjadi raja atas Israel. Dan dia melakukan yang diperintahkan oleh raja Daud, seperti yang tertulis dalam kitab 1 Raja-raja 6:23-35, “selanjutnya di dalam ruang belakang itu dibuatnya dua kerub dari kayu minyak, masing-masing sepuluh hasta tingginya ……..” (Dua kerub yang terdapat pada bait Allah ini menunjuk kepada kehadiran Allah di dalam tabut perjanjian; dan Yesuslah yang kemudian menjadi pemenuhan dari perjanjian Allah ini).
3. Yehezkiel 41:17-18
… dan di seluruh dinding bagian dalam dan bagian luar, terukir gambar-gambar kerub dan pohon-pohon korma, di antara dua kerub sebatang pohon korma, dan masing-masing kerub itu mempunyai dua muka.
4. Bilangan 21:8
Maka berfirmanlah Tuhan kepada Musa:”Buatlah (sebuah patung) ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.” (Ular ini yang ditinggikan Musa menjadi gambaran dari Yesus Putera Allah yang harus ditinggikan (Yoh 3:14)).
Berdasarkan dasar-dasar tersebut di atas, yang dilarang adalah image/ gambaran/ patung yang dijadikan “allah-allah yang lain” dan menyaingi Allah yang Satu. Yang dilarang oleh hukum Allah adalah pemujaan terhadap image /gambaran/patung itu sendiri. Dengan demikian, Keluaran 20:4-5 berkaitkan dengan Keluaran 20:3, yaitu jangan ada padamu allah lain di hadapanKu.
Bagaimana kita menjelaskan kontradiksi ayat-ayat tersebut diatas butir 1-4 dengan kitab Keluaran 20:4-5?
Jawabannya sangat sederhana. Kerub/malaikat tidak dianggap sebagai allah dan tidak memerlukan pemujaan: Mereka adalah gambaran hamba Tuhan. Hal yang sama diterima oleh gereja Katolik saat ini, adalah penggunaan patung Yesus, Maria, santo/santa karena mereka bukan allah melainkan gambaran hamba Tuhan. (Jadi kita tidak menghormati patung itu apalagi menyembahnya, melainkan menghormati pribadi yang dilambangkannya, karena mereka membantu kita mengarahkan hati kepada Allah dan bukannya menjadi ’saingan’ Allah).
Bagaimana umat Katolik menggunakan image/gambaran/patung:
1. Sebagai salah satu alat bantu umat untuk lebih menghayati kedekatannya dengan Yesus Kristus.
Penggunaan patung, lukisan, elemen artistik lainnya bagi umat Katolik adalah untuk membantu mengingat seseorang atau sesuatu yang digambarkannya. Sama seperti seseorang mengingat ibunya dengan melihat fotonya, demikian juga umat Katolik mengingat Yesus, Maria dan orang kudus lainnya dengan melihat patung/ gambar mereka. (Lagipula, Yesus sendiri sebagai Sang Putera Allah telah menjadi manusia, sehingga Yesus sendiri telah menjadi ‘gambaran Allah yang nyata.’ (lihat Kol 1:15) Karena itu, dengan kedatangan Yesus ke dunia, Allah yang tak kelihatan menjadi kelihatan, Allah yang dalam Perjanjian Lama dilarang untuk digambarkan, maka di Perjanjian Baru malah dinyatakan sebagai ‘gambar hidup’ di dalam diri Yesus. Jadi Yesus memperbaharui ‘tata gambar’ tentang Allah, sebab Ia adalah gambaran Allah sendiri.[4]) Renungkanlah ini: Jika di rumah kita memasang gambar/ foto keluarga kita, mengapakah kita tidak boleh memasang gambar/foto Tuhan yang kita sayangi? Gambar/ patung Tuhan Yesus dipasang tidang untuk disembah, tetapi hanya untuk mengingatkan kita tentang betapa istimewanya Ia di dalam hidup kita.
2. Umat Katolik juga menggunakan image/gambar/patung sebagai sarana pengajaran, seperti yang diterapkan juga oleh umat Kristen lain terutama dalam mengajar anak-anak di sekolah minggu, seperti: menerangkan siapa Tuhan Yesus, mukjijat yang dibuatNya, dll dengan gambar-gambar. (Kita mengetahui bahwa masalah ‘buta huruf’ baru dapat dikurangi secara signifikan di Eropa pada abad ke-12; bahkan untuk negara-negara Asia dan Afrika baru pada abad 19/20. Jadi tentu selama 12 abad, bahkan lebih, secara khusus, gambar-gambar dan patung mengambil peran untuk pengajaran iman, karena praktis, mayoritas orang pada saat itu tidak dapat membaca! Penggunaan gambar/ patung untuk maksud pengajaran ini tentu bukan berhala, karena mereka akhirnya malah menuntun orang beriman kepada Tuhan. Hal serupa terjadi waktu kita pertama kali mengajar anak-anak kecil mengenali benda-benda tertentu. Kita membuat/ menunjukkan pada mereka gambar-gambar sederhana, seperti apel, ikan, rumah, dst. Tentu saja hal ini tidak bertentangan dengan perintah Tuhan. Jadi membuat gambar yang menyerupai sesuatu di sekitar kita bukan merupakan dosa asal kita tidak menyembah gambar- gambar itu).
3. Umat Katolik juga menggunakan hal tersebut dalam kesempatan tertentu, sama seperti umat Kristen pada umumnya mempunyai patung-patung kandang natal, gambar peristiwa natal, atau mengirim kartu natal bergambar pada hari natal. (Jika membuat segala gambar/ patung yang menyerupai segala sesuatu dianggap dosa, apakah berarti kebiasaan mengirimkan kartu Natal dan menghias pohon Natal dengan kandang Natal, adalah dosa? Jika ya berarti bahkan menonton TV pun adalah dosa, melihat segala buku bergambar adalah dosa, menggambar/ melukis adalah dosa, karena semua objeknya adalah segala sesuatu yang ‘menyerupai apapun yang di langit dan di bumi’).
Kesimpulan
Jadi, Tuhan memang melarang pemujaan terhadap image/gambaran/patung, tetapi Ia tidak melarang pembuatan image/ gambaran tersebut secara umum. Seandainya Ia melarangnya, maka film, televisi, video, foto, lukisan, kartu natal bergambar, uang, ataupun gambar-gambar lainya akan juga dilarang, karena semua itu mengandung unsur image/ gambaran yang menyerupai sesuatu di bumi atau di atas bumi….(lihat Kel 20:4) Karena itu, Gereja Katolik melihat ayat ke-4 ini sebagai kelanjutan dari ayat ke-3, yaitu, agar jangan kita membuat gambar/ patung untuk disembah sebagai allah lain di hadapan Allah.
Dengan demikian sebenarnya menjadi sangat jelas bahwa baik umat Katolik maupun umat Kristen lainnya hanya memuja Tuhan yang satu dan sama, dan sama-sama menentang penyembahan patung berhala.
Kami yakin bahwa masih ada perbedaan-perbedaan yang ada dalam pengajaran Katolik dan Kristen Protestan. Alangkah baiknya jika kita masing-masing mau mengerti dasar-dasar atau latar belakang alkitabiah dan ajaran Gereja yang mendasari pengajaran tersebut untuk mengetahui kebenaran itu sendiri. Janganlah kita lupa bahwa di antara kita lebih banyak persamaannya dari pada perbedaannya.
Akhirnya, kami mengucapkan salam hangat kami untuk Bapak Pendeta dan seluruh jemaat Bapak. Semoga kasih Tuhan Yesus selalu mengikat kita semua sebagai satu saudara.
Salam dalam damai Kristus,
Ingrid Listiati & Wijoyo Tay
Penutup
Surat ini saya kirimkan kepada Bapak Pendeta tersebut. Nama dan alamat bapak Pendeta tersebut sengaja tidak saya cantumkan di sini karena saya pandang tidak perlu, karena yang terpenting adalah isi dari surat tersebut, untuk kita renungkan bersama. Kesaksian serupa ini mungkin dapat pula saudara/i alami dengan situasi yang berbeda, dan saya berharap artikel ini dapat sedikit membantu. Di atas semua itu, ingatlah bahwa kita harus selalu siap untuk menjelaskan iman kita, namun harus selalu dengan kelemah-lembutan dan hormat (lih. 1Pet 3:15).
Perlu kita ingat di sini bahwa berhala yang lebih ‘berbahaya’ sekarang adalah bukan terbatas hanya patung, tetapi segala ciptaan yang kita anggap lebih utama dari Tuhan, misal, uang, TV, pekerjaan, kedudukan, kecantikan, koleksi barang antik, main game, dst., yang menggeserkan peran Tuhan di dalam hidup kita, dan yang menyita waktu kita sampai tidak ada waktu untuk ke gereja, berdoa dan membaca sabda-Nya. Hal ini malah lebih nyata pada jaman sekarang, ketimbang hal membuat patung lembu tuangan (lih. Ul 9:16), namun prinsipnya sama, yaitu menyembah ciptaan dan bukan Sang Pencipta.
Mari kita refleksikan, apa yang menjadi ‘patung berhala’ di dalam hidup kita, yang mengambil tempat Tuhan di hati kita. Mari kita berdoa agar Tuhan membantu kita mengangkat keterikatan kita terhadap benda-benda tersebut. Dengan demikian kita dapat mengasihi Allah dengan lebih sungguh, tidak hanya di mulut, tetapi sungguh turun sampai ke hati.
[1] Perintah kedua yang dibahas oleh Bapak Pendeta adalah “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit… di bumi … atau yang ada di dalam air di bawah bumi.”(Kel 20:4) Dalam pengajaran Gereja Katolik, perintah kedua adalah: “Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan (Kel 20:7), karena ayat ke-4 yang mengacu pada patung berhala merupakan kesatuan/kelanjutan dari perintah pertama yaitu, “Jangan ada allah lain dihadapan-Ku…”(Kel 20:3)
[2] Lihat Katekismus Gereja Katolik 2132, Penghormatan Kristen terhadap gambar tidak bertentangan dengan perintah pertama, yang melarang patung berhala. Karena ‘penghormatan yang kita berikan kepada satu gambar menyangkut gambar asli di baliknya” (Basilius Spir 18,45) dan “siapa yang menghormati gambar, menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya” (Konsili Nisea II, DS 601). Penghormatan yang kita berikan kepada gambar-gambar adalah satu ‘penghormatan yang khidmat’, bukan penyembahan; penyembahan hanya boleh diberikan kepada Allah.
[3] Lihat KGK 2130, Tetapi di dalam Perjanjian Lama, Allah sudah menyuruh dan mengizinkan pembuatan patung, yang sebagai lambang harus menunjuk kepada keselamatan dengan perantaraan Sabda yang menjadi manusia: sebagai contoh, ular tembaga (bdk Bil 21:4-9; Keb 16-5-14, Yoh 3:14-15), tabut perjanjian dan kerub (bdk. Kel 25:10-22; 1 Raj 6:23-28; 7:23-26).
[4] Lihat KGK 2131, …Dengan penjelmaan menjadi manusia, Putera Allah membuka satu “tata gambar” yang baru.
Senin, 08 Juni 2009
Sejarah yang Mendasari Pengajaran tentang Ekaristi
Pendahuluan
Pernahkah anda mendengar komentar bahwa Ekaristi itu hanya ‘karangan’ Gereja Katolik? Atau bahwa Kristus tak sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi? Atau beberapa orang mengklaim bahwa mereka kembali ke pengajaran yang murni dari para rasul untuk memperbaharui iman Kristen? Jika kita mendengar komentar-komentar semacam ini, tak usah kita menjadi resah. Sebab jika mereka dengan sungguh- sungguh tulus mempelajari Kitab Suci, dan dengan konsisten mempelajari sejarah dan tulisan para Bapa Gereja, seharusnya mereka tak bisa berdalih, sebab semua itu malah semakin memberikan bukti yang kuat terhadap kemurnian ajaran Gereja Katolik. Ya, salah satu yang terpenting di antaranya adalah kehadiran Yesus dalam Ekaristi (the Real Presence of Jesus in the Eucharist).
Kesaksian dari Para Bapa Gereja
Sesungguhnya kita harus berterima kasih kepada para Bapa Gereja karena oleh kesaksian dan tulisan mereka, kita terhubung dengan jemaat Kristen awal dan bahkan sampai ke jaman para rasul. Mereka adalah saksi yang hidup tentang pengajaran para rasul, dan mereka juga memberi kesaksian tentang para pengarang Alkitab dan keaslian kitab-kitab yang tergabung di dalamnya. Tanpa kesaksian mereka yang mengenal para rasul tersebut secara langsung, kita tidak dapat memperoleh Alkitab. Tanpa kesaksian mereka, kita tidak tahu bahwa Injil Matius ditulis oleh Rasul Matius, dan Injil Markus oleh Markus, dst, sebab di dalam Injil tersebut nama pengarangnya tidak disebut. Demikian pula halnya dengan surat-surat Rasul Paulus. Maka, kita tidak dapat mengacuhkan kesaksian para Bapa Gereja di abad awal ini, sebab mereka menjembatani kita kepada Kristus dan para rasul.
Menarik jika kita membaca tulisan Kardinal Newman, dalam pencariannya sebelum ia menjadi Katolik. Sebagai seorang Anglikan, ia pertama-tama bermaksud menyelidiki sejarah untuk membuktikan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh Gereja Katolik. Namun akhirnya malah ia menemukan kenyataan yang sebaliknya, bahwa pengajaran Gereja Katolik sungguh berakar dari sejarah perkembangan iman umat Kristen awal. Demikianlah yang dituliskan dalam bukunya yang terkenal itu, Essay on the Development of Christian Doctrine (1845)[berikut ini adalah kutipannya]:
“Sejarah Kekristenan bukanlah Protestanism. Jika ada yang namanya kebenaran yang aman, inilah dia. Dan Protestanism juga merasakan hal ini… Ini terlihat dalam keyakinan … untuk membuang semua sejarah kekristenan, dan membentuk Kekristenan dari Alkitab saja: orang-orang tidak akan pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”[1]
Bukti kehadiran Yesus dalam Ekaristi menurut Para Bapa Gereja
Sebenarnya, setiap doktrin Gereja Katolik telah dapat ditemukan dalam tulisan para Bapa Gereja sejak abad-abad awal, seperti, Misa Kudus sebagai kurban syukur, kepemimpinan rasul Petrus dan para penerusnya, doa syafaat para orang kudus, devosi kepada Bunda Maria, dan tentang topik yang sedang kita bahas ini, yaitu kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Mari kita melihat beberapa bukti ini:
1) St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:
a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”[2]
b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”[3].
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[4]
2) St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”[5]
3) St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”[6]
4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”[7]
5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah roti dibuat tidak dari saru butir gandum, melainkan banyak butir? Namun demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi roti]”[8]
Melalui pengajaran para Bapa Gereja ini, kita mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dan, maksudnya Ekaristi itu diberikan supaya kita belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yang ditandai dengan kesatuan kita dengan dengan para pemimpin Gereja, yaitu uskup, imam dan diakon. Iman sedemikian sudah berakar sejak jemaat awal, dan ini dibuktikan, terutama oleh kesaksian St. Ignatius dari Antiokhia yang mendapat pengajaran langsung dari Rasul Yohanes. Jangan lupa, Rasul Yohanes adalah yang paling jelas mengajarkan tentang Roti Hidup pada Injilnya (lihat Yoh 6). Jadi walaupun doktrin Transubtantion baru dimaklumkan pada abad 13 yaitu melalui Konsili Lateran ke 4 (1215), Konsili Lyons (1274) dan disempurnakan di Konsili Trente (1546), namun akarnya diperoleh dari pengajaran Bapa Gereja sejak abad awal. Prinsipnya adalah: roti dan anggur, setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Karena itu, walaupun rupa luarnya berupa roti dan anggur, namun hakekatnya sudah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh kesatuan dengan Tubuh yang satu ini, maka kita yang walaupun banyak menjadi satu.
Bukti sejarah
Maka kita dapat melihat bahwa sebelum masa Reformasi Protestan, semua umat Kristen percaya dan mengimani kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. Maka beberapa gereja yang memisahkan diri dengan Gereja Katolik sebelum masa itu, sebagai contohnya, Nestorianism, Armenianism, gereja Coptic (abad ke -5), gereja-gereja Orthodox (abad ke-11), tetap mempercayai doktrin kehadiran Kristus dalam Ekaristi tersebut.[9]
Jika sekarang ada orang berkata bahwa doktrin tentang kehadiran Yesus dalam rupa roti dan anggur itu sepertinya tidak mungkin, maka sesungguhnya sejak zaman jemaat awalpun, banyak orang yang juga berpendapat demikian. Hal ini dituliskan di Alkitab, yaitu bahwa sejak saat Yesus mengajarkan hal Roti Hidup ini, banyak orang tidak percaya dan meninggalkan Dia (lih Yoh 6: 60). Tentu, jika maksud Yesus hanya mengajarkan bahwa roti itu hanya melambangkan Tubuh-Nya dan anggur itu hanya melambangkan Darah-Nya, Ia tentu dapat mengatakan demikian, “Di dalam roti ini adalah Tubuh-Ku”, atau “Roti ini adalah Tubuh-Ku.” Namun Yesus tidak berkata demikian, sebab Ia dengan jelas berkata, “Inilah Tubuh-Ku” (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19). Maka, Tradisi Gereja Katolik mengartikan ayat ini secara literal bahwa maksud Yesus adalah: “Ini, substansi ini, yang tadinya roti, sekarang menjadi Tubuh-Ku.”
Banyak dari para pengikut Kristus sejak awal menganggap perkataan-Nya ini sulit dimengerti. Namun faktanya, walaupun demikian, Gereja Katolik tetap memegang teguh ajaran ini selama banyak generasi. Ini adalah suatu bukti yang kuat bahwa ajaran ini berasal dari Allah sendiri, sebab jika tidak, ajaran ini tidak mungkin langgeng dan tidak mungkin dipercayai oleh umat yang tersebar di seluruh dunia.
Bukti dari Mukjizat Ekaristi
Gereja mencatat begitu banyak mukjizat Ekaristi yang terjadi,[10] namun mari kita melihat mukjizat yang paling terkenal, yaitu mukjizat yang terjadi di Lanciano, Italia, pada abad ke-8. Saat itu sekitar tahun 700, seorang imam Basilian pada sebuah biara di Lanciano meragukan ajaran bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Maka suatu hari, pada saat mempersembahkan Misa Kudus, saat ia selesai mengucapkan perkataan Konsekrasi, tiba-tiba hosti itu berubah menjadi sebuah lingkaran daging dan anggur itu menjadi darah. Sang imam menjadi sangat terkejut, bahwa Tuhan telah secara ajaib menjawab segala keraguannya. Sampai sekarang, potongan daging dan darah [sekarang berupa gumpalan darah kering] ditahtakan dan dapat dilihat di dalam gereja itu. Saya berkesempatan menyaksikan sendiri bukti mukjizat ini, saat saya berziarah ke Lanciano pada tahun 2000.
Mukjizat ini telah berkali-kali diperiksa, dan tidak ada tanda-tanda pemalsuan. Paus Paulus VI memperbolehkan agar diadakan penyelidikan ilmiah terhadap kedua species itu pada tahun 1970-1971, dan tahun 1981 (sertifikat pemeriksaannya ada terpajang di sana), oleh beberapa orang dokter Italia dengan menggunakan alat-alat yang canggih.[11] Mereka menyimpulkan bahwa potongan daging itu adalah benar-benar daging manusia, dan demikian juga dengan darah tersebut. Daging tersebut berasal dari irisan hati manusia (myocardium), dan darahnya bertipe AB, dan mengandung segala protein yang terdapat pada darah segar manusia. Dan ajaibnya, walaupun daging dan darah tersebut telah dipajang selama 1300 tahun, terkena kontak langsung dengan udara, tanpa zat pengawet sekalipun, keduanya tetap tidak rusak secara biologis. (Silakan melihat gambar berikut ini)
Lanciano-1a Lanciano-2 Lanciano-4
Perbandingan Doktrin Ekaristi menurut Gereja Katolik, Luther, Calvin dan Zwingli.
Gereja Katolik, mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja, mengajarkan apa yang disebut sebagai Transubstansiasi, yaitu, pada saat selesainya diucapkan konsekrasi, substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, walaupun rupa luarnya tetap sebagai roti dan anggur. Jadi prinsipnya:
1) Saat konsekrasi, pada saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka Kristus pada saat itu sungguh-sungguh hadir secara nyata dengan Tubuh dan Darah-Nya pada species roti dan anggur itu. Itulah sebabnya kita harus dengan penuh hormat menyambutNya. Itu pulalah sebabnya kita menghormati Sakramen Maha Kudus, sebab kita percaya bahwa hosti yang telah dikonsekrasikan itu sudah bukan hosti lagi tetapi sungguh-sungguh Tubuh Kristus.
2) Oleh sebab itu dikatakan bahwa Misa Kudus adalah kurban Kristus, yang dilakukan oleh Gereja, untuk memperingati pengorbanan-Nya sesuai dengan pesan-Nya. Pada saat misa, Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi korban penebus dosa kita manusia.[12]
3) Maka setelah konsekrasi, hanya substansi roti dan anggur-nya saja yang berubah, sedangkan accidents/ penampilan luarnya tetap. Untuk mengerti konsep ini memang diperlukan pengertian filosofis, yaitu bahwa pada setiap benda, kita mengenal adanya substansi dan accidents. Misalnya, hakekat kita manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri tubuh dan jiwa, yang punya ratio dan kehendak bebas, sedangkan accidents-nya adalah warna kulit, bangsa, tinggi/ berat badan, dst. Jika kita mencampur adukkan kedua hal ini (substansi dan accidents) maka akan sulit bagi kita untuk memahami konsep Transubstansiasi ini. Sebab setelah transubsansiasi, maka yang nampak sebagai hosti sudah bukan hosti lagi, karena substansinya telah berubah menjadi Tubuh Kristus, sedangkan accidents-nya tetap sama, yaitu dalam rupa roti dan anggur.
Martin Luther (1483-1546) tidak membedakan antara substansi dan accidents, maka ia mengajarkan konsep kehadiran Yesus yang disebut sebagai Consubstantion/ Companation. Ia mengatakan bahwa setelah didoakan dengan Sabda Tuhan, maka Kristus hadir secara nyata di dalam roti dan anggur itu bersamaan dengan roti dan anggur itu sendiri. Jadi, menurut Luther, pada roti itu adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan Darah Kristus, tetapi juga tetap roti dan anggur biasa. Dalam hal ini, Luther tidak mengartikan ayat, “Inilah Tubuh-Ku” secara literal [padahal pada umumnya ia sangat mementingkan arti literal Alkitab]. Sebaliknya, ia mengartikannya secara figuratif, seolah Yesus mengatakan, “Di dalam dan bersama roti ini adalah Tubuh-Ku”. Maka, dengan kata lain, Luther mengartikan bahwa dalam benda yang sama itu substansinya ada dua: roti sekaligus Tubuh Kristus; dan anggur sekaligus juga Darah Kristus.
Luther berpendapat demikian karena ia mengambil analogi Inkarnasi, yaitu bahwa Tuhan Yesus mengambil rupa manusia, dan karena Ke-Tuhanan-Nya yang omnipresent, maka kemanusiaan-Nya juga dapat hadir di mana-mana, yang dikenal sebagai ubiquitism. Semoga tidak ada yang tersinggung jika kita mengatakan, bahwa sesungguhnya pengajaran ini sulit diterima akal, karena itu sama saja mengatakan bahwa kehadiran-Nya dalam hosti kudus, sama saja dengan kehadiran-Nya dalam semua makanan dan benda-benda yang lain.[13] Ajaran ini sepertinya mencampur-adukkan hal yang suci dan yang profan, antara sakramen dan yang bukan sakramen. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan self-evident principle, (prinsip yang tak perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu “sesuatu tidak dapat menjadi dan tidak menjadi dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.”
Mungkin karena sulitnya prinsip ini diterima secara umum, maka terdapat banyak pendapat yang saling bertentangan bahkan di kalangan gereja-gereja Protestan sendiri. Kita melihat posisi ekstrim yang dianut oleh Ulrich Zwingli (1483- 1531), yaitu bahwa Yesus tidak mungkin hadir secara nyata (bodily/ real prensence) di dalam Ekaristi [mereka menyebutnya Perjamuan/the Lord’s Supper]. Maka roti dan anggur menurut Zwingli hanyalah simbol saja, sebagai tanda akan Tubuh Kristus, dan tanda akan Darah-Nya. Posisi Zwingli ini tidak bisa menjelaskan Sabda yang dikatakan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku”, sebab ia mengartikannya sebagai, “Ini adalah simbol Tubuh-Ku”, yang tentu saja tidak sesuai dengan teks Alkitab.
John Calvin (1509- 1564) kemudian mengambil jalan tengah antara Luther dan Zwingli, dengan mengatakan bahwa kehadiran Yesus di dalam rupa roti dan anggur itu merupakan kehadiran yang nyata, namun hanya spiritual, bukan secara badani. Jadi roti itu bukan sungguh-sungguh Tubuh Yesus, dan anggur itu bukan Darah Yesus, namun Yesus secara spiritual hadir di dalamnya.[14] Maka bagi Calvin, komuni bukanlah persatuan dengan Tubuh Kristus secara literal, tetapi hanya secara spiritual dengan iman. Oleh karena itu, Calvin serupa dengan Melancthon, murid Luther, yang mengatakan bahwa, kehadiran Kristus tidak tergantung dari perkataan konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang bicara atas nama Kristus, melainkan tergantung dari iman pribadi yang menerima komuni. Sebenarnya, jika kita kembali kepada teks Alkitab, kita tidak dapat menemukan dasar bahwa kehadiran Yesus ‘tergantung dari iman pribadi yang menerimanya’. Sebab Yesus hanya berkata dengan jelas dan sederhana, “Inilah Tubuh-Ku…” Dan Gereja Katolik percaya bahwa Sabda-Nya yang berkuasa membuat-Nya menjelma menjadi manusia (lih Yoh 1:14), juga berkuasa mengubah substansi roti itu menjadi Tubuh-Nya. Maka setelah konsekrasi, sepanjang roti itu berupa roti, dan belum terurai menjadi rupa yang lain (rusak secara natural, atau dicerna tubuh manusia), maka Yesus hadir secara nyata oleh kuasa Roh Kudus-Nya.
Selanjutnya, Luther dan Calvin tidak menganggap Ekaristi (the Lord’s Supper/ Perjamuan Kudus) pertama-tama sebagai kurban peringatan dan pernyataan iman akan Misteri Paska Kristus. Karena doktrin “sola fide” (hanya iman saja) yang mereka anut, maka mereka cenderung menganggap Misa yang dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai ‘perbuatan’ manusia. Mereka tidak melihat bahwa Ekaristi, yang walaupun melibatkan umat namun pertama-tama adalah perbuatan nyata Kristus sebagai Kepala dengan kesatuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yang oleh kuasa Roh Kudus-Nya yang melintasi batas ruang dan waktu, mampu menghadirkan kembali kurban salib-Nya untuk mendatangkan buah-buahnya kepada Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Maka, bagi Calvin, Perjamuan Kudus tersebut pertama-tama merupakan pernyataan kasih Tuhan.[15] Gereja Katolik tidak menyangkal bahwa Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan, namun Gereja Katolik juga melihat bahwa hal ini tidak terlepas dengan perbuatan Kristus yang mengikutsertaan anggota-anggota Tubuh-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh-Nya sebagai Kepala. Dalam Misa, Yesus menjalankan peran-Nya sebagai Pengantara yang tunggal antara Allah dan manusia; dengan mengucapkan syukur kepada Allah Bapa dalam kuasa Roh Kudus, dan pada saat yang sama, menjadi kurban dan Imam Agung untuk menyalurkan rahmat pengampunan dosa demi keselamatan kita. Sebab sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi agar kita beroleh hidup yang kekal (lih. Yoh 6:54); dan agar kita mengenang-Nya dengan cara demikian sampai kedatangan-Nya kembali (1 Kor 11:26). Maka, adanya Ekaristi, adalah pertama-tama karena rahmat Kristus, yang mengundang kita untuk mengambil bagian di dalam-Nya, dan karena itu, Misa bukan ‘perbuatan’ kita semata-mata.
Konsili Trente
Gereja Katolik melalui Konsili Trente (1564) menolak posisi Luther maupun Calvin, dengan menetapkan sebagai berikut:
Session 13, kanon 2, [menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang keliru]: “Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi: biarlah dia menjadi anathema.”[16]
Session 13, kanon 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.”
DS 1743, Session 22, bab 2, [menyatakan kesamaan kurban Ekaristi dengan kurban salib Kristus]: “Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik yang disusun untuk menjabarkan doktrin dengan semangat Konsili tersebut mengajarkan pentingnya Ekaristi dalam kehidupan umat beriman, karena di dalamnya terkandung seluruh ‘harta’ spiritual Gereja, yaitu Kristus sendiri. Oleh karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai “sumber dan puncak kehidupan Kristiani”.[17]
KGK 1324 Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (LG 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita” (PO 5).
KGK 1375 Kristus hadir di dalam Sakramen ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya. Bapa-bapa Gereja menekankan dengan tegas iman Gereja, bahwa Sabda Kristus dan kuasa Roh Kudus bekerja begitu kuat, sehingga mereka dapat melaksanakan perubahan ini. Santo Yohanes Krisostomus menjelaskan:
“Bukan manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk kita. Imam yang mewakili Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya kerjanya dan rahmat datang dari Allah. Inilah tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu” (prod. Jud. 1,6).
Dan santo Ambrosius mengatakan tentang perubahan ini:
“Di sini terdapat sesuatu yang tidak dibentuk alam, tetapi yang dikonsekrir dengan berkat, dan daya guna berkat itu melampaui kodrat, malahan kodrat itu sendiri diubah melalui berkat… Bukankah Kristus, yang dapat menciptakan yang belum ada dari ketidakadaan, dapat mengubah yang ada ke dalam sesuatu, yang sebelumnya tidak ada? Menciptakan hal baru, tidak lebih gampang daripada mengubah kodrat” (myst. 9,50,52).
KGK 1376 Konsili Trente menyimpulkan iman Katolik, dengan menjelaskan: “Karena Kristus Penebus kita mengatakan bahwa apa yang Ia persembahkan dalam rupa roti adalah benar-benar tubuh-Nya, maka di dalam Gereja Allah selalu dipegang teguh keyakinan ini, dan konsili suci ini menjelaskannya kembali: oleh konsekrasi roti dan anggur terjadilah perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi tubuh Kristus, Tuhan kita, dan seluruh substansi anggur ke dalam substansi darah-Nya. Perubahan ini oleh Gereja Katolik dinamakan secara tepat dan dalam arti yang sesungguhnya perubahan hakiki [transsubstansiasi]” (DS: 1642).
KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus Bdk. Konsili Trente: DS 1641.
KGK 1396 Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 12:13).
Kesimpulan
Dari melihat uraian di atas, maka kita melihat betapa doktrin Ekaristi (kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya karena Transubstansiasi) yang diajarkan oleh Gereja Katolik mempunyai dasar yang teguh, sebab telah berakar dari Tradisi para rasul dan para Bapa Gereja. Jika pengertian kita tidak demikian, maka itu sama saja kita menilai bahwa para rasul dan para Bapa Gereja dan seluruh Gereja itu selama berabad- abad telah ‘salah pengertian’. Mungkin inilah yang ada di pikiran para Reformer seperti Luther, Calvin, Zwingli, dst. Tetapi akibatnya, begitu mereka menginterpretasikan sendiri ayat Alkitab dan beberapa perkataan Bapa Gereja tanpa melihat konteksnya, maka akhirnya mereka bertentangan sendiri, karena memegang pengertian yang berbeda-beda. Ironinya, mereka sama-sama meng-klaim bahwa mereka mengartikan ayat Alkitab yang sama, yaitu perkataan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku…” Mari kita berhenti sejenak, dan merenungkan ayat tersebut. Biarlah dengan kesederhanaan iman dan kerendahan hati, kita dapat percaya dan mengimani, bahwa memang Kristuslah yang mengubah apa yang nampak sebagai roti itu menjadi sungguh-sungguh Tubuh-Nya sendiri, sehingga yang dipegang-Nya itu bukan roti lagi, walaupun rupanya tetap roti. Kuasa mengubah roti menjadi anggur ini tidak diberikan kepada semua orang, tetapi hanya kepada para rasul-Nya, yang kemudian diteruskan kepada para penerus mereka, yaitu, para imam-Nya melalui tahbisan suci. Dengan demikian Ekaristi juga berkaitan dengan Tahbisan Suci. Tangan-tangan yang telah diurapilah yang diberi kuasa Roh Kudus untuk bertindak atas nama Kristus, untuk melakukan mukjizat yang sangat agung ini.
Karena betapa agungnya makna persatuan kita dengan Kristus dalam Komuni kudus, maka sebelum menyambut-Nya kita harus mempersiapkan diri. Betapa dalamnya makna persatuan itu, sehingga harus merupakan kesatuan total: yaitu kesatuan dengan keseluruhan Tubuh Mistik Kristus yang ada di dalam Gereja Katolik di bawah pimpinan pengganti Rasul Petrus. Inilah sebabnya tidak sembarang orang dapat menyambut Tubuh Kristus, walaupun ia mengimani bahwa roti itu sungguh telah diubah menjadi Tubuh-Nya. Sebab masih ada makna lagi yang harus diimani, yaitu apakah ia mengimani Gereja Kristus yang ada dalam Gereja Katolik yang didirikan di atas Petrus (cf. Mat 16:18).
Kita sebagai orang Katolik sepantasnya bersyukur, bahwa kita memiliki Magisterium,[18]yang dengan setia meneruskan pengajaran Kristus yang otentik, terutama untuk pengajaran tentang Ekaristi ini. Kristus telah mengetahui, bahwa tanpa jaminan ‘tak mungkin salah’ (infallibility) yang diberikan kepada pemimpin Gereja-Nya, maka manusia cenderung mengartikan sendiri pengajaran-Nya yang dapat mengakibatkan perpecahan umat. Maka, Kristus memberikan kuasa ‘tidak mungkin salah’ (infallibility)[19] kepada Bapa Paus agar pengajaranNya dapat dilestarikan dengan murni. Inilah sebabnya, kita dapat dengan teguh mengimani doktrin Ekaristi, sebab kita yakin itu berasal dari Kristus sendiri. Selanjutnya, mari kita berdoa agar semakin hari kita semakin dapat menghayati kedalaman misteri kasih Tuhan yang dinyatakan melalui kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan cara Allah mengasihi kita. Sekarang tergantung kita, maukah kita belajar memahami dan menghayati cara Tuhan mengasihi kita, ataukah kita lebih memilih cara kita sendiri untuk merasakan kasih Tuhan?
[1] John Henry Cardinal Newman, Essay on the Development of Christian Doctrine (Notre Dame, Indiana: Notre Dame Press, 1989), p. 7-8.
[2] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Romans, 7.
[3] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans 6, 2
[4] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Philadelphians, 4
[5] St. Yustinus Martir, First Apology 66, 20.
[6] St. Irenaeus, Against Heresy, 5, 2, 2.
[7] St. Cyril of Jerusalam, Catechetical Lectures: 22 (Mystagogic 4), 6
[8] St. Agustinus, Sermons, no. 227, ML 38, 1099, FC XXXVIII, 195-196.
[9] Lihat Father Frank Chacon and Jim Burnham, Beginning Apologetics 3, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM), p. 22.
[10] Lihat buku karangan Joan Carroll Cruz, Eucharistic Miracles (Rockford. Illinois: TAN Books, 1987).
[11] In 1970-’71 and taken up again partly in 1981 there took place a scientific investigation by the most illustrius scientist Prof. Odoardo Linoli, eminent Professor in Anatomy and Pathological Histology and in Chemistry and Clinical Microscopy. He was assisted by Prof. Ruggero Bertelli of the University of Siena. The analyses were conducted with absolute and unquestionable scientific precision and they were documented with a series of microscopic photographs. These analyses sustained the following conclusions (see more on this link, please click here)
* The Flesh is real Flesh. The Blood is real Blood.
* The Flesh and the Blood belong to the human species.
* The Flesh consists of the muscolar tissue of the heart.
* In the Flesh we see present in section: the myocardium, the endocardium, the vagus nerve and also the left ventricle of the heart for the large thickness of the myocardium.
* The Flesh is a “HEART” complete in its essential structure.
* The Flesh and the Blood have the same blood-type: AB (Blood-type identical to that which Prof. Baima Bollone uncovered in the Holy Shroud of Turin).
* In the Blood there were found proteins in the same normal proportions (percentage-wise) as are found in the sero-proteic make-up of the fresh normal blood.
* In the Blood there were also found these minerals: chlorides, phosphorus, magnesium, potassium, sodium and calcium.
* The preservation of the Flesh and of the Blood, which were left in their natural state for twelve centuries and exposed to the action of atmospheric and biological agents, remains an extraordinary phenomenon.
In conclusion, it may be said that Science, when called upon to testify, has given a certain and thorough response as regards the authenticity of the Eucharistic Miracle of Lanciano.
[12] Dalam Misa, Kurban Yesus yang satu-satunya dan sama ini dikorbankan dengan cara berbeda; tidak lagi dengan cara berdarah secara fisik seperti yang terjadi di kayu salib (lihat KGK 1367).
[13] Menurut Fr. Chacon, Ibid., p. 6, Gereja Katolik sebaliknya, membedakan bahwa ada 3 macam kehadiran Yesus: 1) Kehadiran Yesus secara natural di mana-mana sebagai Tuhan, melalui pengetahuan-Nya, kuasa-Nya dan esensi-Nya; 2) Kehadiran Yesus secara spiritual dalam setiap orang yang berada dalam keadaan berdamai dengan Tuhan (in the state of grace); 3) Kehadiran Yesus secara substansial berupa Tubuh dan Darah-Nya, di dalam Ekaristi.
[14] Disarikan dari buku Louis Berkhof, Systematic Theology, New Combined Edition, (William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, UK) p. 646.
[15] Ibid., p.646.
[16] Anathema, yang sering diterjemahkan sebagai ‘terkutuk’, namun maksud harafiahnya adalah pemisahan (‘cutting-off’, ‘separation’) untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidak dianggap sebagai anggota kawanan.
[17] KGK 1324, Lumen Gentium 11
[18] Magisterium dipegang oleh Bapa Paus sebagai penerus Rasul Petrus dan para Uskup pembantunya yang dalam kesatuan dengan dia.
[19] Menurut Lumen Gentium 25, Kuasa ‘tidak mungkin salah’, yang diberikan Yesus kepada Bapa Paus ini (infallibility) hanya berkenaan dengan pengajaran Bapa Paus secara definitive mengenai hal iman dan moral.
Pernahkah anda mendengar komentar bahwa Ekaristi itu hanya ‘karangan’ Gereja Katolik? Atau bahwa Kristus tak sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi? Atau beberapa orang mengklaim bahwa mereka kembali ke pengajaran yang murni dari para rasul untuk memperbaharui iman Kristen? Jika kita mendengar komentar-komentar semacam ini, tak usah kita menjadi resah. Sebab jika mereka dengan sungguh- sungguh tulus mempelajari Kitab Suci, dan dengan konsisten mempelajari sejarah dan tulisan para Bapa Gereja, seharusnya mereka tak bisa berdalih, sebab semua itu malah semakin memberikan bukti yang kuat terhadap kemurnian ajaran Gereja Katolik. Ya, salah satu yang terpenting di antaranya adalah kehadiran Yesus dalam Ekaristi (the Real Presence of Jesus in the Eucharist).
Kesaksian dari Para Bapa Gereja
Sesungguhnya kita harus berterima kasih kepada para Bapa Gereja karena oleh kesaksian dan tulisan mereka, kita terhubung dengan jemaat Kristen awal dan bahkan sampai ke jaman para rasul. Mereka adalah saksi yang hidup tentang pengajaran para rasul, dan mereka juga memberi kesaksian tentang para pengarang Alkitab dan keaslian kitab-kitab yang tergabung di dalamnya. Tanpa kesaksian mereka yang mengenal para rasul tersebut secara langsung, kita tidak dapat memperoleh Alkitab. Tanpa kesaksian mereka, kita tidak tahu bahwa Injil Matius ditulis oleh Rasul Matius, dan Injil Markus oleh Markus, dst, sebab di dalam Injil tersebut nama pengarangnya tidak disebut. Demikian pula halnya dengan surat-surat Rasul Paulus. Maka, kita tidak dapat mengacuhkan kesaksian para Bapa Gereja di abad awal ini, sebab mereka menjembatani kita kepada Kristus dan para rasul.
Menarik jika kita membaca tulisan Kardinal Newman, dalam pencariannya sebelum ia menjadi Katolik. Sebagai seorang Anglikan, ia pertama-tama bermaksud menyelidiki sejarah untuk membuktikan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh Gereja Katolik. Namun akhirnya malah ia menemukan kenyataan yang sebaliknya, bahwa pengajaran Gereja Katolik sungguh berakar dari sejarah perkembangan iman umat Kristen awal. Demikianlah yang dituliskan dalam bukunya yang terkenal itu, Essay on the Development of Christian Doctrine (1845)[berikut ini adalah kutipannya]:
“Sejarah Kekristenan bukanlah Protestanism. Jika ada yang namanya kebenaran yang aman, inilah dia. Dan Protestanism juga merasakan hal ini… Ini terlihat dalam keyakinan … untuk membuang semua sejarah kekristenan, dan membentuk Kekristenan dari Alkitab saja: orang-orang tidak akan pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”[1]
Bukti kehadiran Yesus dalam Ekaristi menurut Para Bapa Gereja
Sebenarnya, setiap doktrin Gereja Katolik telah dapat ditemukan dalam tulisan para Bapa Gereja sejak abad-abad awal, seperti, Misa Kudus sebagai kurban syukur, kepemimpinan rasul Petrus dan para penerusnya, doa syafaat para orang kudus, devosi kepada Bunda Maria, dan tentang topik yang sedang kita bahas ini, yaitu kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Mari kita melihat beberapa bukti ini:
1) St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:
a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”[2]
b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”[3].
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[4]
2) St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”[5]
3) St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”[6]
4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”[7]
5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah roti dibuat tidak dari saru butir gandum, melainkan banyak butir? Namun demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi roti]”[8]
Melalui pengajaran para Bapa Gereja ini, kita mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dan, maksudnya Ekaristi itu diberikan supaya kita belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yang ditandai dengan kesatuan kita dengan dengan para pemimpin Gereja, yaitu uskup, imam dan diakon. Iman sedemikian sudah berakar sejak jemaat awal, dan ini dibuktikan, terutama oleh kesaksian St. Ignatius dari Antiokhia yang mendapat pengajaran langsung dari Rasul Yohanes. Jangan lupa, Rasul Yohanes adalah yang paling jelas mengajarkan tentang Roti Hidup pada Injilnya (lihat Yoh 6). Jadi walaupun doktrin Transubtantion baru dimaklumkan pada abad 13 yaitu melalui Konsili Lateran ke 4 (1215), Konsili Lyons (1274) dan disempurnakan di Konsili Trente (1546), namun akarnya diperoleh dari pengajaran Bapa Gereja sejak abad awal. Prinsipnya adalah: roti dan anggur, setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Karena itu, walaupun rupa luarnya berupa roti dan anggur, namun hakekatnya sudah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh kesatuan dengan Tubuh yang satu ini, maka kita yang walaupun banyak menjadi satu.
Bukti sejarah
Maka kita dapat melihat bahwa sebelum masa Reformasi Protestan, semua umat Kristen percaya dan mengimani kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. Maka beberapa gereja yang memisahkan diri dengan Gereja Katolik sebelum masa itu, sebagai contohnya, Nestorianism, Armenianism, gereja Coptic (abad ke -5), gereja-gereja Orthodox (abad ke-11), tetap mempercayai doktrin kehadiran Kristus dalam Ekaristi tersebut.[9]
Jika sekarang ada orang berkata bahwa doktrin tentang kehadiran Yesus dalam rupa roti dan anggur itu sepertinya tidak mungkin, maka sesungguhnya sejak zaman jemaat awalpun, banyak orang yang juga berpendapat demikian. Hal ini dituliskan di Alkitab, yaitu bahwa sejak saat Yesus mengajarkan hal Roti Hidup ini, banyak orang tidak percaya dan meninggalkan Dia (lih Yoh 6: 60). Tentu, jika maksud Yesus hanya mengajarkan bahwa roti itu hanya melambangkan Tubuh-Nya dan anggur itu hanya melambangkan Darah-Nya, Ia tentu dapat mengatakan demikian, “Di dalam roti ini adalah Tubuh-Ku”, atau “Roti ini adalah Tubuh-Ku.” Namun Yesus tidak berkata demikian, sebab Ia dengan jelas berkata, “Inilah Tubuh-Ku” (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19). Maka, Tradisi Gereja Katolik mengartikan ayat ini secara literal bahwa maksud Yesus adalah: “Ini, substansi ini, yang tadinya roti, sekarang menjadi Tubuh-Ku.”
Banyak dari para pengikut Kristus sejak awal menganggap perkataan-Nya ini sulit dimengerti. Namun faktanya, walaupun demikian, Gereja Katolik tetap memegang teguh ajaran ini selama banyak generasi. Ini adalah suatu bukti yang kuat bahwa ajaran ini berasal dari Allah sendiri, sebab jika tidak, ajaran ini tidak mungkin langgeng dan tidak mungkin dipercayai oleh umat yang tersebar di seluruh dunia.
Bukti dari Mukjizat Ekaristi
Gereja mencatat begitu banyak mukjizat Ekaristi yang terjadi,[10] namun mari kita melihat mukjizat yang paling terkenal, yaitu mukjizat yang terjadi di Lanciano, Italia, pada abad ke-8. Saat itu sekitar tahun 700, seorang imam Basilian pada sebuah biara di Lanciano meragukan ajaran bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Maka suatu hari, pada saat mempersembahkan Misa Kudus, saat ia selesai mengucapkan perkataan Konsekrasi, tiba-tiba hosti itu berubah menjadi sebuah lingkaran daging dan anggur itu menjadi darah. Sang imam menjadi sangat terkejut, bahwa Tuhan telah secara ajaib menjawab segala keraguannya. Sampai sekarang, potongan daging dan darah [sekarang berupa gumpalan darah kering] ditahtakan dan dapat dilihat di dalam gereja itu. Saya berkesempatan menyaksikan sendiri bukti mukjizat ini, saat saya berziarah ke Lanciano pada tahun 2000.
Mukjizat ini telah berkali-kali diperiksa, dan tidak ada tanda-tanda pemalsuan. Paus Paulus VI memperbolehkan agar diadakan penyelidikan ilmiah terhadap kedua species itu pada tahun 1970-1971, dan tahun 1981 (sertifikat pemeriksaannya ada terpajang di sana), oleh beberapa orang dokter Italia dengan menggunakan alat-alat yang canggih.[11] Mereka menyimpulkan bahwa potongan daging itu adalah benar-benar daging manusia, dan demikian juga dengan darah tersebut. Daging tersebut berasal dari irisan hati manusia (myocardium), dan darahnya bertipe AB, dan mengandung segala protein yang terdapat pada darah segar manusia. Dan ajaibnya, walaupun daging dan darah tersebut telah dipajang selama 1300 tahun, terkena kontak langsung dengan udara, tanpa zat pengawet sekalipun, keduanya tetap tidak rusak secara biologis. (Silakan melihat gambar berikut ini)
Lanciano-1a Lanciano-2 Lanciano-4
Perbandingan Doktrin Ekaristi menurut Gereja Katolik, Luther, Calvin dan Zwingli.
Gereja Katolik, mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja, mengajarkan apa yang disebut sebagai Transubstansiasi, yaitu, pada saat selesainya diucapkan konsekrasi, substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, walaupun rupa luarnya tetap sebagai roti dan anggur. Jadi prinsipnya:
1) Saat konsekrasi, pada saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka Kristus pada saat itu sungguh-sungguh hadir secara nyata dengan Tubuh dan Darah-Nya pada species roti dan anggur itu. Itulah sebabnya kita harus dengan penuh hormat menyambutNya. Itu pulalah sebabnya kita menghormati Sakramen Maha Kudus, sebab kita percaya bahwa hosti yang telah dikonsekrasikan itu sudah bukan hosti lagi tetapi sungguh-sungguh Tubuh Kristus.
2) Oleh sebab itu dikatakan bahwa Misa Kudus adalah kurban Kristus, yang dilakukan oleh Gereja, untuk memperingati pengorbanan-Nya sesuai dengan pesan-Nya. Pada saat misa, Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi korban penebus dosa kita manusia.[12]
3) Maka setelah konsekrasi, hanya substansi roti dan anggur-nya saja yang berubah, sedangkan accidents/ penampilan luarnya tetap. Untuk mengerti konsep ini memang diperlukan pengertian filosofis, yaitu bahwa pada setiap benda, kita mengenal adanya substansi dan accidents. Misalnya, hakekat kita manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri tubuh dan jiwa, yang punya ratio dan kehendak bebas, sedangkan accidents-nya adalah warna kulit, bangsa, tinggi/ berat badan, dst. Jika kita mencampur adukkan kedua hal ini (substansi dan accidents) maka akan sulit bagi kita untuk memahami konsep Transubstansiasi ini. Sebab setelah transubsansiasi, maka yang nampak sebagai hosti sudah bukan hosti lagi, karena substansinya telah berubah menjadi Tubuh Kristus, sedangkan accidents-nya tetap sama, yaitu dalam rupa roti dan anggur.
Martin Luther (1483-1546) tidak membedakan antara substansi dan accidents, maka ia mengajarkan konsep kehadiran Yesus yang disebut sebagai Consubstantion/ Companation. Ia mengatakan bahwa setelah didoakan dengan Sabda Tuhan, maka Kristus hadir secara nyata di dalam roti dan anggur itu bersamaan dengan roti dan anggur itu sendiri. Jadi, menurut Luther, pada roti itu adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan Darah Kristus, tetapi juga tetap roti dan anggur biasa. Dalam hal ini, Luther tidak mengartikan ayat, “Inilah Tubuh-Ku” secara literal [padahal pada umumnya ia sangat mementingkan arti literal Alkitab]. Sebaliknya, ia mengartikannya secara figuratif, seolah Yesus mengatakan, “Di dalam dan bersama roti ini adalah Tubuh-Ku”. Maka, dengan kata lain, Luther mengartikan bahwa dalam benda yang sama itu substansinya ada dua: roti sekaligus Tubuh Kristus; dan anggur sekaligus juga Darah Kristus.
Luther berpendapat demikian karena ia mengambil analogi Inkarnasi, yaitu bahwa Tuhan Yesus mengambil rupa manusia, dan karena Ke-Tuhanan-Nya yang omnipresent, maka kemanusiaan-Nya juga dapat hadir di mana-mana, yang dikenal sebagai ubiquitism. Semoga tidak ada yang tersinggung jika kita mengatakan, bahwa sesungguhnya pengajaran ini sulit diterima akal, karena itu sama saja mengatakan bahwa kehadiran-Nya dalam hosti kudus, sama saja dengan kehadiran-Nya dalam semua makanan dan benda-benda yang lain.[13] Ajaran ini sepertinya mencampur-adukkan hal yang suci dan yang profan, antara sakramen dan yang bukan sakramen. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan self-evident principle, (prinsip yang tak perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu “sesuatu tidak dapat menjadi dan tidak menjadi dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.”
Mungkin karena sulitnya prinsip ini diterima secara umum, maka terdapat banyak pendapat yang saling bertentangan bahkan di kalangan gereja-gereja Protestan sendiri. Kita melihat posisi ekstrim yang dianut oleh Ulrich Zwingli (1483- 1531), yaitu bahwa Yesus tidak mungkin hadir secara nyata (bodily/ real prensence) di dalam Ekaristi [mereka menyebutnya Perjamuan/the Lord’s Supper]. Maka roti dan anggur menurut Zwingli hanyalah simbol saja, sebagai tanda akan Tubuh Kristus, dan tanda akan Darah-Nya. Posisi Zwingli ini tidak bisa menjelaskan Sabda yang dikatakan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku”, sebab ia mengartikannya sebagai, “Ini adalah simbol Tubuh-Ku”, yang tentu saja tidak sesuai dengan teks Alkitab.
John Calvin (1509- 1564) kemudian mengambil jalan tengah antara Luther dan Zwingli, dengan mengatakan bahwa kehadiran Yesus di dalam rupa roti dan anggur itu merupakan kehadiran yang nyata, namun hanya spiritual, bukan secara badani. Jadi roti itu bukan sungguh-sungguh Tubuh Yesus, dan anggur itu bukan Darah Yesus, namun Yesus secara spiritual hadir di dalamnya.[14] Maka bagi Calvin, komuni bukanlah persatuan dengan Tubuh Kristus secara literal, tetapi hanya secara spiritual dengan iman. Oleh karena itu, Calvin serupa dengan Melancthon, murid Luther, yang mengatakan bahwa, kehadiran Kristus tidak tergantung dari perkataan konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang bicara atas nama Kristus, melainkan tergantung dari iman pribadi yang menerima komuni. Sebenarnya, jika kita kembali kepada teks Alkitab, kita tidak dapat menemukan dasar bahwa kehadiran Yesus ‘tergantung dari iman pribadi yang menerimanya’. Sebab Yesus hanya berkata dengan jelas dan sederhana, “Inilah Tubuh-Ku…” Dan Gereja Katolik percaya bahwa Sabda-Nya yang berkuasa membuat-Nya menjelma menjadi manusia (lih Yoh 1:14), juga berkuasa mengubah substansi roti itu menjadi Tubuh-Nya. Maka setelah konsekrasi, sepanjang roti itu berupa roti, dan belum terurai menjadi rupa yang lain (rusak secara natural, atau dicerna tubuh manusia), maka Yesus hadir secara nyata oleh kuasa Roh Kudus-Nya.
Selanjutnya, Luther dan Calvin tidak menganggap Ekaristi (the Lord’s Supper/ Perjamuan Kudus) pertama-tama sebagai kurban peringatan dan pernyataan iman akan Misteri Paska Kristus. Karena doktrin “sola fide” (hanya iman saja) yang mereka anut, maka mereka cenderung menganggap Misa yang dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai ‘perbuatan’ manusia. Mereka tidak melihat bahwa Ekaristi, yang walaupun melibatkan umat namun pertama-tama adalah perbuatan nyata Kristus sebagai Kepala dengan kesatuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yang oleh kuasa Roh Kudus-Nya yang melintasi batas ruang dan waktu, mampu menghadirkan kembali kurban salib-Nya untuk mendatangkan buah-buahnya kepada Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Maka, bagi Calvin, Perjamuan Kudus tersebut pertama-tama merupakan pernyataan kasih Tuhan.[15] Gereja Katolik tidak menyangkal bahwa Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan, namun Gereja Katolik juga melihat bahwa hal ini tidak terlepas dengan perbuatan Kristus yang mengikutsertaan anggota-anggota Tubuh-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh-Nya sebagai Kepala. Dalam Misa, Yesus menjalankan peran-Nya sebagai Pengantara yang tunggal antara Allah dan manusia; dengan mengucapkan syukur kepada Allah Bapa dalam kuasa Roh Kudus, dan pada saat yang sama, menjadi kurban dan Imam Agung untuk menyalurkan rahmat pengampunan dosa demi keselamatan kita. Sebab sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi agar kita beroleh hidup yang kekal (lih. Yoh 6:54); dan agar kita mengenang-Nya dengan cara demikian sampai kedatangan-Nya kembali (1 Kor 11:26). Maka, adanya Ekaristi, adalah pertama-tama karena rahmat Kristus, yang mengundang kita untuk mengambil bagian di dalam-Nya, dan karena itu, Misa bukan ‘perbuatan’ kita semata-mata.
Konsili Trente
Gereja Katolik melalui Konsili Trente (1564) menolak posisi Luther maupun Calvin, dengan menetapkan sebagai berikut:
Session 13, kanon 2, [menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang keliru]: “Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi: biarlah dia menjadi anathema.”[16]
Session 13, kanon 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.”
DS 1743, Session 22, bab 2, [menyatakan kesamaan kurban Ekaristi dengan kurban salib Kristus]: “Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik yang disusun untuk menjabarkan doktrin dengan semangat Konsili tersebut mengajarkan pentingnya Ekaristi dalam kehidupan umat beriman, karena di dalamnya terkandung seluruh ‘harta’ spiritual Gereja, yaitu Kristus sendiri. Oleh karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai “sumber dan puncak kehidupan Kristiani”.[17]
KGK 1324 Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (LG 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita” (PO 5).
KGK 1375 Kristus hadir di dalam Sakramen ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya. Bapa-bapa Gereja menekankan dengan tegas iman Gereja, bahwa Sabda Kristus dan kuasa Roh Kudus bekerja begitu kuat, sehingga mereka dapat melaksanakan perubahan ini. Santo Yohanes Krisostomus menjelaskan:
“Bukan manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk kita. Imam yang mewakili Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya kerjanya dan rahmat datang dari Allah. Inilah tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu” (prod. Jud. 1,6).
Dan santo Ambrosius mengatakan tentang perubahan ini:
“Di sini terdapat sesuatu yang tidak dibentuk alam, tetapi yang dikonsekrir dengan berkat, dan daya guna berkat itu melampaui kodrat, malahan kodrat itu sendiri diubah melalui berkat… Bukankah Kristus, yang dapat menciptakan yang belum ada dari ketidakadaan, dapat mengubah yang ada ke dalam sesuatu, yang sebelumnya tidak ada? Menciptakan hal baru, tidak lebih gampang daripada mengubah kodrat” (myst. 9,50,52).
KGK 1376 Konsili Trente menyimpulkan iman Katolik, dengan menjelaskan: “Karena Kristus Penebus kita mengatakan bahwa apa yang Ia persembahkan dalam rupa roti adalah benar-benar tubuh-Nya, maka di dalam Gereja Allah selalu dipegang teguh keyakinan ini, dan konsili suci ini menjelaskannya kembali: oleh konsekrasi roti dan anggur terjadilah perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi tubuh Kristus, Tuhan kita, dan seluruh substansi anggur ke dalam substansi darah-Nya. Perubahan ini oleh Gereja Katolik dinamakan secara tepat dan dalam arti yang sesungguhnya perubahan hakiki [transsubstansiasi]” (DS: 1642).
KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus Bdk. Konsili Trente: DS 1641.
KGK 1396 Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 12:13).
Kesimpulan
Dari melihat uraian di atas, maka kita melihat betapa doktrin Ekaristi (kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya karena Transubstansiasi) yang diajarkan oleh Gereja Katolik mempunyai dasar yang teguh, sebab telah berakar dari Tradisi para rasul dan para Bapa Gereja. Jika pengertian kita tidak demikian, maka itu sama saja kita menilai bahwa para rasul dan para Bapa Gereja dan seluruh Gereja itu selama berabad- abad telah ‘salah pengertian’. Mungkin inilah yang ada di pikiran para Reformer seperti Luther, Calvin, Zwingli, dst. Tetapi akibatnya, begitu mereka menginterpretasikan sendiri ayat Alkitab dan beberapa perkataan Bapa Gereja tanpa melihat konteksnya, maka akhirnya mereka bertentangan sendiri, karena memegang pengertian yang berbeda-beda. Ironinya, mereka sama-sama meng-klaim bahwa mereka mengartikan ayat Alkitab yang sama, yaitu perkataan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku…” Mari kita berhenti sejenak, dan merenungkan ayat tersebut. Biarlah dengan kesederhanaan iman dan kerendahan hati, kita dapat percaya dan mengimani, bahwa memang Kristuslah yang mengubah apa yang nampak sebagai roti itu menjadi sungguh-sungguh Tubuh-Nya sendiri, sehingga yang dipegang-Nya itu bukan roti lagi, walaupun rupanya tetap roti. Kuasa mengubah roti menjadi anggur ini tidak diberikan kepada semua orang, tetapi hanya kepada para rasul-Nya, yang kemudian diteruskan kepada para penerus mereka, yaitu, para imam-Nya melalui tahbisan suci. Dengan demikian Ekaristi juga berkaitan dengan Tahbisan Suci. Tangan-tangan yang telah diurapilah yang diberi kuasa Roh Kudus untuk bertindak atas nama Kristus, untuk melakukan mukjizat yang sangat agung ini.
Karena betapa agungnya makna persatuan kita dengan Kristus dalam Komuni kudus, maka sebelum menyambut-Nya kita harus mempersiapkan diri. Betapa dalamnya makna persatuan itu, sehingga harus merupakan kesatuan total: yaitu kesatuan dengan keseluruhan Tubuh Mistik Kristus yang ada di dalam Gereja Katolik di bawah pimpinan pengganti Rasul Petrus. Inilah sebabnya tidak sembarang orang dapat menyambut Tubuh Kristus, walaupun ia mengimani bahwa roti itu sungguh telah diubah menjadi Tubuh-Nya. Sebab masih ada makna lagi yang harus diimani, yaitu apakah ia mengimani Gereja Kristus yang ada dalam Gereja Katolik yang didirikan di atas Petrus (cf. Mat 16:18).
Kita sebagai orang Katolik sepantasnya bersyukur, bahwa kita memiliki Magisterium,[18]yang dengan setia meneruskan pengajaran Kristus yang otentik, terutama untuk pengajaran tentang Ekaristi ini. Kristus telah mengetahui, bahwa tanpa jaminan ‘tak mungkin salah’ (infallibility) yang diberikan kepada pemimpin Gereja-Nya, maka manusia cenderung mengartikan sendiri pengajaran-Nya yang dapat mengakibatkan perpecahan umat. Maka, Kristus memberikan kuasa ‘tidak mungkin salah’ (infallibility)[19] kepada Bapa Paus agar pengajaranNya dapat dilestarikan dengan murni. Inilah sebabnya, kita dapat dengan teguh mengimani doktrin Ekaristi, sebab kita yakin itu berasal dari Kristus sendiri. Selanjutnya, mari kita berdoa agar semakin hari kita semakin dapat menghayati kedalaman misteri kasih Tuhan yang dinyatakan melalui kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan cara Allah mengasihi kita. Sekarang tergantung kita, maukah kita belajar memahami dan menghayati cara Tuhan mengasihi kita, ataukah kita lebih memilih cara kita sendiri untuk merasakan kasih Tuhan?
[1] John Henry Cardinal Newman, Essay on the Development of Christian Doctrine (Notre Dame, Indiana: Notre Dame Press, 1989), p. 7-8.
[2] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Romans, 7.
[3] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans 6, 2
[4] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Philadelphians, 4
[5] St. Yustinus Martir, First Apology 66, 20.
[6] St. Irenaeus, Against Heresy, 5, 2, 2.
[7] St. Cyril of Jerusalam, Catechetical Lectures: 22 (Mystagogic 4), 6
[8] St. Agustinus, Sermons, no. 227, ML 38, 1099, FC XXXVIII, 195-196.
[9] Lihat Father Frank Chacon and Jim Burnham, Beginning Apologetics 3, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM), p. 22.
[10] Lihat buku karangan Joan Carroll Cruz, Eucharistic Miracles (Rockford. Illinois: TAN Books, 1987).
[11] In 1970-’71 and taken up again partly in 1981 there took place a scientific investigation by the most illustrius scientist Prof. Odoardo Linoli, eminent Professor in Anatomy and Pathological Histology and in Chemistry and Clinical Microscopy. He was assisted by Prof. Ruggero Bertelli of the University of Siena. The analyses were conducted with absolute and unquestionable scientific precision and they were documented with a series of microscopic photographs. These analyses sustained the following conclusions (see more on this link, please click here)
* The Flesh is real Flesh. The Blood is real Blood.
* The Flesh and the Blood belong to the human species.
* The Flesh consists of the muscolar tissue of the heart.
* In the Flesh we see present in section: the myocardium, the endocardium, the vagus nerve and also the left ventricle of the heart for the large thickness of the myocardium.
* The Flesh is a “HEART” complete in its essential structure.
* The Flesh and the Blood have the same blood-type: AB (Blood-type identical to that which Prof. Baima Bollone uncovered in the Holy Shroud of Turin).
* In the Blood there were found proteins in the same normal proportions (percentage-wise) as are found in the sero-proteic make-up of the fresh normal blood.
* In the Blood there were also found these minerals: chlorides, phosphorus, magnesium, potassium, sodium and calcium.
* The preservation of the Flesh and of the Blood, which were left in their natural state for twelve centuries and exposed to the action of atmospheric and biological agents, remains an extraordinary phenomenon.
In conclusion, it may be said that Science, when called upon to testify, has given a certain and thorough response as regards the authenticity of the Eucharistic Miracle of Lanciano.
[12] Dalam Misa, Kurban Yesus yang satu-satunya dan sama ini dikorbankan dengan cara berbeda; tidak lagi dengan cara berdarah secara fisik seperti yang terjadi di kayu salib (lihat KGK 1367).
[13] Menurut Fr. Chacon, Ibid., p. 6, Gereja Katolik sebaliknya, membedakan bahwa ada 3 macam kehadiran Yesus: 1) Kehadiran Yesus secara natural di mana-mana sebagai Tuhan, melalui pengetahuan-Nya, kuasa-Nya dan esensi-Nya; 2) Kehadiran Yesus secara spiritual dalam setiap orang yang berada dalam keadaan berdamai dengan Tuhan (in the state of grace); 3) Kehadiran Yesus secara substansial berupa Tubuh dan Darah-Nya, di dalam Ekaristi.
[14] Disarikan dari buku Louis Berkhof, Systematic Theology, New Combined Edition, (William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, UK) p. 646.
[15] Ibid., p.646.
[16] Anathema, yang sering diterjemahkan sebagai ‘terkutuk’, namun maksud harafiahnya adalah pemisahan (‘cutting-off’, ‘separation’) untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidak dianggap sebagai anggota kawanan.
[17] KGK 1324, Lumen Gentium 11
[18] Magisterium dipegang oleh Bapa Paus sebagai penerus Rasul Petrus dan para Uskup pembantunya yang dalam kesatuan dengan dia.
[19] Menurut Lumen Gentium 25, Kuasa ‘tidak mungkin salah’, yang diberikan Yesus kepada Bapa Paus ini (infallibility) hanya berkenaan dengan pengajaran Bapa Paus secara definitive mengenai hal iman dan moral.
Langganan:
Postingan (Atom)