Pendahuluan
Pernahkah anda mendengar komentar bahwa Ekaristi itu hanya ‘karangan’ Gereja Katolik? Atau bahwa Kristus tak sungguh-sungguh hadir dalam Ekaristi? Atau beberapa orang mengklaim bahwa mereka kembali ke pengajaran yang murni dari para rasul untuk memperbaharui iman Kristen? Jika kita mendengar komentar-komentar semacam ini, tak usah kita menjadi resah. Sebab jika mereka dengan sungguh- sungguh tulus mempelajari Kitab Suci, dan dengan konsisten mempelajari sejarah dan tulisan para Bapa Gereja, seharusnya mereka tak bisa berdalih, sebab semua itu malah semakin memberikan bukti yang kuat terhadap kemurnian ajaran Gereja Katolik. Ya, salah satu yang terpenting di antaranya adalah kehadiran Yesus dalam Ekaristi (the Real Presence of Jesus in the Eucharist).
Kesaksian dari Para Bapa Gereja
Sesungguhnya kita harus berterima kasih kepada para Bapa Gereja karena oleh kesaksian dan tulisan mereka, kita terhubung dengan jemaat Kristen awal dan bahkan sampai ke jaman para rasul. Mereka adalah saksi yang hidup tentang pengajaran para rasul, dan mereka juga memberi kesaksian tentang para pengarang Alkitab dan keaslian kitab-kitab yang tergabung di dalamnya. Tanpa kesaksian mereka yang mengenal para rasul tersebut secara langsung, kita tidak dapat memperoleh Alkitab. Tanpa kesaksian mereka, kita tidak tahu bahwa Injil Matius ditulis oleh Rasul Matius, dan Injil Markus oleh Markus, dst, sebab di dalam Injil tersebut nama pengarangnya tidak disebut. Demikian pula halnya dengan surat-surat Rasul Paulus. Maka, kita tidak dapat mengacuhkan kesaksian para Bapa Gereja di abad awal ini, sebab mereka menjembatani kita kepada Kristus dan para rasul.
Menarik jika kita membaca tulisan Kardinal Newman, dalam pencariannya sebelum ia menjadi Katolik. Sebagai seorang Anglikan, ia pertama-tama bermaksud menyelidiki sejarah untuk membuktikan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh Gereja Katolik. Namun akhirnya malah ia menemukan kenyataan yang sebaliknya, bahwa pengajaran Gereja Katolik sungguh berakar dari sejarah perkembangan iman umat Kristen awal. Demikianlah yang dituliskan dalam bukunya yang terkenal itu, Essay on the Development of Christian Doctrine (1845)[berikut ini adalah kutipannya]:
“Sejarah Kekristenan bukanlah Protestanism. Jika ada yang namanya kebenaran yang aman, inilah dia. Dan Protestanism juga merasakan hal ini… Ini terlihat dalam keyakinan … untuk membuang semua sejarah kekristenan, dan membentuk Kekristenan dari Alkitab saja: orang-orang tidak akan pernah membuang sesuatu kecuali jika mereka sudah berputus asa tentang hal itu…. Untuk menjadi seseorang yang berakar pada sejarah, maka ia berhenti menjadi seorang Protestan.”[1]
Bukti kehadiran Yesus dalam Ekaristi menurut Para Bapa Gereja
Sebenarnya, setiap doktrin Gereja Katolik telah dapat ditemukan dalam tulisan para Bapa Gereja sejak abad-abad awal, seperti, Misa Kudus sebagai kurban syukur, kepemimpinan rasul Petrus dan para penerusnya, doa syafaat para orang kudus, devosi kepada Bunda Maria, dan tentang topik yang sedang kita bahas ini, yaitu kehadiran Yesus dalam Ekaristi. Mari kita melihat beberapa bukti ini:
1) St. Ignatius dari Antiokhia (110), adalah murid dari rasul Yohanes. Ia menjadi uskup ketiga di Antiokhia. Sebelum wafatnya sebagai martir di Roma, ia menulis tujuh surat kepada gereja-gereja, berikut ini beberapa kutipannya:
a. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, dia mengatakan, “…Di dalamku membara keinginan bukan untuk benda-benda materi. Aku tidak menyukai makanan dunia… Yang kuinginkan adalah roti dari Tuhan, yaitu Tubuh Kristus… dan minuman yang kuinginkan adalah Darah-Nya: sebuah makanan perjamuan abadi.”[2]
b. Dalam suratnya kepada jemaat di Symrna, ia menyebutkan bahwa mereka yang tidak percaya akan doktrin Kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi sebagai ‘heretik’/ sesat: “Perhatikanlah pada mereka yang mempunyai pandangan beragam tentang rahmat Tuhan yang datang pada kita, dan lihatlah betapa bertentangannya pandangan mereka dengan pandangan Tuhan …. Mereka pantang menghadiri perjamuan Ekaristi dan tidak berdoa, sebab mereka tidak mengakui bahwa Ekaristi adalah Tubuh dari Juru Selamat kita Yesus Kristus, Tubuh yang telah menderita demi dosa-dosa kita, dan yang telah dibangkitkan oleh Allah Bapa…”[3].
c. Dalam suratnya kepada jemaat di Filadelfia, ia mengatakan pentingnya merayakan Ekaristi dalam kesatuan dengan Uskup, “Karena itu, berhati-hatilah… untuk merayakan satu Ekaristi. Sebab hanya ada satu Tubuh Kristus, dan satu cawan darah-Nya yang membuat kita satu, satu altar, seperti halnya satu Uskup bersama dengan para presbiter [imam] dan diakon.”[4]
2) St. Yustinus Martir (sekitar tahun 150-160). Ia menjadi Kristen sekitar tahun 130, oleh pengajaran dari para murid rasul Yohanes. Pada tahun 150 ia menulis Apology, kepada kaisar di Roma untuk menjelaskan iman Kristen, dan tentang Ekaristi ia mengatakan: “Kami menyebut makanan ini Ekaristi, dan tak satu orangpun diperbolehkan untuk mengambil bagian di dalamnya kecuali jika ia percaya kepada pengajaran kami… Sebab kami menerima ini tidak sebagai roti biasa atau minuman biasa; tetapi karena oleh kuasa Sabda Allah, Yesus Kristus Penyelamat kita telah menjelma menjadi menjadi manusia yang terdiri atas daging dan darah demi keselamatan kita, maka, kami diajar bahwa makanan itu yang telah diubah menjadi Ekaristi oleh doa Ekaristi yang ditentukan oleh-Nya, adalah Tubuh dan Darah dari Kristus yang menjelma dan dengan perubahan yang terjadi tersebut, maka tubuh dan darah kami dikuatkan.”[5]
3) St. Irenaeus (140-202). Ia adalah uskup Lyons, dan ia belajar dari St. Polycarpus, yang adalah murid Rasul Yohanes. Dalam karyanya yang terkenal, Against Heresies, ia menghapuskan pandangan yang menentang ajaran para rasul. Tentang Ekaristi ia menulis, “Dia [Yesus] menyatakan bahwa piala itu, … adalah Darah-Nya yang darinya Ia menyebabkan darah kita mengalir; dan roti itu…, Ia tentukan sebagai Tubuh-Nya sendiri, yang darinya Ia menguatkan tubuh kita.”[6]
4) St. Cyril dari Yerusalem (315-386), Uskup Yerusalem, pada tahun 350 ia mengajarkan, “Karena itu, jangan menganggap roti dan anggur hanya dari penampilan luarnya saja, sebab roti dan anggur itu, sesuai dengan yang dikatakan oleh Tuhan kita, adalah Tubuh dan Darah Kristus. Meskipun panca indera kita mengatakan hal yang berbeda; biarlah imanmu meneguhkan engkau. Jangan menilai hal ini dari perasaan, tetapi dengan keyakinan iman, jangan ragu bahwa engkau telah dianggap layak untuk menerima Tubuh dan Darah Kristus.”[7]
5) St. Augustinus (354-430), Uskup Hippo, mengajarkan, “Roti yang ada di altar yang dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, adalah Tubuh Kristus. Dan cawan itu, atau tepatnya isi dari cawan itu, yang dikonsekrasikan dengan Sabda Tuhan, adalah Darah Kristus….Roti itu satu; kita walaupun banyak, tetapi satu Tubuh. Maka dari itu, engkau diajarkan untuk menghargai kesatuan. Bukankah roti dibuat tidak dari saru butir gandum, melainkan banyak butir? Namun demikian, sebelum menjadi roti butir-butir ini saling terpisah, tetapi setelah kemudian menjadi satu dalam air setelah digiling…[dan menjadi roti]”[8]
Melalui pengajaran para Bapa Gereja ini, kita mengetahui bahwa sejak abad awal, Gereja percaya dan mengimani bahwa roti dan anggur setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dan, maksudnya Ekaristi itu diberikan supaya kita belajar menjunjung tinggi kesatuan Tubuh Mistik Kristus, yang ditandai dengan kesatuan kita dengan dengan para pemimpin Gereja, yaitu uskup, imam dan diakon. Iman sedemikian sudah berakar sejak jemaat awal, dan ini dibuktikan, terutama oleh kesaksian St. Ignatius dari Antiokhia yang mendapat pengajaran langsung dari Rasul Yohanes. Jangan lupa, Rasul Yohanes adalah yang paling jelas mengajarkan tentang Roti Hidup pada Injilnya (lihat Yoh 6). Jadi walaupun doktrin Transubtantion baru dimaklumkan pada abad 13 yaitu melalui Konsili Lateran ke 4 (1215), Konsili Lyons (1274) dan disempurnakan di Konsili Trente (1546), namun akarnya diperoleh dari pengajaran Bapa Gereja sejak abad awal. Prinsipnya adalah: roti dan anggur, setelah dikonsekrasikan oleh Sabda Tuhan, berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Karena itu, walaupun rupa luarnya berupa roti dan anggur, namun hakekatnya sudah berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Oleh kesatuan dengan Tubuh yang satu ini, maka kita yang walaupun banyak menjadi satu.
Bukti sejarah
Maka kita dapat melihat bahwa sebelum masa Reformasi Protestan, semua umat Kristen percaya dan mengimani kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi. Maka beberapa gereja yang memisahkan diri dengan Gereja Katolik sebelum masa itu, sebagai contohnya, Nestorianism, Armenianism, gereja Coptic (abad ke -5), gereja-gereja Orthodox (abad ke-11), tetap mempercayai doktrin kehadiran Kristus dalam Ekaristi tersebut.[9]
Jika sekarang ada orang berkata bahwa doktrin tentang kehadiran Yesus dalam rupa roti dan anggur itu sepertinya tidak mungkin, maka sesungguhnya sejak zaman jemaat awalpun, banyak orang yang juga berpendapat demikian. Hal ini dituliskan di Alkitab, yaitu bahwa sejak saat Yesus mengajarkan hal Roti Hidup ini, banyak orang tidak percaya dan meninggalkan Dia (lih Yoh 6: 60). Tentu, jika maksud Yesus hanya mengajarkan bahwa roti itu hanya melambangkan Tubuh-Nya dan anggur itu hanya melambangkan Darah-Nya, Ia tentu dapat mengatakan demikian, “Di dalam roti ini adalah Tubuh-Ku”, atau “Roti ini adalah Tubuh-Ku.” Namun Yesus tidak berkata demikian, sebab Ia dengan jelas berkata, “Inilah Tubuh-Ku” (Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19). Maka, Tradisi Gereja Katolik mengartikan ayat ini secara literal bahwa maksud Yesus adalah: “Ini, substansi ini, yang tadinya roti, sekarang menjadi Tubuh-Ku.”
Banyak dari para pengikut Kristus sejak awal menganggap perkataan-Nya ini sulit dimengerti. Namun faktanya, walaupun demikian, Gereja Katolik tetap memegang teguh ajaran ini selama banyak generasi. Ini adalah suatu bukti yang kuat bahwa ajaran ini berasal dari Allah sendiri, sebab jika tidak, ajaran ini tidak mungkin langgeng dan tidak mungkin dipercayai oleh umat yang tersebar di seluruh dunia.
Bukti dari Mukjizat Ekaristi
Gereja mencatat begitu banyak mukjizat Ekaristi yang terjadi,[10] namun mari kita melihat mukjizat yang paling terkenal, yaitu mukjizat yang terjadi di Lanciano, Italia, pada abad ke-8. Saat itu sekitar tahun 700, seorang imam Basilian pada sebuah biara di Lanciano meragukan ajaran bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi. Maka suatu hari, pada saat mempersembahkan Misa Kudus, saat ia selesai mengucapkan perkataan Konsekrasi, tiba-tiba hosti itu berubah menjadi sebuah lingkaran daging dan anggur itu menjadi darah. Sang imam menjadi sangat terkejut, bahwa Tuhan telah secara ajaib menjawab segala keraguannya. Sampai sekarang, potongan daging dan darah [sekarang berupa gumpalan darah kering] ditahtakan dan dapat dilihat di dalam gereja itu. Saya berkesempatan menyaksikan sendiri bukti mukjizat ini, saat saya berziarah ke Lanciano pada tahun 2000.
Mukjizat ini telah berkali-kali diperiksa, dan tidak ada tanda-tanda pemalsuan. Paus Paulus VI memperbolehkan agar diadakan penyelidikan ilmiah terhadap kedua species itu pada tahun 1970-1971, dan tahun 1981 (sertifikat pemeriksaannya ada terpajang di sana), oleh beberapa orang dokter Italia dengan menggunakan alat-alat yang canggih.[11] Mereka menyimpulkan bahwa potongan daging itu adalah benar-benar daging manusia, dan demikian juga dengan darah tersebut. Daging tersebut berasal dari irisan hati manusia (myocardium), dan darahnya bertipe AB, dan mengandung segala protein yang terdapat pada darah segar manusia. Dan ajaibnya, walaupun daging dan darah tersebut telah dipajang selama 1300 tahun, terkena kontak langsung dengan udara, tanpa zat pengawet sekalipun, keduanya tetap tidak rusak secara biologis. (Silakan melihat gambar berikut ini)
Lanciano-1a Lanciano-2 Lanciano-4
Perbandingan Doktrin Ekaristi menurut Gereja Katolik, Luther, Calvin dan Zwingli.
Gereja Katolik, mengambil dasar dari Alkitab dan pengajaran para Bapa Gereja, mengajarkan apa yang disebut sebagai Transubstansiasi, yaitu, pada saat selesainya diucapkan konsekrasi, substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, walaupun rupa luarnya tetap sebagai roti dan anggur. Jadi prinsipnya:
1) Saat konsekrasi, pada saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, maka Kristus pada saat itu sungguh-sungguh hadir secara nyata dengan Tubuh dan Darah-Nya pada species roti dan anggur itu. Itulah sebabnya kita harus dengan penuh hormat menyambutNya. Itu pulalah sebabnya kita menghormati Sakramen Maha Kudus, sebab kita percaya bahwa hosti yang telah dikonsekrasikan itu sudah bukan hosti lagi tetapi sungguh-sungguh Tubuh Kristus.
2) Oleh sebab itu dikatakan bahwa Misa Kudus adalah kurban Kristus, yang dilakukan oleh Gereja, untuk memperingati pengorbanan-Nya sesuai dengan pesan-Nya. Pada saat misa, Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama itu dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus untuk menjadi korban penebus dosa kita manusia.[12]
3) Maka setelah konsekrasi, hanya substansi roti dan anggur-nya saja yang berubah, sedangkan accidents/ penampilan luarnya tetap. Untuk mengerti konsep ini memang diperlukan pengertian filosofis, yaitu bahwa pada setiap benda, kita mengenal adanya substansi dan accidents. Misalnya, hakekat kita manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri tubuh dan jiwa, yang punya ratio dan kehendak bebas, sedangkan accidents-nya adalah warna kulit, bangsa, tinggi/ berat badan, dst. Jika kita mencampur adukkan kedua hal ini (substansi dan accidents) maka akan sulit bagi kita untuk memahami konsep Transubstansiasi ini. Sebab setelah transubsansiasi, maka yang nampak sebagai hosti sudah bukan hosti lagi, karena substansinya telah berubah menjadi Tubuh Kristus, sedangkan accidents-nya tetap sama, yaitu dalam rupa roti dan anggur.
Martin Luther (1483-1546) tidak membedakan antara substansi dan accidents, maka ia mengajarkan konsep kehadiran Yesus yang disebut sebagai Consubstantion/ Companation. Ia mengatakan bahwa setelah didoakan dengan Sabda Tuhan, maka Kristus hadir secara nyata di dalam roti dan anggur itu bersamaan dengan roti dan anggur itu sendiri. Jadi, menurut Luther, pada roti itu adalah benar-benar Tubuh Kristus, dan Darah Kristus, tetapi juga tetap roti dan anggur biasa. Dalam hal ini, Luther tidak mengartikan ayat, “Inilah Tubuh-Ku” secara literal [padahal pada umumnya ia sangat mementingkan arti literal Alkitab]. Sebaliknya, ia mengartikannya secara figuratif, seolah Yesus mengatakan, “Di dalam dan bersama roti ini adalah Tubuh-Ku”. Maka, dengan kata lain, Luther mengartikan bahwa dalam benda yang sama itu substansinya ada dua: roti sekaligus Tubuh Kristus; dan anggur sekaligus juga Darah Kristus.
Luther berpendapat demikian karena ia mengambil analogi Inkarnasi, yaitu bahwa Tuhan Yesus mengambil rupa manusia, dan karena Ke-Tuhanan-Nya yang omnipresent, maka kemanusiaan-Nya juga dapat hadir di mana-mana, yang dikenal sebagai ubiquitism. Semoga tidak ada yang tersinggung jika kita mengatakan, bahwa sesungguhnya pengajaran ini sulit diterima akal, karena itu sama saja mengatakan bahwa kehadiran-Nya dalam hosti kudus, sama saja dengan kehadiran-Nya dalam semua makanan dan benda-benda yang lain.[13] Ajaran ini sepertinya mencampur-adukkan hal yang suci dan yang profan, antara sakramen dan yang bukan sakramen. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan self-evident principle, (prinsip yang tak perlu dibuktikan kebenarannya), yaitu “sesuatu tidak dapat menjadi dan tidak menjadi dalam waktu yang sama dan dengan cara yang sama.”
Mungkin karena sulitnya prinsip ini diterima secara umum, maka terdapat banyak pendapat yang saling bertentangan bahkan di kalangan gereja-gereja Protestan sendiri. Kita melihat posisi ekstrim yang dianut oleh Ulrich Zwingli (1483- 1531), yaitu bahwa Yesus tidak mungkin hadir secara nyata (bodily/ real prensence) di dalam Ekaristi [mereka menyebutnya Perjamuan/the Lord’s Supper]. Maka roti dan anggur menurut Zwingli hanyalah simbol saja, sebagai tanda akan Tubuh Kristus, dan tanda akan Darah-Nya. Posisi Zwingli ini tidak bisa menjelaskan Sabda yang dikatakan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku”, sebab ia mengartikannya sebagai, “Ini adalah simbol Tubuh-Ku”, yang tentu saja tidak sesuai dengan teks Alkitab.
John Calvin (1509- 1564) kemudian mengambil jalan tengah antara Luther dan Zwingli, dengan mengatakan bahwa kehadiran Yesus di dalam rupa roti dan anggur itu merupakan kehadiran yang nyata, namun hanya spiritual, bukan secara badani. Jadi roti itu bukan sungguh-sungguh Tubuh Yesus, dan anggur itu bukan Darah Yesus, namun Yesus secara spiritual hadir di dalamnya.[14] Maka bagi Calvin, komuni bukanlah persatuan dengan Tubuh Kristus secara literal, tetapi hanya secara spiritual dengan iman. Oleh karena itu, Calvin serupa dengan Melancthon, murid Luther, yang mengatakan bahwa, kehadiran Kristus tidak tergantung dari perkataan konsekrasi yang diucapkan oleh imam yang bicara atas nama Kristus, melainkan tergantung dari iman pribadi yang menerima komuni. Sebenarnya, jika kita kembali kepada teks Alkitab, kita tidak dapat menemukan dasar bahwa kehadiran Yesus ‘tergantung dari iman pribadi yang menerimanya’. Sebab Yesus hanya berkata dengan jelas dan sederhana, “Inilah Tubuh-Ku…” Dan Gereja Katolik percaya bahwa Sabda-Nya yang berkuasa membuat-Nya menjelma menjadi manusia (lih Yoh 1:14), juga berkuasa mengubah substansi roti itu menjadi Tubuh-Nya. Maka setelah konsekrasi, sepanjang roti itu berupa roti, dan belum terurai menjadi rupa yang lain (rusak secara natural, atau dicerna tubuh manusia), maka Yesus hadir secara nyata oleh kuasa Roh Kudus-Nya.
Selanjutnya, Luther dan Calvin tidak menganggap Ekaristi (the Lord’s Supper/ Perjamuan Kudus) pertama-tama sebagai kurban peringatan dan pernyataan iman akan Misteri Paska Kristus. Karena doktrin “sola fide” (hanya iman saja) yang mereka anut, maka mereka cenderung menganggap Misa yang dilakukan oleh Gereja Katolik sebagai ‘perbuatan’ manusia. Mereka tidak melihat bahwa Ekaristi, yang walaupun melibatkan umat namun pertama-tama adalah perbuatan nyata Kristus sebagai Kepala dengan kesatuan dengan Tubuh Mistik-Nya, yang oleh kuasa Roh Kudus-Nya yang melintasi batas ruang dan waktu, mampu menghadirkan kembali kurban salib-Nya untuk mendatangkan buah-buahnya kepada Gereja-Nya sampai akhir jaman.
Maka, bagi Calvin, Perjamuan Kudus tersebut pertama-tama merupakan pernyataan kasih Tuhan.[15] Gereja Katolik tidak menyangkal bahwa Ekaristi adalah pernyataan kasih Tuhan, namun Gereja Katolik juga melihat bahwa hal ini tidak terlepas dengan perbuatan Kristus yang mengikutsertaan anggota-anggota Tubuh-Nya untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan yang dilakukan oleh-Nya sebagai Kepala. Dalam Misa, Yesus menjalankan peran-Nya sebagai Pengantara yang tunggal antara Allah dan manusia; dengan mengucapkan syukur kepada Allah Bapa dalam kuasa Roh Kudus, dan pada saat yang sama, menjadi kurban dan Imam Agung untuk menyalurkan rahmat pengampunan dosa demi keselamatan kita. Sebab sudah menjadi kehendak-Nya agar kita mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi agar kita beroleh hidup yang kekal (lih. Yoh 6:54); dan agar kita mengenang-Nya dengan cara demikian sampai kedatangan-Nya kembali (1 Kor 11:26). Maka, adanya Ekaristi, adalah pertama-tama karena rahmat Kristus, yang mengundang kita untuk mengambil bagian di dalam-Nya, dan karena itu, Misa bukan ‘perbuatan’ kita semata-mata.
Konsili Trente
Gereja Katolik melalui Konsili Trente (1564) menolak posisi Luther maupun Calvin, dengan menetapkan sebagai berikut:
Session 13, kanon 2, [menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang keliru]: “Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi: biarlah dia menjadi anathema.”[16]
Session 13, kanon 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.”
DS 1743, Session 22, bab 2, [menyatakan kesamaan kurban Ekaristi dengan kurban salib Kristus]: “Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik
Konsili Vatikan II dan Katekismus Gereja Katolik yang disusun untuk menjabarkan doktrin dengan semangat Konsili tersebut mengajarkan pentingnya Ekaristi dalam kehidupan umat beriman, karena di dalamnya terkandung seluruh ‘harta’ spiritual Gereja, yaitu Kristus sendiri. Oleh karena itu, Ekaristi dikatakan sebagai “sumber dan puncak kehidupan Kristiani”.[17]
KGK 1324 Ekaristi adalah “sumber dan puncak seluruh hidup kristiani” (LG 11). “Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejani serta karya kerasulan, berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paska kita” (PO 5).
KGK 1375 Kristus hadir di dalam Sakramen ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya. Bapa-bapa Gereja menekankan dengan tegas iman Gereja, bahwa Sabda Kristus dan kuasa Roh Kudus bekerja begitu kuat, sehingga mereka dapat melaksanakan perubahan ini. Santo Yohanes Krisostomus menjelaskan:
“Bukan manusia yang menyebabkan bahwa bahan persembahan menjadi tubuh dan darah Kristus, melainkan Kristus sendiri yang telah disalibkan untuk kita. Imam yang mewakili Kristus, mengucapkan kata-kata ini, tetapi daya kerjanya dan rahmat datang dari Allah. Inilah tubuh-Ku, demikian ia berkata. Kata-kata ini mengubah bahan persembahan itu” (prod. Jud. 1,6).
Dan santo Ambrosius mengatakan tentang perubahan ini:
“Di sini terdapat sesuatu yang tidak dibentuk alam, tetapi yang dikonsekrir dengan berkat, dan daya guna berkat itu melampaui kodrat, malahan kodrat itu sendiri diubah melalui berkat… Bukankah Kristus, yang dapat menciptakan yang belum ada dari ketidakadaan, dapat mengubah yang ada ke dalam sesuatu, yang sebelumnya tidak ada? Menciptakan hal baru, tidak lebih gampang daripada mengubah kodrat” (myst. 9,50,52).
KGK 1376 Konsili Trente menyimpulkan iman Katolik, dengan menjelaskan: “Karena Kristus Penebus kita mengatakan bahwa apa yang Ia persembahkan dalam rupa roti adalah benar-benar tubuh-Nya, maka di dalam Gereja Allah selalu dipegang teguh keyakinan ini, dan konsili suci ini menjelaskannya kembali: oleh konsekrasi roti dan anggur terjadilah perubahan seluruh substansi roti ke dalam substansi tubuh Kristus, Tuhan kita, dan seluruh substansi anggur ke dalam substansi darah-Nya. Perubahan ini oleh Gereja Katolik dinamakan secara tepat dan dalam arti yang sesungguhnya perubahan hakiki [transsubstansiasi]” (DS: 1642).
KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus Bdk. Konsili Trente: DS 1641.
KGK 1396 Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 12:13).
Kesimpulan
Dari melihat uraian di atas, maka kita melihat betapa doktrin Ekaristi (kehadiran Kristus yang nyata di dalamnya karena Transubstansiasi) yang diajarkan oleh Gereja Katolik mempunyai dasar yang teguh, sebab telah berakar dari Tradisi para rasul dan para Bapa Gereja. Jika pengertian kita tidak demikian, maka itu sama saja kita menilai bahwa para rasul dan para Bapa Gereja dan seluruh Gereja itu selama berabad- abad telah ‘salah pengertian’. Mungkin inilah yang ada di pikiran para Reformer seperti Luther, Calvin, Zwingli, dst. Tetapi akibatnya, begitu mereka menginterpretasikan sendiri ayat Alkitab dan beberapa perkataan Bapa Gereja tanpa melihat konteksnya, maka akhirnya mereka bertentangan sendiri, karena memegang pengertian yang berbeda-beda. Ironinya, mereka sama-sama meng-klaim bahwa mereka mengartikan ayat Alkitab yang sama, yaitu perkataan Yesus, “Inilah Tubuh-Ku…” Mari kita berhenti sejenak, dan merenungkan ayat tersebut. Biarlah dengan kesederhanaan iman dan kerendahan hati, kita dapat percaya dan mengimani, bahwa memang Kristuslah yang mengubah apa yang nampak sebagai roti itu menjadi sungguh-sungguh Tubuh-Nya sendiri, sehingga yang dipegang-Nya itu bukan roti lagi, walaupun rupanya tetap roti. Kuasa mengubah roti menjadi anggur ini tidak diberikan kepada semua orang, tetapi hanya kepada para rasul-Nya, yang kemudian diteruskan kepada para penerus mereka, yaitu, para imam-Nya melalui tahbisan suci. Dengan demikian Ekaristi juga berkaitan dengan Tahbisan Suci. Tangan-tangan yang telah diurapilah yang diberi kuasa Roh Kudus untuk bertindak atas nama Kristus, untuk melakukan mukjizat yang sangat agung ini.
Karena betapa agungnya makna persatuan kita dengan Kristus dalam Komuni kudus, maka sebelum menyambut-Nya kita harus mempersiapkan diri. Betapa dalamnya makna persatuan itu, sehingga harus merupakan kesatuan total: yaitu kesatuan dengan keseluruhan Tubuh Mistik Kristus yang ada di dalam Gereja Katolik di bawah pimpinan pengganti Rasul Petrus. Inilah sebabnya tidak sembarang orang dapat menyambut Tubuh Kristus, walaupun ia mengimani bahwa roti itu sungguh telah diubah menjadi Tubuh-Nya. Sebab masih ada makna lagi yang harus diimani, yaitu apakah ia mengimani Gereja Kristus yang ada dalam Gereja Katolik yang didirikan di atas Petrus (cf. Mat 16:18).
Kita sebagai orang Katolik sepantasnya bersyukur, bahwa kita memiliki Magisterium,[18]yang dengan setia meneruskan pengajaran Kristus yang otentik, terutama untuk pengajaran tentang Ekaristi ini. Kristus telah mengetahui, bahwa tanpa jaminan ‘tak mungkin salah’ (infallibility) yang diberikan kepada pemimpin Gereja-Nya, maka manusia cenderung mengartikan sendiri pengajaran-Nya yang dapat mengakibatkan perpecahan umat. Maka, Kristus memberikan kuasa ‘tidak mungkin salah’ (infallibility)[19] kepada Bapa Paus agar pengajaranNya dapat dilestarikan dengan murni. Inilah sebabnya, kita dapat dengan teguh mengimani doktrin Ekaristi, sebab kita yakin itu berasal dari Kristus sendiri. Selanjutnya, mari kita berdoa agar semakin hari kita semakin dapat menghayati kedalaman misteri kasih Tuhan yang dinyatakan melalui kehadiran-Nya dalam Ekaristi. Ekaristi merupakan cara Allah mengasihi kita. Sekarang tergantung kita, maukah kita belajar memahami dan menghayati cara Tuhan mengasihi kita, ataukah kita lebih memilih cara kita sendiri untuk merasakan kasih Tuhan?
[1] John Henry Cardinal Newman, Essay on the Development of Christian Doctrine (Notre Dame, Indiana: Notre Dame Press, 1989), p. 7-8.
[2] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Romans, 7.
[3] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Smyrnaeans 6, 2
[4] St. Ignatius of Antioch, Letter to the Philadelphians, 4
[5] St. Yustinus Martir, First Apology 66, 20.
[6] St. Irenaeus, Against Heresy, 5, 2, 2.
[7] St. Cyril of Jerusalam, Catechetical Lectures: 22 (Mystagogic 4), 6
[8] St. Agustinus, Sermons, no. 227, ML 38, 1099, FC XXXVIII, 195-196.
[9] Lihat Father Frank Chacon and Jim Burnham, Beginning Apologetics 3, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM), p. 22.
[10] Lihat buku karangan Joan Carroll Cruz, Eucharistic Miracles (Rockford. Illinois: TAN Books, 1987).
[11] In 1970-’71 and taken up again partly in 1981 there took place a scientific investigation by the most illustrius scientist Prof. Odoardo Linoli, eminent Professor in Anatomy and Pathological Histology and in Chemistry and Clinical Microscopy. He was assisted by Prof. Ruggero Bertelli of the University of Siena. The analyses were conducted with absolute and unquestionable scientific precision and they were documented with a series of microscopic photographs. These analyses sustained the following conclusions (see more on this link, please click here)
* The Flesh is real Flesh. The Blood is real Blood.
* The Flesh and the Blood belong to the human species.
* The Flesh consists of the muscolar tissue of the heart.
* In the Flesh we see present in section: the myocardium, the endocardium, the vagus nerve and also the left ventricle of the heart for the large thickness of the myocardium.
* The Flesh is a “HEART” complete in its essential structure.
* The Flesh and the Blood have the same blood-type: AB (Blood-type identical to that which Prof. Baima Bollone uncovered in the Holy Shroud of Turin).
* In the Blood there were found proteins in the same normal proportions (percentage-wise) as are found in the sero-proteic make-up of the fresh normal blood.
* In the Blood there were also found these minerals: chlorides, phosphorus, magnesium, potassium, sodium and calcium.
* The preservation of the Flesh and of the Blood, which were left in their natural state for twelve centuries and exposed to the action of atmospheric and biological agents, remains an extraordinary phenomenon.
In conclusion, it may be said that Science, when called upon to testify, has given a certain and thorough response as regards the authenticity of the Eucharistic Miracle of Lanciano.
[12] Dalam Misa, Kurban Yesus yang satu-satunya dan sama ini dikorbankan dengan cara berbeda; tidak lagi dengan cara berdarah secara fisik seperti yang terjadi di kayu salib (lihat KGK 1367).
[13] Menurut Fr. Chacon, Ibid., p. 6, Gereja Katolik sebaliknya, membedakan bahwa ada 3 macam kehadiran Yesus: 1) Kehadiran Yesus secara natural di mana-mana sebagai Tuhan, melalui pengetahuan-Nya, kuasa-Nya dan esensi-Nya; 2) Kehadiran Yesus secara spiritual dalam setiap orang yang berada dalam keadaan berdamai dengan Tuhan (in the state of grace); 3) Kehadiran Yesus secara substansial berupa Tubuh dan Darah-Nya, di dalam Ekaristi.
[14] Disarikan dari buku Louis Berkhof, Systematic Theology, New Combined Edition, (William B Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, UK) p. 646.
[15] Ibid., p.646.
[16] Anathema, yang sering diterjemahkan sebagai ‘terkutuk’, namun maksud harafiahnya adalah pemisahan (‘cutting-off’, ‘separation’) untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidak dianggap sebagai anggota kawanan.
[17] KGK 1324, Lumen Gentium 11
[18] Magisterium dipegang oleh Bapa Paus sebagai penerus Rasul Petrus dan para Uskup pembantunya yang dalam kesatuan dengan dia.
[19] Menurut Lumen Gentium 25, Kuasa ‘tidak mungkin salah’, yang diberikan Yesus kepada Bapa Paus ini (infallibility) hanya berkenaan dengan pengajaran Bapa Paus secara definitive mengenai hal iman dan moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar