*Menghirup Udara Katolik*
Oleh : David Palm
Saya dan istri dibesarkan sebagai Protestan Evangelikal, dan jika anda
memberitahu kami setahun yang lalu bahwa kami akan menjadi Katolik
sekarang, kami pasti akan tertawa. Menjadi Katolik bukan merupakan prospek
yang kami sukai. Ketika kami pertama kali mulai dipengaruhi secara positif
menyangkut hal-hal Katolik, perasaan kami bisa digambarkan sebagai berikut:
"Kami telah bertemu sang musuh, dan ialah diri kami sendiri."
Saya menyesal harus menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan
Evangelikal tertentu dan Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan,
tetapi demikianlah adanya ketika kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa
Gereja Katolik telah merampas kedudukan Alkitab dengan menambahkan lapisan
demi lapisan "tradisi manusia" terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu
berjuta-juta orang dengan mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh
perbuatan baik. Kami adalah Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh
rahmat Tuhan, kami telah melihat bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada
keutuhan iman Kristiani.
Perjalanan spiritual saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari
akademi, saya masuk sebuah seminari Protestan Evangelikal yang ternama:
Trinity Evangelical Divinity School. Seminari ini sangat terkenal di
kalangan Evangelikal karena komitmennya kepada Alkitab sebagai satu-satunya
otoritas bagi iman dan praktek Kristiani. Baik pengajar maupun
mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas, inspirasi, dan
kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak intelektual seperti
gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani,
metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik (metode penafsiran
Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para teologis
liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai
argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab
suatu urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi
dorongan bagi kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan
memformulasikan posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan
bukti-bukti objektif yang tersedia dalam Alkitab.
Yang menarik adalah bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para
Bapa Gereja Perdana, dan juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo
Agustinus (karena dia dianggap sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan
Santo Thomas Aquinas (karena dampak tulisannya terhadap pemikiran Kristen
sangat menonjol sehingga sulit untuk diabaikan). Pada umumnya kami melompat
dari jaman para Rasul langsung ke jaman reformasi Protestan, sehingga
pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh nyaris tidak ada sama
sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi pemikiran saya
terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada waktu itu.
Pertama, ketika saya bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya
dengan mendetail, saya mulai menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung
teologi seperti yang telah diajarkan kepada saya. Saya merubah posisi dari
ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme. Saya tidak lagi percaya pada
kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan keselamatan mutlak bagi
umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola Fide (bahwa kita
dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi. Dan saya
mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan Perjamuan
Kudus.
Saya merasa salah tempat secara teologis karena tidak ada satupun
denominasi Protestan yang punya pandangan-pandangan yang sama seperti yang
saya punyai, dan hal ini sangat mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor
saya meyakinkan saya bahwa sepanjang pandangan saya masih serasi dengan
Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar kepercayaan Kristen yang
"ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral terhadap doktrin Kristiani
semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan Kristen jika
seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan dirinya
sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah terpecah-belah
dan terus terpecah sepanjang jaman?
Meskipun saya tidak merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya
sendiri, saya juga tidak merasa nyaman secara teologis dalam
denominasi-denominasi manapun yang ada. Saya memutuskan untuk menyimpan
beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena saya khawatir reaksi yang
bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut penafsiran Alkitab
diantara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya secara setengah
sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab
sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang
dipercaya oleh kaum Evangelikal.
Faktor kedua yang merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan
yang tidak ortodoks yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog
Protestan yang liberal maupun kelompok-kelompok konservatif.
Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada Alkitab untuk mendukung
pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari doktrin-doktrin mereka adalah
hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini tidak pernah dipercaya oleh
siapapun sepanjang sejarah Gereja.
Secara insting saya tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak
diantaranya jelas-jelas bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman)
yang dipegang oleh Gereja. Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi
saya, Alkitab atau syahadat iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman
atau "iman Gereja yang universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin
tidak ortodoks, lantas bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja?
Ini menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah
ortodoksi itu sebenarnya? Apa yang menjadi standar ortodoksi Kristen?
Saya mulai meragukan bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak
seorangpun dari kami setuju akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala
pendekatan Alkitabiah bisa dilawan dengan suatu interpretasi yang berbeda
atau malahan penolakan sama sekali terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin
condong kepada syahadat-syahadat dan kepada "iman universal Gereja" yang
rada tidak jelas, untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya
percaya sifatnya ortodoks.
Saya tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata
juga sedang dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja
Katolik. Sewaktu di akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed
Baptist. Hal ini membawanya kepada pemahaman yang sakramental terhadap
Perjamuan Kudus dan pada gilirannya dia mempengaruhi saya dengan doktrin
ini.
Salah satu saudara perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik -
kadangkala menunjuk kepada kekacauan diantara kaum Protestan dan
melontarkan pertanyaan bahwa bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki
doktrin Kristen yang benar, tetapi berbeda pendapat dalam sekian banyak
isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya dan menurutnya tidak ada
jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang minta petunjuk Roh Kudus
jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya tidak memuaskan
tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.
Kira-kira dua tahun yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army
(=Bala Keselamatan) dan melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku
Katolikisme dan Fundamentalisme karangan Karl Keating dan membolak-balik
halaman-halamannya karena rasa ingin tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi
nyaris saja saya taruh kembali karena bagaimanapun ini buku tentang teologi
Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri saya sendiri, judul
pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya untuk
mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.
Saya membeli buku tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta
di pagi hari menuju ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara
simpatik dan mengakui bahwa kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik -
terutama menyangkut pandangan Katolik terhadap Alkitab - maka lantas
teologi Katolik tampak koheren dan masuk akal. Buku tersebut menjernihkan
salah persepsi saya terhadap apa yang sesungguhnya dipercaya oleh iman
Katolik.
Saya menceritakan hasil observasi saya kepada istri saya. Ini suatu
kesalahan langkah. Kami langsung terlibat dalam suatu perdebatan di kereta.
"Kamu tidak akan masuk Katolik, khan?" dia langsung menyemprot saya. Dia
memberitahu saya sesudahnya bahwa pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana
saya bisa menjelaskan kepada keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi
seminarian Protestan dan dia malah masuk Katolik!" Saya mengambil langkah
mundur dan mengatakan kepadanya bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh
topik tersebut untuk sementara tidak kami ungkit-ungkit lagi.
Akan tetapi rasa hormat saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya
sungguh mengagumi Sri Paus Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas
terhadap imoralitas, dan penolakannya untuk melunakkan pesan-pesannya
kepada presiden Amerika Serikat dan kepada warga Amerika Serikat, dan
panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali kepada iman Kristen
sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles Colson yang
berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh Gereja
Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat Katolik
mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik dalam
nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal kami
karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak berbuat
banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami
mempraktekan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan
tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa
nikah dan anak-anak mereka.
Pada bulan Mei 1993, karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya
lontarkan pada suatu kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami
kenal dari gereja Baptist yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka
sedang menyelidiki iman Katolik. Dave juga lulus dari seminari yang sama
dengan saya, sehingga kami mempunyai latar belakang teologis yang sama.
Kami berbincang-bincang selama seharian tentang hal-hal menarik yang kami
temukan tentang Gereja Katolik. Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku
karangan Karl Keating yang saya beli kepadanya sedangkan Dave meminjamkan
saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara oleh Scott Hahn, seorang mantan
pendeta Presbiterian yang telah menjadi Katolik. Saya sangat menikmati
kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu saya tidak sepenuhnya
terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru nantinya saya menyadari
betapa besar pengaruhnya terhadap saya).
Tidak banyak hal yang terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave
mengembalikan buku saya. Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri
dari dewan deakon di gereja kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai
menghadiri Misa Kudus. Kami terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya
melihat Dave sebagai idola spiritiual. Dia adalah seorang yang punya
integritas, dan saya tahu bahwa Dave tidak akan main-main dalam hal semacam
ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita tentang Dave tidak akan diterima
dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami telah memutuskan untuk tetap
menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave dan istrinya .
Kami mengundang mereka beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang.
Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha
untuk membuat mereka membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi
untuk mengetahui apa yang telah mendorong mereka membuat keputusan
tersebut. Makin banyak kami berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi
satu doktrin-doktrin Katolik tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan
konsisten. Bahkan agaknya malah meliputi seluruh Alkitab, termasuk
ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak memfokuskan diri terhadap
sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung suatu posisi.
Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat sulit
tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.
Kami menemukan bahwa kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap
umumnya ajaran iman Katolik yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang
bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami
tersebut tinggal sampai tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan
istri merasa seperti murid-murid Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus.
Telinga kami serasa terbakar oleh pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir
pekan itu tidak seorangpun dari kami bisa menyingkirkannya dari benak
pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat tidur.
Istri saya membuat saya terheran-heran karena dia mulai bicara tentang
kepastian kami untuk menjadi Katolik. Saya begitu shock karena tidak
menyangka dia begitu terdorong menuju Katolik. Tetapi sekali dia mengerti
prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri Paus, peran Magisterium Gereja,
dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia mengerti bahwa sisanya tinggal
mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai kesana. Saya punya banyak
pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam hati saya ingin
semuanya benar.
Kami memulai eksplorasi yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai
hasil penyelidikan ini, saya menemukan bahwa dalam semua area teologis
dimana saya berubah pandangan, saya ternyata telah atau sedang menuju ke
arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi yakin bahwa umumnya
"pengetahuan" saya akan iman Katolik setidak-tidaknya telah
disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.
Di masa lalu, kalaupun saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya
selalu membaca dari sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk
memburuk-burukan iman Katolik dan seringkali, sengaja atau tidak sengaja,
telah memberi penerangan yang salah tentang apa yang sesungguhnya
diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca dari sumber-sumber Katolik
tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang mendukungnya sungguh merupakan
suatu pengalaman yang membuka mata hati saya dan suatu tantangan. Saya
dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang tadinya saya terima
mentah-mentah.
Melalui penyelidikan ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan
disebut-sebut sebagai kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan
"tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang terutama
dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab.
Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga
doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab
adalah satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin
transubstansiasi.
Sewaktu masih di seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa
kita dibenarkan hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab
(lihat Yakobus 2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37).
Poin selanjutnya bagi saya adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran
Sejati Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai
suatu sakramen, tetapi sekarang saya melihat bahwa Alkitab bahkan
mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh menjadi
tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan buat saya
adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama 1500
tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen
dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang
telah dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai
misteri iman yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi
Cuma sekedar perayaan ulang.
Saya membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu -
Ignatius, Justin Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan
menemukan bahwa mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi
bisa memegang pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa
berjuta-juta umat Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara
pribadi, telah disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang
dan membawa kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju
satu sama lain apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa
Gereja Katolik pasti salah!
Pijakan terakhir saya sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola
Scriptura - doktrin yang menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya
otoritas dalam hal iman - runtuh berkeping-keping. Saya telah membaca dari
buku Karl Keating dan mendengar rekaman Scott Hahn bahwa doktrin tersebut
tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya Alkitab tidak pernah mengaku
sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif terhadap iman kita. Banyak
ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari para rasul, apakah
tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat Kristen harus percaya
dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1 Korintus 11:2, 1 Tesalonika 2:13, 2
Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2, 2 Petrus 3:1-3).
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman
seperti yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus,
ketika dia menyebut Gereja (dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan
pondasi kebenaran" (1 Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan
argumen ini meskipun saya tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2
Timotius 3:16 tetapi ayat ini hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat
bagi koreksi, latihan, dan lain-lain , tetapi ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi hal ini).
Di suatu petang, konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari
Protestanisme telah disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa
segala doktrin kita harus punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola
Scriptura itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya
menyadari bahwa posisi Protestan sungguh didasarkan atas inkoherensi logis.
Setelah saya menjadi yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah
semua di tiga hal diatas, maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi
Reformasi sama sekali. Meskipun rasanya semua orang setuju, apakah Katolik
atau Protestan, bahwa Gereja Katolik perlu reformasi selama jaman Luther
(bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi saya untuk percaya bahwa bisa
dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara memecah-belahnya menjadi
ribuan kelompok-kelompoik yang semuanya mengaku memegang doktrin yang benar
tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali bekerja
sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus
terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme,
sungguh sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab
(Yohanes 10:16, 17:20-23, dan 1 Korintus 1-3).
Setelah melampaui semua hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri
merasa hanya tinggal dua pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik
rasionalistik atau naik menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja
Katolik. Ini bukan suatu pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi
Yesus dan tidak akan pernah menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan
Tuhan). Kami diterima ke dalam Gereja Katolik dan menerima sakramen
penguatan pada tanggal 8 Februari 1994. Kami sungguh berbahagia menjadi
Katolik, meskipun transisi - terutama hal memberitahu kawan-kawan dan
keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.
Oleh : David Palm
Saya dan istri dibesarkan sebagai Protestan Evangelikal, dan jika anda
memberitahu kami setahun yang lalu bahwa kami akan menjadi Katolik
sekarang, kami pasti akan tertawa. Menjadi Katolik bukan merupakan prospek
yang kami sukai. Ketika kami pertama kali mulai dipengaruhi secara positif
menyangkut hal-hal Katolik, perasaan kami bisa digambarkan sebagai berikut:
"Kami telah bertemu sang musuh, dan ialah diri kami sendiri."
Saya menyesal harus menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan
Evangelikal tertentu dan Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan,
tetapi demikianlah adanya ketika kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa
Gereja Katolik telah merampas kedudukan Alkitab dengan menambahkan lapisan
demi lapisan "tradisi manusia" terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu
berjuta-juta orang dengan mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh
perbuatan baik. Kami adalah Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh
rahmat Tuhan, kami telah melihat bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada
keutuhan iman Kristiani.
Perjalanan spiritual saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari
akademi, saya masuk sebuah seminari Protestan Evangelikal yang ternama:
Trinity Evangelical Divinity School. Seminari ini sangat terkenal di
kalangan Evangelikal karena komitmennya kepada Alkitab sebagai satu-satunya
otoritas bagi iman dan praktek Kristiani. Baik pengajar maupun
mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas, inspirasi, dan
kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak intelektual seperti
gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani,
metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik (metode penafsiran
Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para teologis
liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai
argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab
suatu urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi
dorongan bagi kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan
memformulasikan posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan
bukti-bukti objektif yang tersedia dalam Alkitab.
Yang menarik adalah bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para
Bapa Gereja Perdana, dan juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo
Agustinus (karena dia dianggap sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan
Santo Thomas Aquinas (karena dampak tulisannya terhadap pemikiran Kristen
sangat menonjol sehingga sulit untuk diabaikan). Pada umumnya kami melompat
dari jaman para Rasul langsung ke jaman reformasi Protestan, sehingga
pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh nyaris tidak ada sama
sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi pemikiran saya
terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada waktu itu.
Pertama, ketika saya bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya
dengan mendetail, saya mulai menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung
teologi seperti yang telah diajarkan kepada saya. Saya merubah posisi dari
ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme. Saya tidak lagi percaya pada
kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan keselamatan mutlak bagi
umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola Fide (bahwa kita
dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi. Dan saya
mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan Perjamuan
Kudus.
Saya merasa salah tempat secara teologis karena tidak ada satupun
denominasi Protestan yang punya pandangan-pandangan yang sama seperti yang
saya punyai, dan hal ini sangat mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor
saya meyakinkan saya bahwa sepanjang pandangan saya masih serasi dengan
Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar kepercayaan Kristen yang
"ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral terhadap doktrin Kristiani
semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan Kristen jika
seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan dirinya
sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah terpecah-belah
dan terus terpecah sepanjang jaman?
Meskipun saya tidak merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya
sendiri, saya juga tidak merasa nyaman secara teologis dalam
denominasi-denominasi manapun yang ada. Saya memutuskan untuk menyimpan
beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena saya khawatir reaksi yang
bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut penafsiran Alkitab
diantara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya secara setengah
sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab
sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang
dipercaya oleh kaum Evangelikal.
Faktor kedua yang merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan
yang tidak ortodoks yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog
Protestan yang liberal maupun kelompok-kelompok konservatif.
Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada Alkitab untuk mendukung
pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari doktrin-doktrin mereka adalah
hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini tidak pernah dipercaya oleh
siapapun sepanjang sejarah Gereja.
Secara insting saya tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak
diantaranya jelas-jelas bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman)
yang dipegang oleh Gereja. Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi
saya, Alkitab atau syahadat iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman
atau "iman Gereja yang universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin
tidak ortodoks, lantas bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja?
Ini menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah
ortodoksi itu sebenarnya? Apa yang menjadi standar ortodoksi Kristen?
Saya mulai meragukan bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak
seorangpun dari kami setuju akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala
pendekatan Alkitabiah bisa dilawan dengan suatu interpretasi yang berbeda
atau malahan penolakan sama sekali terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin
condong kepada syahadat-syahadat dan kepada "iman universal Gereja" yang
rada tidak jelas, untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya
percaya sifatnya ortodoks.
Saya tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata
juga sedang dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja
Katolik. Sewaktu di akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed
Baptist. Hal ini membawanya kepada pemahaman yang sakramental terhadap
Perjamuan Kudus dan pada gilirannya dia mempengaruhi saya dengan doktrin
ini.
Salah satu saudara perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik -
kadangkala menunjuk kepada kekacauan diantara kaum Protestan dan
melontarkan pertanyaan bahwa bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki
doktrin Kristen yang benar, tetapi berbeda pendapat dalam sekian banyak
isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya dan menurutnya tidak ada
jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang minta petunjuk Roh Kudus
jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya tidak memuaskan
tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.
Kira-kira dua tahun yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army
(=Bala Keselamatan) dan melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku
Katolikisme dan Fundamentalisme karangan Karl Keating dan membolak-balik
halaman-halamannya karena rasa ingin tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi
nyaris saja saya taruh kembali karena bagaimanapun ini buku tentang teologi
Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri saya sendiri, judul
pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya untuk
mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.
Saya membeli buku tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta
di pagi hari menuju ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara
simpatik dan mengakui bahwa kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik -
terutama menyangkut pandangan Katolik terhadap Alkitab - maka lantas
teologi Katolik tampak koheren dan masuk akal. Buku tersebut menjernihkan
salah persepsi saya terhadap apa yang sesungguhnya dipercaya oleh iman
Katolik.
Saya menceritakan hasil observasi saya kepada istri saya. Ini suatu
kesalahan langkah. Kami langsung terlibat dalam suatu perdebatan di kereta.
"Kamu tidak akan masuk Katolik, khan?" dia langsung menyemprot saya. Dia
memberitahu saya sesudahnya bahwa pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana
saya bisa menjelaskan kepada keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi
seminarian Protestan dan dia malah masuk Katolik!" Saya mengambil langkah
mundur dan mengatakan kepadanya bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh
topik tersebut untuk sementara tidak kami ungkit-ungkit lagi.
Akan tetapi rasa hormat saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya
sungguh mengagumi Sri Paus Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas
terhadap imoralitas, dan penolakannya untuk melunakkan pesan-pesannya
kepada presiden Amerika Serikat dan kepada warga Amerika Serikat, dan
panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali kepada iman Kristen
sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles Colson yang
berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh Gereja
Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat Katolik
mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik dalam
nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal kami
karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak berbuat
banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami
mempraktekan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan
tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa
nikah dan anak-anak mereka.
Pada bulan Mei 1993, karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya
lontarkan pada suatu kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami
kenal dari gereja Baptist yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka
sedang menyelidiki iman Katolik. Dave juga lulus dari seminari yang sama
dengan saya, sehingga kami mempunyai latar belakang teologis yang sama.
Kami berbincang-bincang selama seharian tentang hal-hal menarik yang kami
temukan tentang Gereja Katolik. Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku
karangan Karl Keating yang saya beli kepadanya sedangkan Dave meminjamkan
saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara oleh Scott Hahn, seorang mantan
pendeta Presbiterian yang telah menjadi Katolik. Saya sangat menikmati
kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu saya tidak sepenuhnya
terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru nantinya saya menyadari
betapa besar pengaruhnya terhadap saya).
Tidak banyak hal yang terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave
mengembalikan buku saya. Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri
dari dewan deakon di gereja kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai
menghadiri Misa Kudus. Kami terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya
melihat Dave sebagai idola spiritiual. Dia adalah seorang yang punya
integritas, dan saya tahu bahwa Dave tidak akan main-main dalam hal semacam
ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita tentang Dave tidak akan diterima
dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami telah memutuskan untuk tetap
menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave dan istrinya .
Kami mengundang mereka beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang.
Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha
untuk membuat mereka membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi
untuk mengetahui apa yang telah mendorong mereka membuat keputusan
tersebut. Makin banyak kami berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi
satu doktrin-doktrin Katolik tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan
konsisten. Bahkan agaknya malah meliputi seluruh Alkitab, termasuk
ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak memfokuskan diri terhadap
sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung suatu posisi.
Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat sulit
tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.
Kami menemukan bahwa kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap
umumnya ajaran iman Katolik yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang
bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami
tersebut tinggal sampai tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan
istri merasa seperti murid-murid Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus.
Telinga kami serasa terbakar oleh pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir
pekan itu tidak seorangpun dari kami bisa menyingkirkannya dari benak
pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat tidur.
Istri saya membuat saya terheran-heran karena dia mulai bicara tentang
kepastian kami untuk menjadi Katolik. Saya begitu shock karena tidak
menyangka dia begitu terdorong menuju Katolik. Tetapi sekali dia mengerti
prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri Paus, peran Magisterium Gereja,
dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia mengerti bahwa sisanya tinggal
mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai kesana. Saya punya banyak
pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam hati saya ingin
semuanya benar.
Kami memulai eksplorasi yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai
hasil penyelidikan ini, saya menemukan bahwa dalam semua area teologis
dimana saya berubah pandangan, saya ternyata telah atau sedang menuju ke
arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi yakin bahwa umumnya
"pengetahuan" saya akan iman Katolik setidak-tidaknya telah
disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.
Di masa lalu, kalaupun saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya
selalu membaca dari sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk
memburuk-burukan iman Katolik dan seringkali, sengaja atau tidak sengaja,
telah memberi penerangan yang salah tentang apa yang sesungguhnya
diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca dari sumber-sumber Katolik
tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang mendukungnya sungguh merupakan
suatu pengalaman yang membuka mata hati saya dan suatu tantangan. Saya
dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang tadinya saya terima
mentah-mentah.
Melalui penyelidikan ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan
disebut-sebut sebagai kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan
"tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang terutama
dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab.
Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga
doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab
adalah satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin
transubstansiasi.
Sewaktu masih di seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa
kita dibenarkan hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab
(lihat Yakobus 2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37).
Poin selanjutnya bagi saya adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran
Sejati Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai
suatu sakramen, tetapi sekarang saya melihat bahwa Alkitab bahkan
mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh menjadi
tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan buat saya
adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama 1500
tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen
dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang
telah dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai
misteri iman yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi
Cuma sekedar perayaan ulang.
Saya membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu -
Ignatius, Justin Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan
menemukan bahwa mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi
bisa memegang pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa
berjuta-juta umat Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara
pribadi, telah disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang
dan membawa kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju
satu sama lain apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa
Gereja Katolik pasti salah!
Pijakan terakhir saya sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola
Scriptura - doktrin yang menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya
otoritas dalam hal iman - runtuh berkeping-keping. Saya telah membaca dari
buku Karl Keating dan mendengar rekaman Scott Hahn bahwa doktrin tersebut
tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya Alkitab tidak pernah mengaku
sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif terhadap iman kita. Banyak
ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari para rasul, apakah
tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat Kristen harus percaya
dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1 Korintus 11:2, 1 Tesalonika 2:13, 2
Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2, 2 Petrus 3:1-3).
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman
seperti yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus,
ketika dia menyebut Gereja (dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan
pondasi kebenaran" (1 Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan
argumen ini meskipun saya tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2
Timotius 3:16 tetapi ayat ini hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat
bagi koreksi, latihan, dan lain-lain , tetapi ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi hal ini).
Di suatu petang, konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari
Protestanisme telah disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa
segala doktrin kita harus punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola
Scriptura itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya
menyadari bahwa posisi Protestan sungguh didasarkan atas inkoherensi logis.
Setelah saya menjadi yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah
semua di tiga hal diatas, maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi
Reformasi sama sekali. Meskipun rasanya semua orang setuju, apakah Katolik
atau Protestan, bahwa Gereja Katolik perlu reformasi selama jaman Luther
(bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi saya untuk percaya bahwa bisa
dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara memecah-belahnya menjadi
ribuan kelompok-kelompoik yang semuanya mengaku memegang doktrin yang benar
tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali bekerja
sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus
terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme,
sungguh sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab
(Yohanes 10:16, 17:20-23, dan 1 Korintus 1-3).
Setelah melampaui semua hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri
merasa hanya tinggal dua pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik
rasionalistik atau naik menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja
Katolik. Ini bukan suatu pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi
Yesus dan tidak akan pernah menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan
Tuhan). Kami diterima ke dalam Gereja Katolik dan menerima sakramen
penguatan pada tanggal 8 Februari 1994. Kami sungguh berbahagia menjadi
Katolik, meskipun transisi - terutama hal memberitahu kawan-kawan dan
keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.
Karena lingkungan Gereja Katolik berbeda dengan Protestan Evangelikal, kami
masih dalam proses adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang
setelah bergabung dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa
seperti kapal yang akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus
"terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami
tidak lagi harus melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami
percaya adalah ortodoks.
Sekelompok imam dan awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan
telah memberikan pelayanan kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan
mereka selama peziarahan kami kedalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual
kami telah membawa kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah
Kristen dalam liturgi, kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan
spiritualisme Katolik yang tak terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami
bahwa kami telah pulang ke rumah.
Selamat berpulang kembali ke Gereja Katolik, Gereja Perdana yang
didirikan oleh Yesus Kristus.
masih dalam proses adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang
setelah bergabung dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa
seperti kapal yang akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus
"terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami
tidak lagi harus melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami
percaya adalah ortodoks.
Sekelompok imam dan awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan
telah memberikan pelayanan kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan
mereka selama peziarahan kami kedalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual
kami telah membawa kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah
Kristen dalam liturgi, kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan
spiritualisme Katolik yang tak terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami
bahwa kami telah pulang ke rumah.
Selamat berpulang kembali ke Gereja Katolik, Gereja Perdana yang
didirikan oleh Yesus Kristus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar