Setiap orang Katolik sepatutnya dapat memberikan
suatu jawaban yang mantap dan mendalam atas
pertanyaan, “Mengapa kamu seorang Katolik?”
Tentu saja, bagi tiap-tiap invidivu,
jawabannya bersifat amat pribadi dan mungkin
agak berbeda dari jawaban orang lain.
Saya harap, tak seorang pun dari kita yang telah
dewasa akan sekedar menjawab,
“Yah, karena orangtua membaptisku Katolik” atau
“Aku dibesarkan secara Katolik” atau
“Keluargaku semuanya Katolik.”
Bukan.
Bagi masing-masing kita, jawabannya haruslah
pribadi, dari lubuk hati dan penuh keyakinan.
Saya akan memberikan jawaban saya atas
pertanyaan ini.
Pertama-tama, saya akan mengatakan bahwa saya
seorang Katolik karena inilah Gereja yang didirikan
Yesus Kristus.
Sejarahwan paling ahli sekalipun akan harus
mengakui bahwa Gereja Kristen pertama yang ada
sejak jaman Kristus adalah Gereja Katolik Roma.
Perpecahan besar pertama dalam kekristenan baru
muncul pada tahun 1054, ketika Patriark
Konstantinopel berselisih dengan paus atas siapa
yang lebih berwenang; sang Patriark
mengekskomunikasi paus, yang ganti
mengekskomunikasi Patriark, dan lahirlah
Gereja-gereja “Orthodox”.
Kemudian, pada tahun 1517, Martin Luther memicu
gerakan Protestan, dan ia diikuti oleh Calvin,
Zwingli dan Henry VIII.
Sejak itu, Protestanisme telah terpecah-pecah
menjadi banyak Gereja-gereja Kristen lainnya.
Namun demikian, satu-satunya Gereja dan Gereja
Kristen pertama yang didirikan Kristus adalah
Gereja Katolik.
Pernyataan ini tidak berarti bahwa tidak ada
kebaikan dalam Gereja-gereja Kristen lainnya.
Tidak pula berarti bahwa orang-orang Kristen
lainnya tidak dapat masuk surga.
Tetapi, sungguh berarti bahwa ada sesuatu yang
istimewa mengenai Gereja Katolik.
Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis
tentang Gereja” memaklumkan bahwa kepenuhan
dari sarana-sarana keselamatan ada dalam Gereja
Katolik sebab inilah Gereja yang didirikan Kristus
(No. 8).
Alasan kedua mengapa saya seorang Katolik ialah
karena suksesi apostolik.
Yesus mempercayakan otoritas-Nya kepada
para rasul.
Ia memberikan otoritas khusus kepada Petrus,
yang disebut-Nya sebagai “batu karang” dan
kepada siapa Ia mempercayakan kunci
Kerajaan Allah.
Sejak jaman para rasul, otoritas ini telah diwariskan
melalui Salramen Imamat dari uskup ke uskup,
dan kemudian diperluas ke imam dan diakon.
Uskup kita sendiri, andai mau, dapat menelusuri
kembali otoritasnya sebagai seorang uskup hingga
ke jaman para rasul.
Bulan Mei yang lalu, diadakan tahbisan imamat
di katedral kita.
Dalam tahbisan suci itu, Bapa Uskup
menumpangkan tangannya ke atas kepala calon
imam yang akan ditahbiskan.
Dalam saat khidmad itu, suksesi apostolik
diwariskan.
Dalam terang iman, orang dapat melihat bukan saja
Bapa Uskup, melainkan St Petrus dan St Paulus,
bahkan Yesus Sendiri, menyampaikan tahbisan suci.
Tidak ada uskup, imam ataupun diakon dalam
Gereja kita yang menahbiskan dirinya sendiri
atau memproklamirkan dirinya sendiri; tetapi otoritas
itu berasal dari Yesus Sendiri dan dijaga oleh
Gereja.
Alasan ketiga mengapa saya seorang Katolik adalah
karena kita percaya akan kebenaran,
yakni kebenaran mutlak yang diberikan oleh
Tuhan Sendiri.
Kristus menyebut Diri-Nya sebagai “jalan dan
kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6).
Ia menganugerahkan kepada kita Roh Kudus,
yang disebut-Nya Roh Kebenaran (Yoh 14:17),
yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada
kita dan yang akan mengingatkan kita akan semua
yang telah Ia ajarkan (Yoh 14:26).
Kebenaran Kristus telah dipelihara dalam
Kitab Suci.
Konsili Vatican II dalam “Konstitusi Dogmatis
tentang Wahyu Ilahi” memaklumkan bahwa,
“segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para
pengarang yang ilhami atau hagiograf (penulis suci),
harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus,
maka harus diakui, bahwa Kitab Suci mengajarkan
dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan
kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya
dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi
keselamatan kita” (No. 11).
Kebenaran ini terus dipelihara dan diterapkan pada
suatu masa dan budaya tertentu oleh magisterium,
yakni otoritas mengajar Gereja.
Sementara kita menghadapi berbagai macam issue
seperti bioetika atau euthanasia - masalah-masalah
yang tak pernah dibicarakan secara spesifik dalam
Kitab Suci - betapa beruntungnya kita mempunyai
Gereja yang mengatakan “Cara hidup seperti ini
adalah benar atau cara ini salah menurut
kebenaran Kristus.”
Tak heran, Gereja Katolik menjadi berita utama
di surat-surat kabar; kita adalah satu-satunya
Gereja yang berpendirian tegas dan mengatakan,
“Ajaran ini adalah benar selaras dengan pemikiran
Kristus.”
Alasan lain mengapa saya seorang Katolik adalah
karena sakramen-sakramen kita.
Kita percaya akan ketujuh sakramen yang
dianugerahkan Yesus kepada Gereja.
Masing-masing sakramen menangkap suatu unsur
penting dari kehidupan Kristus, dan melalui kuasa
Roh Kudus mendatangkan bagi kita keikutsertaan
dalam kehidupan ilahi Allah.
Sebagai contoh, coba renungkan betapa anugerah
mahaberharga kita boleh menyambut Ekaristi Kudus,
Tubuh dan Darah Tuhan kita, atau menyadari
bahwa dosa-dosa kita telah sungguh diampuni dan
jiwa kita dipulihkan setiap kali kita menerima
absolusi dalam Sakramen Tobat.
Dan yang terakhir, saya seorang Katolik karena
orang-orang yang membentuk Gereja.
Saya mengenangkan begitu banyak para kudus:
St Petrus dan St Paulus yang memelihara agar
Injil hidup pada masa-masa awali.
Pada masa penganiayaan Romawi, para martir awal
Gereja - seperti St Anastasia, St Lusia, St Yustinus
atau St Ignatius dari Antiokhia, yang pada tahun
100 menyebut Gereja “Katolik” - membela iman dan
menderita aniaya maut karenanya.
Pada Abad-abad Kegelapan, ketika banyak hal
sungguh “gelap”, memancarlah terang yang
benderang dari St Fransiskus, St Dominikus dan
St Katarina dari Siena.
Pada masa gerakan Protestan, ketika bidaah
mengoyak Gereja, Gereja dibela oleh St Robertus
Bellarmino dan St Ignatius Loyola,
para reformator sejati.
Saya berpikir mengenai para kudus yang hidup
di jaman kita, seperti Moeder Teresa atau Paus
Yohanes Paulus II, yang dari hari ke hari
melakukan karya kudus Allah.
Ada begitu banyak para kudus yang mengilhami
masing-masing kita untuk menjadi warga Gereja
yang baik.
Tetapi ada mereka-mereka yang lain juga.
Pada waktu Misa, arahkanlah pandangan
ke sekeliling gerejamu.
Lihatlah pasangan-pasangan suami isteri yang
berjuang untuk mengamalkan Sakramen Perkawinan
dalam abad yang memperturutkan hawa nafsu dan
perselingkuhan.
Lihatlah orang-orangtua yang rindu mewariskan
iman kepada anak-anak mereka.
Lihatlah kaum muda yang berjuang untuk
mengamalkan iman kendati dunia yang penuh
pencobaan.
Lihatlah kaum lanjut usia yang tetap setia kendati
perubahan-perubahan dalam dunia dan Gereja.
Lihatlah para imam dan kaum religius yang
membaktikan hidup mereka demi melayani Tuhan
dan Gereja-Nya.
Ada begitu banyak orang yang membentuk Gereja
kita.
Ya, tak seorang pun sempurna. Kita berdosa.
Itulah sebabnya mengapa salah satu doa terindah
dalam Perayaan Misa dipanjatkan sebelum tanda
damai; kita berdoa, “Tuhan Yesus Kristus,
jangan memperhitungkan dosa kami,
tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu.”
Ya, kendati segala kelemahan manusia, Gereja,
sebagai lembaga yang didirikan oleh Kristus,
terus melaksanakan misi-Nya di dunia ini.
Singkat kata, itulah alasan-alasan mengapa saya
seorang Katolik dan seorang warga Gereja Katolik
Roma. Alasan-alasan ini bukanlah asal.
Melainkan, mencerminkan permenungan mendalam
dan pergulatan, setelah dibaptis Katolik,
setelah melewatkan masa pendidikan di sekolah
St Bernadette, setelah lulus dari SMA West
Springfield, dan setelah pergumulan sengit dengan
iman sepanjang hari-hari perkuliahan di William
and Mary dan kemudian di Seminari.
Saya harap setiap orang Katolik dapat dengan
bangga memberikan suatu jawaban yang jelas
dan mendalam atas pertanyaan,
“Mengapa kamu seorang Katolik?”
* Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate
School of Christendom College and pastor of
Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: 'Why Are You A Catholic?'”
by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©1997 Arlington Catholic Herald, Inc.
All rights reserved; www.catholicherald.com
“diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya
atas ijin The Arlington Catholic Herald.”